malam yang baru saja ia lalui. Hari ini adalah hari. Hari di mana Rifky akan mengucap janji suci lagi, dengan wani
tusasaan. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara pun enggan masuk ke dalam paru-parunya. Perdebatan semalam dengan Hajah Fatma dan Rifky masih terngiang-ngiang. Kecurigaan mereka tentang harta
ng menganga di dadanya. Salma berjalan ke kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab dan cekung, dihiasi li
Ia tidak berniat untuk keluar kamar, apalagi bersolek. Untuk apa? Dunia di luar sana akan meraya
u, keluarga Rifky dan kerabat Hajah Fatma pasti sudah mulai berdatangan. Mereka akan berkumpul, merayakan, dan mungkin, membicarakannya. Membicarakan istr
volume penuh, mencoba menulikan diri dari kebisingan di luar. Musik melantunkan melodi sedih, seolah memahami
ang renyah, tawa yang jarang sekali ia dengar ketika berbicara dengannya. Ia bisa membayangkan Rifky, ya
ya bergetar. Sebua
Aku tahu ini hari ini. Aku ingin di
uli dengan perasaannya saat ini. Ia ingin membalas, ingin memanggil Aisha untuk datang. Nam
Sha. Jangan khawatir. Aku c
selnya. Tidak in
. Suara klakson mobil, suara orang berbicara dengan volume lebih tinggi, dan kemudian, ia mendengar su
an belakang yang disulap menjadi tempat resepsi kecil? Salma tidak tahu. Ia tidak berani memb
nar melakukannya. Rifky benar-benar menikah lagi. Melanggar janji, mengi
dela kamar. Jendela itu menghadap ke halaman belakang.
ia lihat menghantamny
lompok orang duduk di sana. Di tengah pelaminan, duduklah Rifky. Ia mengenakan baju pengantin putih, terlihat begitu tampan, begitu berseri-seri. Di sampingnya, duduk s
ti Siti
taran kebahagiaan dari wanita itu. Wanita yang kini akan berbagi suaminya. Wanita
sa melihat lebih lama. Pemandangan itu terlalu menyakitkan. Setiap detik yang ia hndur, bersandar ke dinding, dan membiarkan tubuhnya melorot ke lanta
pedihan yang mendalam. Rasa hampa itu kembali, jauh lebih pekat, jauh lebih
n suara alunan musik yang semakin meriah. Mereka sedang merayakan. Merayakan
n sunyi, sementara di luar, pesta berlangsung. Ia merasa seperti arwah yang
eorang tidak mencintai orang yang akan menjadi pendamping hidupnya, orang yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya? Itu mustahil. Atau, jika Rifky
ini, muak dengan takdir yang kejam, muak dengan diri
i pintu. Pelan, namun je
gapa ia ada di sini? Bukankah ia s
Ia tetap diam, berha
tar," kata Rifky, suaranya sedikit lebih deka
dak ingin mendengar suaranya. Tidak ingin mengh
ni adalah hari yang penti
Salma mendengar Rifky menghela napas panjang, kemudian langkah kakinya menjauh.
rganya dan memiliki kesempatan untuk punya anak. Di sisi lain, ada rasa bersalah yang teramat sangat kepada Salma. Rifky tidak s
sta mungkin sudah usai. Tamu-tamu mungkin sudah pulang. Hanya m
lampu tidur. Cahaya redup menerangi kamarnya. Ia mengambil buku yang sempat ia
amplop kecil, berwarna krem. Amplop itu berisi sebuah surat. Surat yang ia tuli
ermohon
ya terakhirnya untuk bertahan, untuk memberi kesempatan pada Rifky, dan pada dirinya sendiri. Tapi kini, setelah melih
elakukan ini? Haruskah ia mengakhiri semuanya? Mengakhiri lima tahun pernikahan yang pe
Rifky membanjiri benaknya. Tawa mereka, pelukan hangat, janji-janji man
rsama wanita lain. Muncul kembali suara Hajah Fatma yang meremehkan. Muncul kembali aroma parfum asing y
saat ia mulai menuliskan tanda tangannya di bagian bawah surat permohonanini. Ia tidak bisa menjadi istri yang kesepian, yang terabaikan, yang harus menelan pil pahit setia
n menunggu. Menunggu waktu yang tepat. Ia ingin melihat, apakah Rifky akan tetap menepati janjinya, ataukah ia
n surat ini, dan m
an. Bukan ketenangan karena bahagia, melainkan ketenangan karena ia telah membuat keputusan.
a menatapnya seolah itu adalah jimat, sebuah kekua
kosong. Di luar sana, mungkin Rifky sedang memulai babak baru dalam hidupnya
isahan. Sebuah perpisahan yang akan menghancurkan segalanya, namun mungkin juga akan membebaskannya. Ia tid