derasnya hujan yang membasahi tanah. Kenangan masa lalu menyeruak tanpa diundang. Ia teringat kedua orang tuanya-kehidupan sederhana yang sering kali dibayangi kekurangan. Keputusan
idak membenci pria itu-pria yang menjadi awal dar
lah jika m
atan di tengah dinginnya sore. Senyum tipis tercipta di sela tangisnya. Ia merasa gag
malam itu, hatinya terkunci rapat. Ia benci pada cinta. Ia benci p
ommy, Sayang... Maafkan Mommy..." bisiknya. Suaranya parau menahan isak. Tangan gemetar menggenggam liontin d
r, menutup pintu agar tak me
perlahan. "Mommy menang
a. Ia menatap jam tangan. "Sudah waktunya pulang! Aku akan ajak anak-anak ke mall beli perlengk
ekolah milik HR'Company untuk mendaf
, sepasang mata
Max berde
erkejut, buru-buru mem
m pulang?" t
awab Maret gugup. Tanganny
a hari pe
ntum lebih cepat hanya karena mendengar suara bariton Max.
saja ke Adelia atau langsung ke aku. Ruangan
ima kasih." Ma
a kehilangan kendali... batin Max. Tatapannya tertahan se
nusuk. Ada rasa iri yang ia coba sembunyikan. Sudah lama ia menaruh hati pad
m ha
Sayang?" panggil M
Mi!" sahu
e Mami Maret ya, Sayang. Kalau kalian pengen sesuatu yang belum bisa Mommy bel
io ngerti,"
rsenyum. Fillio meliriknya curiga. Nada Fio
pa makan malam, karena Maret ber
lio berbinar. Ini kali pertama mereka ke tempat seperti
lah dulu ya, baru main," jel
gulang penuh hara
!" jawab Maret. Fiona bersorak gem
ang heboh, dan Fillio yang kalem-terlihat senang mesk
rewel soal warna dan gambar. Sementara Fillio memilih cepat, hanya sesekali bertany
adiknya yang sedang memilih gaun untuk pesta ulang tahun. Tapi
antai: kaos oblong, jeans, dan jaket. Tapi jangan tertipu,
wajahnya, tak banyak orang menyadari siapa dia. Beb
gkahnya terhenti. Ia mendengar suara anak pe
refleks
dan seorang bocah laki-laki, berjala
apas tercekat. Jantungnya
ya, tertegun. "Kenapa jant