encekam, dan kehadiran Revan yang sporadis namun selalu mengintimidasi, membentuk sebuah sangkar emas yang begitu indah sekaligus m
iuh anak-anak panti, canda tawa Mbak Siti di dapur, atau bisikan doa Ibu Asih yang menenangkan. Yang ada hanya suara derit la
sebelum tidur. Itupun, percakapan mereka nyaris tidak ada. Revan akan duduk di seberang meja makan yang panjang, membaca koran bisnis atau memeriksa tabl
h bertanya suatu pagi, suar
enatap Revan yang masih fokus pada korannya. "Ya, T
an koran. Azura menghela napas dalam hati. Ini
yan, adalah satu-satunya orang yang Azura bisa ajak bicara. Nyonya Ida ramah, meski selalu menjaga jarak dan terlihat sedikit takut pada Revan. Ia
suatu sore saat mereka menyiram tanaman di taman. "Beliau tidak
dah tertanam kuat di benaknya sejak
mempelajari berbagai genre yang belum pernah ia sentuh sebelumnya. Ia juga mulai menyibukkan diri di dapur bersama juru masak, mencoba resep-resep baru yang
kat yang pernah ia dapatkan dari seorang sukarelawan di panti. Perlahan, ia mulai mencoba memainkan kembali lagu-lagu lama yang ia ingat, melodi-melodi sederhana yang dulu memberinya hiburan. Suara p
dang, ia akan pulang larut malam, dengan wajah lebih lelah dan tatapan lebih tajam. Azura tahu, ia tidak boleh bertan
nya. Pernah suatu malam, Azura terbangun di tengah malam karena haus. Ia turun ke dapur dan mendapati Revan duduk sendirian di ruang keluarga, memandangi api di perapian. Ketika A
rpustakaan, Revan masuk. Azura kaget, ia se
wanan dengan Azura. Keduanya membaca dalam keheningan. Azura merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah kali pertama mereka
eliriknya dari balik buku. Azura berpura-pura fokus membaca, padahal pikirannya me
," katanya, suaranya memecah keheningan. "
uan," ja
ra menghela napas lega, namun di saat yang sama, ia mera
a di luar gerbang, meski mereka selalu membalas dengan senyum tipis dan profesional. Ia sempat menelepon Ibu Asih, berbagi cerita tentang panti dan adik-adiknya, namun ia tak berani menceri
ang, matanya lebih tajam. Azura merasakan atmosfer tegang di rumah. Bahkan Nyonya Ida pun terliha
a ia melakukan itu. Azura sedang duduk di meja rias, menyisir ra
zura berdiri, m
ap Azura dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu di
ta, suaranya rendah dan serak. "Sebagai is
ngkeramnya. Selama ini, ia berasumsi Revan tidak akan menyentuhnya, mengingat
endekati mangsanya. Azura mundur selangkah demi selangkah hingga
inginkan?" suar
ra hingga ke relung jiwanya. Kemudian, Revan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Azura den
tetap tanpa emosi, namun ada kekuatan yang tak terbantahk
karena suaranya, tapi karena ia membutuhkan seorang istri yang bisa memberinya an
mata Azura. "Tapi... aku tidak menc
akin beku. "Cinta tidak penting dalam pernikahan ini,
mbiarkan takdir yang ia pilih sendiri, yang ia korbankan demi orang-orang yang ia cintai, menelannya bulat-bulat. Malam itu, di dalam sangkar emas kemewahan, Azura merasakan kehampaan y