ngit, Azura akan duduk di teras panti, tempat favoritnya. Dulu, ia menemukan kedamaian di sana, membiarkan pikirannya berkelana bebas, membangun istana impian tentang mas
an akan nasib panti jika tawaran Revan ditolak. Azura adalah anak yang cerdas, ia tahu betul Revan Aksara bukanlah tipe pria yang bisa ditolak. Kekuasaan Revan adalah bayangan raksasa yang menutupi segal
n gaun pengantin yang penuh sukacita. Semuanya dilakukan oleh orang-orang suruhan Revan. Desainer terkemuka datang ke panti, membawa gaun pengantin sutra putih yang indah, namun Azura memakainya dengan perasaan
berhadapan langsung dengan tatapan tajam Revan. Namun, di sisi lain, ketidakhadiran Revan justru menambah misteri dan ketakutan. Siapa sebenarnya pria ini? Mengapa ia mengi
di sana. Besok, ia akan menjadi Nyonya Aksara, istri dari seorang pria yang tidak ia kenal, bahkan ia takuti. Air mata menetes tanpa suara, membasahi bantalnya. Ia merin
ng, dan mengusap rambut Azura lembut. "Jangan mena
rat. "Ibu... aku takut. Aku tidak
ia memilihmu. Mungkin... ia melihat kebaikan dalam dirimu, Nak. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya, seiring waktu." I
aan datang dari pernikahan yang didasari paksaan? Namun, ia tidak punya
panti. Pernikahan akan dilangsungkan di sebuah ruang pertemuan mewah di pusat kota, milik Revan Aksara. Azura diantar oleh Ibu Asi
takan gemerlap yang memusingkan. Beberapa orang berjas rapi sudah duduk di kursi tamu, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti patung-patung hidup. Azura tahu, mereka adalah o
buh tegapnya, rambutnya tersisir rapi, dan wajahnya tetap beku seperti patung marmer. Matanya yang tajam menatap Azura saat ia melangkah masuk, tatapan itu
merasa seperti boneka yang diserahkan dari satu pemilik ke pemilik lain. Revan tidak tersenyum, tidak menguc
sedikit pun keraguan. Azura hanya bisa mengangguk, suaranya tercekat di tenggorokan saat ia mengucapkan "Ya, saya terima." Ia merasa seolah menjual jiwanya, menukar
. Revan mengajak Azura ke sebuah meja bundar kecil untuk menandatangani dokumen pernikahan. Azura menandatangani namanya dengangsung mengajak Azura pulang. Ibu Asih memeluk Azura erat, air
menahan tangis. "Aku akan seri
pun. Setelah Azura mengucapkan selamat tinggal kepada Ibu Asih, Revan meng
ela, melihat pemandangan kota yang bergerak cepat. Ia merasa terasing, seolah-olah ia sudah berada di
n besar. Gerbang itu terbuka otomatis, menampakkan sebuah jalan panjang yang dikelilingi taman terawat, menuju sebuah rumah besar, lebih mirip istana. Rumah itu tampak meg
sa dingin, menusuk kulitnya. Revan tidak menawarkan tangannya, ia berja
ngit tinggi, perabotan antik yang mahal, dan lukisan-lukisan berbingkai emas menghiasi dinding.
menyambut mereka dengan hormat. "Selamat datang, Tuan Revan,
adap Azura. "Ini rumahmu sekarang. Nyonya I
an ucapkan kepadanya sejak mereka meni
Revan lagi, suaranya masih
ang ke salah satu koridor rumah. Azura ditinggalkan sendirian di tengah k
um tipis. "Mari, Nona Azura
nya Ida sungguh luar biasa. Ukurannya sangat luas, dilengkapi dengan ranjang ukuran king, lemari pakaian besar, meja rias, d
ja saya, Nona Azura," kata Nyonya Id
ncekik. Ia mendekati cermin besar di dinding, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya pucat, matanya sem
ngannya. Batu-batu permata itu terasa dingin di kulitnya. Lalu, ia membuka ritsleting gaun pengantinnya,utra. Namun, kemewahan itu tidak memberinya ketenangan. Ranjang ini terasa terlalu besar
ukar kebebasannya, kebahagiaannya, demi orang-orang yang ia cintai. Namun, apakah pengorbanan ini akan sepadan? Apakah ia akan menemukan kebahagiaan di balik tirai besi kemewahan ini? Atau apakah ia