img Dendam Seorang Adik  /  Bab 1 Aroma Racun | 20.00%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca
Dendam Seorang Adik

Dendam Seorang Adik

Penulis: Dimas Prasetya
img img img

Bab 1 Aroma Racun

Jumlah Kata:1959    |    Dirilis Pada: 15/06/2025

nd yang teroksidasi. Aroma yang memenuhi setiap celah rumah Danisa, merembes ke

lalu berkilau indah kini terurai acak, menutupi sebagian wajah damainya yang menyiratkan keputusasaan. Di sampingnya, sebuah gelas kosong terbalik, dan sebuah

akaknya, Danisa. Danisa yang selalu menjadi panutan, lentera dalam kegelapan hidup mereka. Danisa yang selalu sabar, mu

mara duduk terpaku di sofa, matanya kosong menatap ke arah tubuh Danisa yang kini ditutupi kain putih. Ia tak merasakan dinginnya lantai

ng terkenal dengan pesona licik dan mulut manisnya. Reno yang bersumpah setia, lalu menghancurkan hati Danisa dengan perselingkuhan yang terang-terangan. Kedua, sang mertua, Bram Pramudya, kepala keluarga Pramudya yang berwibawa namun dingin, yang selalu

ima selalu berujung pada hinaan, bagaimana perselingkuhan Reno bukan hanya sekadar perselingkuhan, tapi sebuah pertunjukan yang sengaja dipertontonkan untuk m

makam Danisa, hujan mulai turun, membasahi tanah merah yang masih baru. Amara berlu

asah. "Maafkan aku yang tak bisa melindungimu. Maaf

ih dingin dari hujan, lebih tajam dari pecahan kaca. S

reka. Klan Pramudya akan berlutut. Aku akan membuat mereka

enyala. Ia bukan lagi Amara yang lembut, adik yang penurut. Ia adalah Amara ya

reka, menyisakan hanya kenangan pahit dan janji berdarah. Uang hasil penjualan digunakan untuk mendanai tr

bibirnya lebih penuh dan menggoda. Rambut panjangnya kini dibiarkan terurai, hitam legam, membingkai wajahnya yang tirus. Pakaiannya berubah drastis, dari busana kasual menjadi gaun-ga

mereka, aset-aset mereka, jaringan sosial mereka, bahkan kelemahan-kelemahan tersembunyi yang tak banyak diketahui orang. Ia melahap setiap berita yang berkaitan deng

i mata publik, namun di balik itu adalah seorang tiran yang egois dan kejam. Bram adalah

cul di pameran-pameran seni bergengsi, mencari karya baru untuk memperkaya koleksinya. Amara memanfaatkan kesempatan ini. Ia mengambil kursus singkat tentang

gaun sutra hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Matanya memancarkan ketegasan yang dingin, namun bibirnya

san abstrak modern, tangannya bersedekap, alisnya sedikit mengernyit seolah menilai. Bram Pramudya, de

entang kesedihan, bukan lagi tentang kemarahan yang membabi buta. In

pada lukisan yang sama. Matanya menyapu lu

seperti bisikan musim gugur. "Karya ini memilik

oleh, menatap Amara dari atas ke bawah, menilai. Sebuah tatapan yang sering ia gunakan pada wanita-wanita yang

it. "Saya melihat kekuatan

," sahut Amara, suaranya tetap tenang dan terkontrol. "Sepert

ta di depannya ini berbeda. Ia tidak tersipu, tidak gugup

umnya di acara-acara seperti ini," ka

ati dari kejauhan, Tuan. Dunia seni itu

amudya," Bram meng

Jabatannya mantap, percaya diri, tanpa ada keraguan

pasar seni. Ia memancing Bram untuk bicara, membiarkan ego pria itu menguasai diri, sambil sesekali menyisipkan komen

permulaan yang kecil, namun signifikan. Ia pulang dengan langkah ring

ahas tentang pameran seni yang baru saja mereka kunjungi, menanyakan pendapat Bram tentang beberapa seniman lain.

dan memiliki jadwal rutin untuk bermain golf di klub eksklusif. Amara bahkan sengaja bergabung dengan klub golf yang sama, meskipun ia sama sekali tidak pe

lapangan golf. Ia mengenakan pakaian golf yang m

udya," sapanya, melambai

masang senyum ramah. "Nona Amara. Be

ura canggung. "Saya baru saja bergabung de

n keahliannya. Ia memuji setiap pukulan Bram, mendengarkan setiap nasihatnya dengan seksama, dan sesekali mel

mail Amara dengan lebih panjang, sesekali mengundangnya untuk minum kopi setelah sesi golf, atau membahas tentang proyek seni yang sedang

juga secara mental. Ia harus menjadi seseorang yang tak bisa diabaikan B

. Setiap kali Bram tertawa, Amara teringat tawa licik yang mungkin ia tunjukkan saat Danisa men

iap langkahnya membawa ia lebih dekat pada kehancuran klan Pramudya. Ia membayangkan kehancuran mer

u. Tunggulah.

ah restoran mewah, Bram Pramudya tiba-tiba menatap

ah wanita yang luar biasa. Cerdas, anggun, dan memiliki selera s

ngan senyum tipis, "Anda terl

. merasa ada sesuatu yang istimewa padamu. Sesuatu yan

arena debaran cinta, melainkan karena k

a membalas, suaranya masih tenang. "Saya juga mer

a," kata Bram, senyum

ngguk. "Kalau begitu, kau ju

di Bram yang sepi. Bram bercerita tentang ambisinya, tentang bagaimana ia membangun kerajaannya dari nol. Amara mende

ga ke pintu mobilnya. Di sana, di bawah rembulan,

iku ke sebuah acara amal akhir pekan depan? Akan ad

ng mematikan. "Tentu saja,

dalam ke lingkaran terdalam keluarga Pramudya

malam membelai wajahnya. Ia memejamkan mata, dan wajah Danisa muncul dalam benaknya. W

r kemudi. "Untuk setiap tetes air matamu, untuk setia

mbiarkan ada satu bidak pun yang

Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY