k, tapi cukup memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Kerudung instan berbahan ringan menyatu dengan angin pagi, be
dari gerbang rumahnya, melintasi lapangan kecil, dan berakhir di sudu
ingin menenangkan hati, kini ada percik keberanian yang ia bawa. Ia ingin dilihat. Bukan oleh Pak Rohman-suami yang tela
pi, dari lelaki paruh baya yang tengah menyiram bunga, hingga an
atap penuh kekaguman diam-diam. Ada
lalu ya,
a sedang diperhatikan, tapi tak memberi lebih dari yang seharusnya. Ia berj
elum pernah ia rasakan sejak lama. Bukan cint
esona ini belum mati. Dan bahwa ia masih bisa m
napas. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam ikan mungil.
an yang baru saja menemukan kembali dirinya sendiri, setelah lama
rdengar suara lelaki muda y
segitu masih
eh. Tapi senyumnya
i. Hidupku belum usai. Dan mulai hari ini
ata warga kompleks: gerobak bubur ayam Mang Karna. Asap tipis mengepul dari p
senyum atau anggukan ringan. Sarapan baginya adala
terdengar dari cerita warga, atau karena diam-diam, ia se
esaat, adalah kenyataan bahwa bukan Mang Karna yang
Bu Intan, nyar
ya yang bersih. Mata jernih itu menyala seperti dulu, sa
!" sapanya ramah, suara ber
Intan tertawa kecil, matanya berbinar. Ada rasa lega yang aneh melihat
Sekalian bantu Bapak, beliau lagi ke pasar katany
jar Bu Intan sambil menyingkap sedikit ujung kerudun
saya jadi deg-degan, Bu... semoga racikan saya nggak men
tetap sopan. Tidak ada gerakan berlebihan. Pemuda itu tampak s
kamu juga anak yang gak gengsian. Sekarang saya buktikan sendir
isan cakwe, suwiran ayam kampung, dan tabura
i Bapak. Katanya, mau sepintar apa pun ki
ahmu benar. Dunia butuh lebih
ntren, bahkan sempat menyinggung nostalgia masa SMA saat Hend
bayang-bayang suami. Hanya percakapan jujur, hangat, dan membumi. Di hadapannya duduk seoran
eletakkan sendok perlahan. "Enak sekali, Ndra.
n sampai bapak saya tersingkir, ya
gan. Tidak menusuk seper
. Bukan cinta. Tapi semacam rasa syukur... bahwa dunia ini masih punya laki-la
nggak sibuk, mampir ke rumah ya. Bantu-bantu acara majelis
wajahnya berseri. "Deng
perempuan 50 tahun berjalan pulang dengan secercah harapan di hatinya. Tak perlu banyak
belum juga pupus sejak pertemuan tadi dengan Hendra. Bukan senyum jatuh cinta, tap
ng menghentikan gerakannya. Alisnya terangkat,
ya? Soalnya saya kayak lihat orang senyum-senyum dari tad
ekeh. "Ah kam
buh Ibu udah pasang wajah galau. Tadi malah sempat kaget, Ibu keluar rumah cuma pakai jaket ringa
alam tawa itu. Tawa yang sudah lama tidak terdengar di r
Liat-liat suasana pagi. T
ng Karna, ya? Ih, favorit emak-emak kompleks! Tapi, biasanya kalau sedang ada Hendr
snya, setengah pura-pu
ak lihat tuh senyum-senyum Ibu dari ujung gang. Tuh anak emang bikin hati hangat. Anak kuliahan, tap
" Bu Intan menepuk lembut l
m lagi. Biasanya yang Ibu tatap pagi-pagi itu langit-langi
endela, membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya. Suasan
l atau besar, tapi pagi ini... aku merasa kayak kem
rkata, "Ibu dari dulu memang pantas bahagia. Cuma kadang... semesta butuh waktu buat membayar
ahkan kadang seperti adik sendiri. "Terima kasih, Bi. Ta
kalau bisa bikin bahagia, why not. Kalau saya boleh saran-besok-besok saya te
tertawa
gerobak bubur pindah mangkal di deket rumah Ibu? Gak usah jau
Kamu tuh ya... bisa-bisanya mikir gitu. Hendra kan cuma bantuin bapaknya. Lagian dia tuh
. Waktu muda katanya juga bikin banyak janda dagdigdug, lho. Ganteng, pi
awa. "Bedaaa, Bi Koni! Getaran Mang Ka
ran Hendra mah ultrasonik ya, Bu? Dikit-dikit berdebar. Di
bih ringan. Lebih jujur. Tak ada beba
da yang berubah pada Bu Intan. Ia bukan hanya terlihat lebih cerah-tapi lebih h
m. Meski hanya dari gerobak bubur. Dalam hati, Bi Koni bertekad untuk me
e topik-topik lain, walau ujung-u
*