ayam 'si ganteng' tak lagi terasa hambar. Sejak senyum Bu Intan k
gi mangkal dekat rumah. Jalan kompleks hanya dipenuhi la
romanya tak mampu menenangkan hati yang mulai sunyi lagi. Ia menata
n," ujar Bi Koni pagi itu sambil menyapu halaman. "Banyak a
tersenyum tipis
k. Berarti Hendra anak yang
itu... terasa seperti layu karena kurang siraman. Pa
i. Tak ada kerutan baru, tapi mata itu mulai menyimpan jeda. J
s terus berjalan.
. Hari ini ada pertemuan PKK di balai desa. Ia tak boleh larut. Ia bukan lagi
an, "Bu... kalau jodoh, nanti balik lagi kok. Kalau
rkaca, tapi ia tertawa kecil
alu lama sampai layu beneran. Kalau yang satu ng
lega, tapi juga tidak sepenuhnya rapuh. Ada yang tumbuh dari kis
ti hari terus berlalu, dan Bu Intan sudah memulai langkah besar dengan dirinya yang benar-bena
olah ikut menjaga perasaan yang sedang rapuh. Bu Intan sudah selesai berdandan anggun dan si
duduk anggun di bangku kayu yang teduh di bawah pohon flamboyan, menarik napas panjang, membiarkan k
nggilan masuk. Nama yang tertera di layar membua
ya terlalu lelah, pikirannya terlalu penuh untuk berbasa-basi dengan pere
oleh dorongan rasa ingin tahu... atau mungkin hanya karena ia terla
menempelkan ponsel ke tel
adien, a
Bu In
ir bersamanya. Hawa dari sebuah pembicaraan yang mungkin akan m
ng perlu kita bicarakan. Dimana saya
in mengabaikan. Tapi rasa penasaran dan ko
re. Siang ini aku ada aca
gusap kebaya dan jilbab modernnya pelan, lalu melirik ke ara
k. Jiwanya masih seperti tertahan di antara masa lalu yang men
hnya. Di belakang kemudi duduk Nirwan, sopir pribadinya yang baru beberapa bula
menguar dari kebayanya yang modern, membaur dengan kesejukan kabin mobil. Saat Nirwan
aya ke rumah Kak Indra, kam
r melalui kaca spion,
ik,
Mungkin agak malam, karena setelah ac
Ekspresinya tetap kalem, ta
belum benar-benar pulih. Anak perta
m itu. "Saya tahu. Makanya kamu harus pulang. Anakmu but
dapatkan izin pulang dari seorang kaka
kasih ba
pohonan yang berjejer rapi di sepanjang trotoar. Di dalam mobil, keheningan menyenangkan se
ah mulai memenuhi halaman. Di depan rumah, beberapa orang tampak
nggun, sempat menatap s
jalan. Salam
erima kasih
ng rumah besar milik kakaknya. Di balik senyum manis dan langkah mantapnya, ta
e 35 tahun. Suami Bu Intan, Pak Rohman, tidak ikut serta. Meskipun telah hampir tiga dekade mer
dipasang rapi, menaungi seluruh halaman utama. Banyak tamu yang hadir, term
itia dadakan. Namun, Dito-salah satu teman dekat Fandy-memilih
sudah cukup akrab dengan keluarga Pak Indra. Ia sering men
belumnya. Bu Intan tampil anggun dalam balutan kebaya hijau yang sederhana namun elegan.
untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Setiap kali Bu Intan lewat
juatru melayang ke dua wajah-yang satu bersahaja dalam senyum malu
uga akan hadir di usianya kini, saat banyak
ai yang mengalir diam, tapi dalam. Setiap pandangnya membuat dada Bu Intan terasa tenang,
Intan lama-lama saat mereka berbincang. Sosok yang enerjik, mudah diajak bercanda, dan seringk
perti dikepung dua ar
di dua arah yang saling bertolak belaka
menerangi hatinya yang gelap. Dalam diri Dito, ia melihat versi hidup yang spontan, terbuka
duk di dekat meja, Bu Intan masuk. Ia mengambi
pannya ringan, namun terasa seperti te
as Dito dengan nada rendah. Ia tetap menjaga pandangan agar tidak
t tekanan-tegas tapi tak kasar. Semua dilakukan tanpa ekspresi mencolok, seolah tak terjadi apa-apa. Ia pun b
saya, Bu?" ujar Dito sedikit lebih k
emu yang baru?"
sudah saling menyimpan kontak. Sebenarnya Dito sudah lama mendapat nomor i
ini, untuk membahagiakan wanita yang sudah lama
Intan itu sampai tahu. Namun yang pasti Dito sangat yakin jik
emas!' pikirny
*