kembali. Udara Jakarta yang hangat dan lembap segera menyergapnya begitu ia keluar dari pesawat, membawa serta aroma khas kota: bensin, asap knalpot, dan rempah-rempah dari warung makan. Kali ini, t
tidak yakin apakah ada yang akan menjemputnya. Ia tidak memberitahu mereka tanggal dan jam kedatangannya secara pasti, hanya
erumunan penjemput lainnya. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya mena
ada lingkaran hitam di bawah matanya. Wajahnya yang selalu tegas kini tampak dipenuhi kerutan khawatir. Begitu menyadari Raya
bereaksi seperti apa. Begitu sampai di depannya, Arjun tidak berkata apa-apa. Ia hanya me
embali kenangan masa lalu. Kenangan tentang Arjun yang selalu melindunginya, Arjun yang selalu mengajaknya bermain bola di ha
k, teredam di rambut Raya.
menatap wajah Arjun. "Kakak
i tidak akan membiarkanmu pulang sendiri. Ayah... Ayah m
" Raya menge
a, dan Dito. Mereka semua ada di sana, berdiri beberapa langkah di belakang Arjun, mena
Mereka semua mengenakan kemeja rapi, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka sudah berbed
anggilnya pelan, suaranya dipenuh
angguk, masih m
anya bisa menatap Raya dengan mata berkaca-k
rnya terkatup rapat, tetapi matanya
ndukan kalian." Kalimat itu terasa aneh di l
. Dia tidak bisa datang karena kesehatannya belum puli
menatap pemandangan Jakarta yang familiar namun terasa asing. Ada ketegangan yang menggantung di udara. Mereka berusah
kenangan pahit. Ia melangkah keluar dari mobil, menatap fasad rumah yang tidak berubah. Halaman dep
rsi favoritnya. Wajah Ayah terlihat jauh lebih tua dari yang Raya ingat. R
kaca. "Raya," panggilnya, suaranya berg
iar, campuran tembakau dan aroma kayu, menenangkan hatinya. Peluka
pulang,"
aya dengan lembut. "Ayah sangat khawatir. Maafkan Ayah, Nak. Ayah terlalu sibuk
menusuk. Melihat ayahnya begitu terpuruk, membuatnya sa
begitu," Raya menenangkan. "
ritakan lagi tentang penipuan Luna, kali ini dengan detail yang lebih lengkap. Bagaimana Luna dengan licik memanipulasi
. "Luna selalu pandai memutarbalikkan fakta. Dia selalu membuat seolah-olah d
wajah kakaknya. Mereka semua menunduk, tidak berani
lagi yang bisa melawannya. Tapi Candra... Candra mulai curiga. Dia melihat beberapa transaksi aneh di
ruangan, dan akhirnya kami menemukan bukti-bukti yang tidak terbantahkan. Luna dan kelu
Luna, dan melaporkan mereka ke polisi. Rumah ini... terasa sangat kosong setelah itu, Raya. Kami meny
kirkanmu. Kami mencarimu, mencoba menghubungimu. Kami ingin meminta maaf, meminta kesempatan unt
n pemahaman. Mereka memang buta, dan Luna memang sangat lihai. Ia menyadari bahwa memaa
gerti," kata Raya, suaranya tenang. "Tapi... melupakan
k. Seberapa pun yang kamu butuhkan. Tapi tolong, jangan pe
selama liburan musim panas. Setelah itu, aku h
ngangguk. "Itu sudah lebih dari cukup, Raya," kata Arju
enangan lama masih membekas di setiap sudut, tetapi ia mencoba melihatnya dengan perspektif yang berbeda. Ia mulai menghabiskan waktu bersama Ayah, me
a, mengajak bicara, menanyakan tentang kuliahnya di London. Bima mencoba mengajak Raya untuk bermain basket lagi, seperti d
penuhnya melupakan bagaimana mereka memilih Luna, bagaimana mereka mengabaikannya. Setiap tawa yang dul
bawa dua gelas teh hangat. "Raya, bisa kita
Bima duduk di s
kata Bima, menatap lurus ke matanya. "Aku ingin menceritakan semua
aca orang. Ia tahu apa yang dibutuhkan setiap kakak, dan ia memberikannya. Kepada Arjun, Luna menunjukkan sisi rentan dan butuh perlindungan. Kepada Dito, Luna menunjukkan sisi ce
ta Bima, matanya meredup. "Dia selalu membandingkan dirinya denganmu, membuat seolah-olah dia tidak
interupsi. Ia mulai mema
memperlakukanmu. Aku hanya ingin kamu tahu, kami menyesalinya setiap hari. Aku merindukan saat-saat kita bisa b
ia yang dulu begitu kuat dan tak tergoyahkan di
kata Raya pelan. "Aku ju
, Raya? Memberi kami kesempatan lagi?"
aku bisa melupakan sepenuhnya, Kak. Tapi aku ak
ama tidak Raya lihat. Ia memeluk adiknya.
rima ajakan mereka untuk makan malam bersama di luar, untuk menonton film, atau sekadar mengobrol santai. Mereka tidak lagi me
kuan yang ia dapatkan di London, kepercayaan diri yang ia bangun di sana, sudah cukup baginya. Ia tidak lagi menc
a. "Raya, kami ingin meminta maaf secara resmi padamu. Kami i
. Kalian sudah mengakui kesalaha
desain. Bagaimana kalau kami membuatkan sebuah studio kecil di rumah, khusus untukmu? Dengan semua
buah studio. Itu adalah impiannya. Tempat di
agus," kata Raya, suar
London, Raya," tambah Candra. "Anggap saj
Kak. Beasiswaku sudah mencukupi. Ak
ta Arjun lembut. "Ini tentang kami. Kami ingin ber
ar-benar ingin menebus kesalahan. Ia melihat kerendahan hati
ya, mengangguk pel
asih ada, tetapi tidak lagi mendominasi. Ia telah melewati badai, dan kini, ia melihat pelangi. Proses penyembuhan memang panjang, tetapi ia tahu ia tidak sen
n dari cerita mereka. Namun, kini ada pemahaman, ada maaf, dan ada harapan. Ia telah meninggalkan Jakarta sebagai gadis yan
dengan Ayah, dengan para kakaknya, mencoba membangun kembali jembatan yang runtuh.
gi. Tidak ada lagi air mata kesedihan, hanya pelukan hangat dan janji untuk terus berkomun
kecanggungan. Mereka tertawa, bercerita, bahkan Dito sempat
aik-baik, Raya
kami ya kalau sudah
sainmu sudah jadi, kam
ya di sana!" Dito
. Ia memeluk mereka satu per satu. "Terima kas
gi menyakitkan. Itu telah menjadi bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya. Ia telah berdamai dengan masa lalunya, dan kini,