sawit milik keluarganya. Sinar matahari sore menembus tirai tipis, menciptakan bayangan samar yang bergetar di dinding. Di luar sana, an
elombang perasaan yang tak pernah berhenti bergolak dalam dada Auror
n selalu berusaha menyenangkan suaminya, Leandro Mahesa. Leandro, pria tiga puluh tahun yang terlihat sempurna di mata dunia. Pemilik ratusan hekt
han itu, ada jurang yang memisahkan mere
dengar suara gaduh di ruang makan. Suaranya rendah dan nyaris be
dekat. Mertua dan iparnya pun semakin sering menekan dan menghakimi setiap langkahnya. Ny. Diah, ibu Leandro, adalah wanita yang s
angan sampai mereka kelaparan," suara Ny. Diah tajam, memecah hening
erasa kecil dan tidak berharga. Namun ia tidak bisa berkata apa-apa, bukan hanya ka
terdengar lelah dan dingin sekaligus. Namun nada itu tidak mem
r mata yang mulai menggenang. Di dalam hati, ia bert
mereka. Ia memandangi suaminya yang terlelap, wajahnya yang tampan tapi tanpa kehang
an langkah ringan dan senyum penuh rahasia di bibirnya. Ravela, kaka
Ravela pelan tapi
debar keras. "Ravela? Kamu...
mata yang penuh rencana. "Aku pulang. Dan aku aka
u, kehadiran Ravela bukan hanya soal keluarga, tapi
ahan tapi pasti merusak kedamaian yang tersisa. Ia pandai membaca
kehilangan cinta suami, tapi juga harus berhadapan
enghindar dan mengabaikan. Kata-katanya berubah menjadi dingin d
a ini," kata Leandro suatu malam, suara serak penuh amarah. "Kamu
remuk. Ia merasa seperti terperang
ahan-anak-anaknya. Mereka adalah cahaya kecil yang selalu memberinya
ya di kebun belakang rumah, Aurora merenung. I
an," bisiknya pelan, air m
rus menemukan cara untuk melawan, untuk memp
tang luas, simbol kemewahan sekaligus penjara yang mengurungnya. Di l
akan datang untuknya, atau j