an beberapa lembar uang seadanya ia peluk erat. Setiap langkahnya terasa berat, kakinya serasa lumpuh oleh rasa sakit hati dan kebingungan. Di dalam dirinya, ada keh
ya, dituduh sebagai wanita kotor dan diusir dari rum
nti. Tidak sekarang. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada Ibu Asih? Bagaimana ia bisa menghadapi tatapan iba atau pertanyaan polos dari adik-adiknya? Ia
erkedip-kedip, menyoroti gedung-gedung tinggi, pertokoan, dan keramaian manusia yang seolah tak peduli pada penderitaannya. Ia berhenti di sebuah
adang di atas, kadang di bawah. Yang penting, jangan pernah menyerah." Kata-kata itu kini terasa i
sedikit. Setelah berjalan cukup lama, ia menemukan sebuah penginapan kecil yang kumuh di sudut jalan, dengan t
harus mencari pekerjaan, secepatnya. Tapi bagaimana? Ia tidak punya ijazah kuliah, hanya lulusan SMA. Pe
ya sibuk mencari papan pengumuman lowongan kerja. Namun, sebagian besar pekerjaan yang ia temu
ni?" Azura memberanikan diri bertanya pad
e bawah. "Maaf, Nak. Warungku
oko lain, dari satu warung ke warung lain, selalu dengan jawaban yang sama. Jam de
anya menangkap sebuah tanda kecil di depan sebuah ked
a tahu ia bisa belajar. Ia selalu cepat belajar. Ia masuk ke kedai kopi itu, yang tid
ni masih ada?" Azura bertanya, suar
mah. Wajahnya ramah, dengan senyum yang men
at tertarik. N
lurkan tangannya. "Aku pemilik t
a belum punya pengalaman sebagai barista, tapi saya c
tian Bima, namun juga ada ketulusan yang kuat. "Baiklah, Azura. Aku bisa melihat niat
an cepat dan tidak akan mengecewaka
. Untuk awal, gajinya tidak terlalu besar, ta
leganya. "Terima kasih, Mas
Bima. "Sama-sama. Selamat da
Ia sudah punya pekerjaan. Ini adalah langkah pertama untuk membangun kemb
an susu, hingga seni meracik minuman dengan berbagai nama yang rumit. Azura menyerap semua pelajaran itu seperti spons. Ia teliti, fokus, dan tangan
hari, punggung yang sering pegal, dan rasa lelah yang datang lebih cepat. Namun, Azura menahan semuan
yang lebih bersih dan sedikit lebih nyaman dari losmen. Setiap malam, setelah pulang kerja, ia akan memegang p
memastikan Azura tidak terlalu lelah. Ia juga sering memuji Azura di depan pelanggan. "Kop
rnah berkata suatu sore, saat kedai mulai sepi. "A
kit pikiran." Ia tidak bisa menceritakan tentang Revan, tentan
ngan sampai sakit," kata Bima, tatapan m
g mimpinya untuk mengembangkan kedai kopi kecilnya, dan Azura mendengarkan dengan penuh perhatian. B
lan, dan jantungnya akan berdetak kencang. Ia selalu memastikan untuk tidak berada di tempat-tempat yang mungkin Revan datangi. Ia takut, sangat takut, Revan akan menemukannya d
agam barista. Perutnya mulai terlihat menonjol, dan ia tahu cepat atau lambat Bima
ya yang membesar sedikit terlihat. Bima, yang kebetulan lewat, melihat
hamil?" tanya Bi
tidak bisa lagi mengelak. "Ya, Mas Bima. M
ran terkejut dan prihatin. Azura menunggu, cemas
a kamu tidak bilang, Azura? Aku bisa memberimu keringanan. Kamu
a, tak percaya. "
kemudian melihat sekeliling kedai, lalu merendahkan suaranya. "Tapi kamu butuh bantuan
an Revan. Air matanya kembali menggenang. "Dia... dia sudah m
yang mendalam dari Azura. "Kalau begitu, jangan khawatir. Kamu punya aku di sini.
t bersyukur. Di tengah kerasnya dunia ini, masih ada or
" Azura berbisik, tak ma
privasi Azura. Sejak saat itu, Bima menjadi lebih perhatian. Ia sering meminta Azura untuk duduk saat tidak
i yang akan segera lahir ini. Ia akan membesarkannya dengan cinta, meskipun tanpa kehadiran seorang ayah. Ia akan membuktikan bahwa ia bukan wanita kotor, dan anaknya bukan anak haram. I