karena rasa sakit, melainkan karena campuran gugup dan antisipasi. Udara dingin langsung memeluknya, menusuk kulit, namun entah mengapa terasa menyegarkan. Ini adala
gai belahan dunia, aroma kopi dan roti yang baru dipanggang dari kafe bandara-semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Raya menarik napas
ya dan petunjuk arah yang sudah ia pelajari, Raya naik kereta bawah tanah, atau yang lebih dikenal dengan tube. Sensasi berdesakan dengan orang banyak, mendengarkan aksen-aksen Inggris yang berbeda, dan
jalanan yang ramai, di mana bus tingkat merah melintas, dan orang-orang berlalu lalang dengan langkah cepat. Raya meletakkan kopernya, membuka jendela kecil itu, dan membiarkan udara di
jelajahi internet untuk mencari informasi tentang kotanya. Ia menemukan beberapa grup mahasiswa Indonesia di London, dan memutuskan untuk bergabung dengan salah satunya, berharap bisa menemukan teman sebangsa d
n sinar matahari sudah mulai menembus tirai kamarnya. Musim panas di London berarti hari yang lebih panjan
lalu jauh dari asramanya, sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, ia mengamati sekelilingnya: arsitektur klasik yang megah berca
kit canggung pada awalnya, dikelilingi oleh begitu banyak wajah asing dari berbagai negara. Namun, ia memaksakan dirinya untuk tersenyum, untuk b
elalu siap membantu. Ada juga Aisha, seorang gadis dari Maroko dengan mata yang berbinar dan senyum hangat, yang juga terlihat sedikit gugup seperti Raya. Ketiganya menemukan kesamaan dalam m
menjanjikan. Ia menghabiskan sisa sore itu untuk menjelajahi lingkungan sekitar asramanya. Ia menemukan sebuah supermarket kecil untuk membeli bahan makanan dasar, sebuah kedai kopi
ng tipografi, layout, ilustrasi digital, dan berbagai perangkat lunak desain. Otaknya yang dulu selalu dipenuhi dengan bayang-bayang pengkhianatan, kini sibuk dengan ide-ide kreatif, proyek-proyek desai
is, dan Aisha berbagi kisah-kisah menarik dari kampung halamannya. Raya pun, dengan hati-hati, mulai berbagi sedikit demi sedikit tentang dirinya, meskipun ia masih menjaga jarak dari detail-detail yang terlalu p
akaan, Liam bertanya, "Raya, kenapa kamu memilih datang ke London? Mak
.. aku hanya ingin pengalaman baru, Liam. Ingin melihat dunia di luar
u suka bagaimana orang-orang di sini terlihat begitu fokus den
drama." Kalimat itu terucap begitu saja, tetapi mengandung makna yang dalam baginya. Ia datang
m tidur. Ia akan teringat bagaimana Bima pernah membantunya mengerjakan PR matematika, atau bagaimana Arjun selalu menemaninya menonton kartun di hari Minggu. Kenang
unjungi seolah mengisi kekosongan dalam dirinya. Ia membiarkan dirinya terhanyut dalam keindahan kota, dalam sejarahnya, dalam energinya yang tak pernah mati. Ia mengam
atan dasarnya dan mulai berlatih di waktu luangnya. Gerakan pena di atas kertas, membentuk huruf-huruf dengan indah, terasa sangat menenangkan. Itu adalah bentuk medi
ah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya ia mengabaikannya, tetapi b
n. Kamu di mana? A
sa asing dan penuh duri. Sudah hampir tiga bulan sejak ia meninggalkan Jakarta. Mengapa bar
, tangannya sedikit gemetar. Air muka Raya berubah mura
ik-baik saja?" tanya Ai
ya... pesan yang salah kirim." Ia berbohong, s
maskannya? Atau hanya basa-basi? Rasa sakit itu kembali merayap, mencoba menusuk pertahanan yang sudah susah payah ia bang
tiannya. Ia menghabiskan beberapa jam mengerjakan proyek ilustrasi digital, membiarkan pikirannya se
nsel terus berdering. Akhirnya, ia melihat ke layar. Ada lima panggilan tak terjawab dari nom
idaknya balas pesan kami. Ayah benar-benar khawatir. Kami... kami
menusuk. Merindukan? Setelah semua yang mereka lakukan? Setelah mereka membuangnya begitu saja? Ia tidak bisa menerim
ya terasa seperti air mata yang belum tumpah dari matanya. Ia merindukan keluarganya yang dulu. Ia merindukan tawa Bima, kejahilan Dito, per
. Keputusannya sudah bulat. Ia harus fokus pada masa depannya, pada kesempatan yang telah ia dapatka
memasang papan pengumuman "Dibutuhkan Desainer Grafis Paruh Waktu". Matanya berbinar. Ini adalah kesempatan bag
ia siapkan. Mrs. Davis terkesan dengan karya-karya Raya, terutama logo dan poster yang ia desain untuk proyek kampus. Raya diterima. Ini adal
dan bagaimana bekerja di bawah tekanan. Ia mendesain menu baru, poster promosi, bahkan logo khusus untuk acara musiman. Setiap kali melihat desainnya terpampang
h untuk tidak pulang ke Indonesia. Ia menghabiskan Natal bersama Liam dan Aisha, yang juga tidak pulang ke negara masing-masing. Mereka bertukar kado sederhana, memasak makanan khas negara mas
kah ia membuat keputusan yang tepat. Namun, setiap kali keraguan itu muncul, ia akan melihat sekelilingnya: apartemen kecilnya yang nyaman, teman-teman barunya, kampus yang memberinya beg
sain di kamarnya, ia menerima email. Dari Ayahnya. Kali in
a. Ia juga menulis bahwa Luna sudah pindah dari rumah mereka, kembali ke panti asuhan tempat ia berasal. Ayahnya tidak menjelaskan secara rinci mengapa Luna pergi, hanya menyebutka
ahnya akhirnya mengakui kesalahannya. Dan ada sedikit rasa aneh mendengar para kakaknya menyesal. Namun, luka itu masih ada. Tidak semudah itu untuk
. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya: Apakah ia harus membalas? Ap
i diri dan menyembuhkan luka. Ia telah memilih untuk pergi, meninggalkan luka pengkhianatan keluarganya yang sudah
jalannya sendiri di tanah asing ini. Dan kekuatan itu, adalah modal utamanya untuk menghadapi babak selanjutnya dalam hidupnya, apa pun