nd yang teroksidasi. Aroma yang memenuhi setiap celah rumah Danisa, merembes ke
lalu berkilau indah kini terurai acak, menutupi sebagian wajah damainya yang menyiratkan keputusasaan. Di sampingnya, sebuah gelas kosong terbalik, dan sebuahakaknya, Danisa. Danisa yang selalu menjadi panutan, lentera dalam kegelapan hidup mereka. Danisa yang selalu sabar, mu
mara duduk terpaku di sofa, matanya kosong menatap ke arah tubuh Danisa yang kini ditutupi kain putih. Ia tak merasakan dinginnya lantai
ng terkenal dengan pesona licik dan mulut manisnya. Reno yang bersumpah setia, lalu menghancurkan hati Danisa dengan perselingkuhan yang terang-terangan. Kedua, sang mertua, Bram Pramudya, kepala keluarga Pramudya yang berwibawa namun dingin, yang selalu
ima selalu berujung pada hinaan, bagaimana perselingkuhan Reno bukan hanya sekadar perselingkuhan, tapi sebuah pertunjukan yang sengaja dipertontonkan untuk m
makam Danisa, hujan mulai turun, membasahi tanah merah yang masih baru. Amara berlu
asah. "Maafkan aku yang tak bisa melindungimu. Maaf
ih dingin dari hujan, lebih tajam dari pecahan kaca. S
reka. Klan Pramudya akan berlutut. Aku akan membuat mereka
enyala. Ia bukan lagi Amara yang lembut, adik yang penurut. Ia adalah Amara ya
reka, menyisakan hanya kenangan pahit dan janji berdarah. Uang hasil penjualan digunakan untuk mendanai tr
bibirnya lebih penuh dan menggoda. Rambut panjangnya kini dibiarkan terurai, hitam legam, membingkai wajahnya yang tirus. Pakaiannya berubah drastis, dari busana kasual menjadi gaun-ga
mereka, aset-aset mereka, jaringan sosial mereka, bahkan kelemahan-kelemahan tersembunyi yang tak banyak diketahui orang. Ia melahap setiap berita yang berkaitan deng
i mata publik, namun di balik itu adalah seorang tiran yang egois dan kejam. Bram adalah
cul di pameran-pameran seni bergengsi, mencari karya baru untuk memperkaya koleksinya. Amara memanfaatkan kesempatan ini. Ia mengambil kursus singkat tentang
gaun sutra hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Matanya memancarkan ketegasan yang dingin, namun bibirnya
san abstrak modern, tangannya bersedekap, alisnya sedikit mengernyit seolah menilai. Bram Pramudya, de
entang kesedihan, bukan lagi tentang kemarahan yang membabi buta. In
pada lukisan yang sama. Matanya menyapu lu
seperti bisikan musim gugur. "Karya ini memilik
oleh, menatap Amara dari atas ke bawah, menilai. Sebuah tatapan yang sering ia gunakan pada wanita-wanita yang
it. "Saya melihat kekuatan
," sahut Amara, suaranya tetap tenang dan terkontrol. "Sepert
ta di depannya ini berbeda. Ia tidak tersipu, tidak gugup
umnya di acara-acara seperti ini," ka
ati dari kejauhan, Tuan. Dunia seni itu
amudya," Bram meng
Jabatannya mantap, percaya diri, tanpa ada keraguan
pasar seni. Ia memancing Bram untuk bicara, membiarkan ego pria itu menguasai diri, sambil sesekali menyisipkan komen
permulaan yang kecil, namun signifikan. Ia pulang dengan langkah ring
ahas tentang pameran seni yang baru saja mereka kunjungi, menanyakan pendapat Bram tentang beberapa seniman lain.
dan memiliki jadwal rutin untuk bermain golf di klub eksklusif. Amara bahkan sengaja bergabung dengan klub golf yang sama, meskipun ia sama sekali tidak pe
lapangan golf. Ia mengenakan pakaian golf yang m
udya," sapanya, melambai
masang senyum ramah. "Nona Amara. Be
ura canggung. "Saya baru saja bergabung de
n keahliannya. Ia memuji setiap pukulan Bram, mendengarkan setiap nasihatnya dengan seksama, dan sesekali mel
mail Amara dengan lebih panjang, sesekali mengundangnya untuk minum kopi setelah sesi golf, atau membahas tentang proyek seni yang sedang
juga secara mental. Ia harus menjadi seseorang yang tak bisa diabaikan B
. Setiap kali Bram tertawa, Amara teringat tawa licik yang mungkin ia tunjukkan saat Danisa men
iap langkahnya membawa ia lebih dekat pada kehancuran klan Pramudya. Ia membayangkan kehancuran mer
u. Tunggulah.
ah restoran mewah, Bram Pramudya tiba-tiba menatap
ah wanita yang luar biasa. Cerdas, anggun, dan memiliki selera s
ngan senyum tipis, "Anda terl
. merasa ada sesuatu yang istimewa padamu. Sesuatu yan
arena debaran cinta, melainkan karena k
a membalas, suaranya masih tenang. "Saya juga mer
a," kata Bram, senyum
ngguk. "Kalau begitu, kau ju
di Bram yang sepi. Bram bercerita tentang ambisinya, tentang bagaimana ia membangun kerajaannya dari nol. Amara mende
ga ke pintu mobilnya. Di sana, di bawah rembulan,
iku ke sebuah acara amal akhir pekan depan? Akan ad
ng mematikan. "Tentu saja,
dalam ke lingkaran terdalam keluarga Pramudya
malam membelai wajahnya. Ia memejamkan mata, dan wajah Danisa muncul dalam benaknya. W
r kemudi. "Untuk setiap tetes air matamu, untuk setia
mbiarkan ada satu bidak pun yang