img Makin Tua Makin Binal  /  Bab 2 Binal | 40.00%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 2 Binal

Jumlah Kata:1656    |    Dirilis Pada: 30/05/2025

k, tapi cukup memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Kerudung instan berbahan ringan menyatu dengan angin pagi, be

dari gerbang rumahnya, melintasi lapangan kecil, dan berakhir di sudu

ingin menenangkan hati, kini ada percik keberanian yang ia bawa. Ia ingin dilihat. Bukan oleh Pak Rohman-suami yang tela

pi, dari lelaki paruh baya yang tengah menyiram bunga, hingga an

atap penuh kekaguman diam-diam. Ada

lalu ya,

a sedang diperhatikan, tapi tak memberi lebih dari yang seharusnya. Ia berj

elum pernah ia rasakan sejak lama. Bukan cint

esona ini belum mati. Dan bahwa ia masih bisa m

napas. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam ikan mungil.

an yang baru saja menemukan kembali dirinya sendiri, setelah lama

rdengar suara lelaki muda y

segitu masih

eh. Tapi senyumnya

i. Hidupku belum usai. Dan mulai hari ini

ata warga kompleks: gerobak bubur ayam Mang Karna. Asap tipis mengepul dari p

senyum atau anggukan ringan. Sarapan baginya adala

terdengar dari cerita warga, atau karena diam-diam, ia se

esaat, adalah kenyataan bahwa bukan Mang Karna yang

Bu Intan, nyar

ya yang bersih. Mata jernih itu menyala seperti dulu, sa

!" sapanya ramah, suara ber

Intan tertawa kecil, matanya berbinar. Ada rasa lega yang aneh melihat

Sekalian bantu Bapak, beliau lagi ke pasar katany

jar Bu Intan sambil menyingkap sedikit ujung kerudun

saya jadi deg-degan, Bu... semoga racikan saya nggak men

tetap sopan. Tidak ada gerakan berlebihan. Pemuda itu tampak s

kamu juga anak yang gak gengsian. Sekarang saya buktikan sendir

isan cakwe, suwiran ayam kampung, dan tabura

i Bapak. Katanya, mau sepintar apa pun ki

ahmu benar. Dunia butuh lebih

ntren, bahkan sempat menyinggung nostalgia masa SMA saat Hend

bayang-bayang suami. Hanya percakapan jujur, hangat, dan membumi. Di hadapannya duduk seoran

eletakkan sendok perlahan. "Enak sekali, Ndra.

n sampai bapak saya tersingkir, ya

gan. Tidak menusuk seper

. Bukan cinta. Tapi semacam rasa syukur... bahwa dunia ini masih punya laki-la

nggak sibuk, mampir ke rumah ya. Bantu-bantu acara majelis

wajahnya berseri. "Deng

perempuan 50 tahun berjalan pulang dengan secercah harapan di hatinya. Tak perlu banyak

belum juga pupus sejak pertemuan tadi dengan Hendra. Bukan senyum jatuh cinta, tap

ng menghentikan gerakannya. Alisnya terangkat,

ya? Soalnya saya kayak lihat orang senyum-senyum dari tad

ekeh. "Ah kam

buh Ibu udah pasang wajah galau. Tadi malah sempat kaget, Ibu keluar rumah cuma pakai jaket ringa

alam tawa itu. Tawa yang sudah lama tidak terdengar di r

Liat-liat suasana pagi. T

ng Karna, ya? Ih, favorit emak-emak kompleks! Tapi, biasanya kalau sedang ada Hendr

snya, setengah pura-pu

ak lihat tuh senyum-senyum Ibu dari ujung gang. Tuh anak emang bikin hati hangat. Anak kuliahan, tap

" Bu Intan menepuk lembut l

m lagi. Biasanya yang Ibu tatap pagi-pagi itu langit-langi

endela, membiarkan sinar matahari menerpa wajahnya. Suasan

l atau besar, tapi pagi ini... aku merasa kayak kem

rkata, "Ibu dari dulu memang pantas bahagia. Cuma kadang... semesta butuh waktu buat membayar

ahkan kadang seperti adik sendiri. "Terima kasih, Bi. Ta

kalau bisa bikin bahagia, why not. Kalau saya boleh saran-besok-besok saya te

tertawa

gerobak bubur pindah mangkal di deket rumah Ibu? Gak usah jau

Kamu tuh ya... bisa-bisanya mikir gitu. Hendra kan cuma bantuin bapaknya. Lagian dia tuh

. Waktu muda katanya juga bikin banyak janda dagdigdug, lho. Ganteng, pi

awa. "Bedaaa, Bi Koni! Getaran Mang Ka

ran Hendra mah ultrasonik ya, Bu? Dikit-dikit berdebar. Di

bih ringan. Lebih jujur. Tak ada beba

da yang berubah pada Bu Intan. Ia bukan hanya terlihat lebih cerah-tapi lebih h

m. Meski hanya dari gerobak bubur. Dalam hati, Bi Koni bertekad untuk me

e topik-topik lain, walau ujung-u

*

Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY