h sibuk dari biasanya. Bi Koni terlihat mondar-mandir ke d
ya... perut ibu kan kemarin udah disayangin sama
teras hanya menoleh dengan alis terangk
ra roda gerobak berbunyi di ke
Mang Karna berhenti... tepat d
kan Mang Karna yan
Bu Intan, nyar
eans hitam itu sedang membuka tudung gerobak, memper
a polos. "Ibu, kemarin saya bilang ke Hendra, 'Gerobaknya pinda
..." Bu Intan menahan seny
endra sudah melih
Hendra sambil tersenyum ramah. "
alaikumsalam, Hendra... enggak, enggak... malah rumah ini
menggoda nih. Biasanya yang goda
i nyengir lebar, 'YES, ber
lagi bubur saya ya. Hari
Tapi jangan kasih porsi ke
hangat dari biasanya. Angin membawa aroma bubur ayam dan
il bersiul-siul. Sambil pura-pura membantu, ia mencuri-curi pandang penuh semangat. 'Hendra, kamu gak t
up. Hendra sedang meracik mangkuk demi mangkuk bubur dengan ketelitian yang memikat. Gerakan tangannya cekatan, namun l
-tib
endra kan?! Anak
sebelah, langsung menembus uda
berbaju daster, bahkan ada yang masih pakai hair roller di rambut. Ana
yang semula eksklusif untuk Hendra,
!!!" teriak Bi Ani sambil melambai heboh. Tangan kir
duluan dong!" goda Rini sambil
ipis mungkin. Tapi dalam
sabar. "Satu pedas, tanpa kerupuk, ya Bu. Ini punya Bu Siska
rebut perhatian, t
mu jualan tiap hari, sa
a, kita butuh seksi dokumentasi
ingsan karena gel
ik. Mangkuk yang ia pesan tadi belum diambil-dan kalau ia tidak ber
yang menonton dari bali
ua pada keluar taring. Tapi tetap... yang punya hati m
mburu dalam satu paket. Ia akhirnya maju lagi, sedikit menyela
na ya? Sebelum disamber sama Bu A
luwes menyodorkan semangkuk bubu
buburnya gak cuma enak, tapi spesial... karena saya y
rtawa kecil. "Aduh, kamu jangan gi
leh kompak. "W
pkan, Bu Intan merasa hatinya tetap hangat. Bukan karena bubur, bukan karena godaan te
berdiri di pagar, hanya berbi
eh rebutan, tapi yang spesial
angkuk bubur di tangan, suasana kembali tenang. Hanya angin
h mulai hangat di tangan, tapi belum disentuh. Ia sedang menikmati keheningan yang sempat dir
dan sopan seperti biasa. "Saya mohon pamit.
alu mengangkat wajah menata
a libur kuliah samp
a kegiatan khusus di pesantren. Amanah dari kyai. Insya Allah, kalau sudah selesai, saya la
ntara dua orang dengan usia berbeda, latar berbeda, tapi
bubur di tangannya. Aneh, tiba-tiba
enyembunyikan kekecewaan yang menumpuk diam-diam. "Kalau am
olah bisa menangkap nada ge
... terima kasih sudah datang pagi-
. "Iya... saya juga nggak nyangka akhirnya beli b
u saya balik nanti, saya anter langsung ke rum
i ini benar-benar tulus. "Besok kalau berangkat
ngguk. "Siap
an jualannya, meninggalkan Bu Intan dengan mangkuk
han. Di dalam, Bi Koni mengintip dari balik tirai je
makannya jadi
Hendra balik lagi besok ke
dengan ekspresi penuh si
t Hendra ke pesantren. Hendra kan masih anak sepupu saya juga.
erbelalak.
cuma cemilan doang kok. Tapi
awa sambil memukul pelan lengan Bi Koni.
ingin Ibu bahagia. Kalau bahagia itu h
ang tersakiti bisa pulih... apalagi kalau mulai ada seseorang yang mau menyem
bulkan suara berderit kecil di jalan
sela-sela pepohonan. Hendra mendorong gerobaknya perlahan,
i-hentinya terputar sa
sesuatu di baliknya. Sesuatu yang hanya bisa dikena
erak yang sedikit lebih lembut, dan... diam yang terasa dalam. Itu
nita yang dari dulu diam-diam ia hormati-sekaligus ia kagumi sebagai perempuan kuat, a
a blak-blakan khasn
ang hangat. Yang bisa bikin dia merasa dilihat... dimengerti. Bu Intan itu terlalu lama sen
ahnya memerah. Ia tak menjawab, tap
karang taruna mewakili Pak Kades, atau saat memberi sambutan di acara 17-an. Wajahnya tenang, tu
api juga, kini Hendra
santri, anak muda yang menggantikan bapaknya jualan bubur. Ia adalah lelaki normal ya
nggilnya. Amanah sudah menunggu. Mengajar santri pesan
ak, memandangi gerobak dengan spandu
senyum
ya sendiri. "Tapi juga bawa hati dan harapan seseorang
a itu makin tua
*