roma masakan hajatan bercampur wangi bunga dekorasi menyambutnya. Ia melepas helm
tempat tinggalnya. Terakhir ia datang ke sini lima tahun lalu, saat menikahkan Letda Nurdin dan Sinta
ia menyapa. Sinta muncul dari dalam rumah, mengenakan kebaya i
enantu itu kini berdiri anggun dalam balutan kebaya modern, jilbabnya tertata rapi, menamba
tapan Sinta, senyumnya, semuanya seolah menyedot perhatiannya. Hari ini, Sinta bukan hanya me
ya, Sin?" tanya Pak Baga
, Yah!" jawab
ebar. Ia merasa asing dengan perasaannya sendiri. Sinta, ist
pipinya. Mungkin bagi Sinta, itu hanya ungkapan syukur dan bahagia. Namun bagi Pak Bagas, sentuhan itu terasa lebih
ntu dan ayah mertua. Mereka tak tahu apa yang berkecamuk di dalam diri Pak Bag
sih tak terkendali. Bahkan tubuhnya mulai bereaksi, tongkat komando dalam celananya muali mengge
Cantik banget kamu, Sin," uja
imana kabar Ibu, Mbak Niken, Mbak Erni dan si cantik Azizah?
esasar," jawab Pak Bagas santai. "Kalau pun ny
Mau saya suapin juga s
r. "Hmmm... boleh juga sih. Tapi kalau Letda
a hajatan saya, Yah," sahu
pria paruh baya muncul dari dalam rumah. Wajahnya b
a datang juga!" serunya penuh semang
ski tetap menyimpan senyum ramah. "Tentu, Pak. Walaupun Letda Nurdin ng
uannya yang berdiri di samping Pak Bagas, wajahnya cerah berseri. "Sint
doong, Pak. Kapan lagi pamer mertua Danramil. Aku seneng bange
n dibesar-besarkan begitu, ah. Ayah cuma bapak-bapak biasa yang n
u. Tamu-tamu lain yang tidak mengenal Pak Bagas hanya memandang dari kejauhan, berbisi
wajahnya sedikit ke arah Sinta, berbisik dengan nada
tu! Khusus buat ayah
sing di mata warga kampung ini, tapi di mata Sin
tahun sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di desa ini-waktu menikahkan Letda Nurdin dan Sinta. Kini, ia ke
ang sibuk ke sana kemari menyapa tamu. Namun, di sela kesibukan itu,
enghampiri lagi, membawa
makan?" tan
. "Belum. Kalau ada yang mau ny
ggeleng. "Ayah ini, kalau berc
a. "Serius, lho. Kamu sibuk ter
a juga hajatan, Yah. Kalau aku duduk
ingat lima tahun lalu-ramah, sederhana, tapi punya daya tarik yang entah kenapa
enyum manja. "Ayah juga nggak berubah. Tetap ganteng
antu baginya. Ia sudah seperti anak sendiri. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang tak terjelaskan dalam
rdua yang memahami arti kebersamaan kecil it
lah ia rawat dan didik seperti darah dagingnya sendiri. Meski mereka tidak terikat oleh gar
sederhana yang hidup dalam keterbatasan. Namun, semangat belajarnya
besar dalam diri bocah itu. Ia bertekad membimbing Nurdin keluar dari lingkaran
merasa dunia terlalu berat baginya. Tapi suara tegas Pak Bagas
kamu sampai di ujungnya," ucap Pak Bagas pada suatu malam
an tekad baja, Nurdin menapaki jalan penuh onak da
gas. Ia berdiri di sudut lapangan upacara, menatap sosok Nurdin dengan mata berkaca-kaca. Itu bukan sekadar ban
ugur sebelum waktunya. Tapi Nurdin bertahan. Di setiap rasa lelah, ia selalu mengingat wajah Pak Bagas. Ia tidak boleh gagal. Ia harus ber
dikenal sebagai prajurit yang tidak hanya tangguh di lapangan, tetapi juga pemimpin
but dan setia mendampingi langkahnya. Dari rumah kontrakan kecil yang sederhana, mereka perlahan membangun kehidupan hingga a
ah pun sering bolong. Kini aku bisa berdiri di sini, memakai seragam ini, semua karen
yang berjalan, Nak. Ayah cuma menunjukkan jalan. Tapi ya
nya, maka sangat wajar Pak Bagas menggantikannya, karena kedua orang tua Nurdin pu
na pulang kembali, namun Sin
gas merasa lelah. Usianya sudah tidak muda, dan ia lebih memilih ketenangan daripada hiruk-pikuk. Sint
, tapi begitu bersih dan rapi. Aroma melati yang semerbak da
kehangatan. Pak Bagas menatap sekeliling, merasakan sesuatu yang menena
ng akan terja
*