us janda di usia dua puluh delapan tahun. Dinding-dinding apartemen yang dulu dipenuhi tawa Adam, kini hanya menyisakan gema kekosongan. Setiap sudut, setiap benda, seolah
r bagai jurang tak berdasar. Adam ingin hidup bebas, tanpa ikatan, sementara Melati mend
cul di layar. Melati menghela napas panjang se
, Nak?" Suara ibunya terde
berbohong. Baginya, semua
Ibu, nada suaranya berubah berat. "Ada s
. "Siapa, Bu? Ibu tahu ka
i dia pria yang baik. Ibunya sahabat karib Ibu, dan anaknya..."
alasan terbesarnya untuk menikah, dan kini, impian itu seolah pupus bersamaan dengan hancurnya pernikaha
k bisa..." Melati mencoba men
ukan hanya tentangmu. Ini tentang
a. Pada akhirnya, Melati setuju untuk bertemu. Ia merasa lelah, terlalu lelah untuk melawan. Mung
berwarna pastel, berusaha menekan segala emosi yang bergejolak di dadanya. Ibunya sudah tiba lebih dulu, duduk bersama seo
lambaikan tangan dengan antusias. "In
ante Dewi membalas senyumannya dengan hangat. "Cantik
gelap yang memancarkan aura serius, bahkan sedikit arogan. Rambutnya hitam legam, tersisir rapi. Pakaiannya formal, setelan jas mahal yang pas di tubuhnya. Ia tampak
sapa Mel
anpa kata. Sikapnya yang dingin membuat Melati
perti yang akan dijodohkan. Melati sesekali mencuri pandang ke arah Andi, berharap menemukan sedikit kehangatan di matanya, tetapi yang ia temukan
menikah?" tanya Tante D
ntak. "Menik
idak perlu menunda-nunda lagi. Semakin c
butuhkan ibu. Rasa simpati dan kewajiban mulai bercampur aduk di hati Melati. Ia ingin menolak, t
inkan kewajiban dan rasa iba. Andi juga hanya mengangguk, tanpa menunjukkan emosi apapun. Melati tidak tahu a
bihan, mencerminkan hatinya yang tidak bersukacita. Andi dengan setelan jas hitamnya, tampak gagah namun tetap dengan ekspresi datarnya. Tidak ada ciuman
Ia meninggalkan apartemennya dan pindah ke rumah Andi, sebuah rumah besar di kaw
mereka sampai di rumah. Suaranya terdengar datar,
uk memenuhi keinginan ibunda Andi dan, yang terpenting, untuk Rara. Ia masuk ke kamarnya. Kamar itu luas, bersih, dan tera
di ruang kerjanya. Rara, anak Andi, belum terlihat. Ia diberitahu bahwa Rara sedang menginap di rumah neneknya, Tante Dewi, dan
g dingin ini. Ia menyiapkan roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki menuruni ta
" tanya Melati
, mencicipinya, lalu mengunyahnya tanpa ekspresi. Melati menunggu reaksi, berhara
is kecil berambut cokelat sebahu, dengan mata bulat besar yang mirip dengan Andi, berlari riang k
nte Dewi lembut, menunjuk Melati
ada sapaan. Hanya tatapan mata yang dalam, seolah menilai. Melati mer
i, memberikan senyum pal
alik kaki ayahnya, sedikit mengintip dar
a Andi, suaranya tenang, tet
lana Andi. Melati merasa sedikit kecewa, te
Melati lembut. "Rara
memang sedikit pemalu dengan orang b
rcerita. Namun, Rara selalu menghindar. Gadis kecil itu lebih suka berada di dekat ayahnya, atau bermain sendiri
stikan semuanya berjalan lancar, dan berusaha keras mendekati Rara. Di sisi lain, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Andi tetap menjadi sosok yang
ses, itulah yang ia ketahui dari Tante Dewi. Ia kaya, itu jelas terlihat dari gaya hidupnya, tetapi kekayaannya tidak
mbali bekerja, makan malam, dan kembali ke ruang kerja. Tidak ada spontanitas, tidak ada kejutan. Hidupnya monoton, seperti yang ia dengar dar
tika Andi tiba-tiba muncul. Ia baru saja pulang dari kantor.
?" tanya
m sejenak.
akkan bukunya. "Dem
" Nada suara Andi terdengar sedikit khawati
, wajahnya pucat, dahinya berkeringat. Melati menyentuh dahi Rara, dan memang
nya ke dokter lagi,
ghubungi dokter langganan kami.
pengantar tidur, dan terus-menerus mengecek suhu tubuhnya. Andi berdiri di ambang pint
er memeriksa Rara, memberikan resep obat, dan meyakinkan bahwa demamnya akan turun. Sete
ata Andi tiba-tib
noleh. "U
kau tampak tahu apa
menyukai anak-anak, Andi. Dan
astikan Rara baik-baik saja, dan selalu mendapati Melati setia di samping tempat tidur Rara. Ad
un dengan wajah lebih ceria. Melati menyiapkan sarapan bubur u
Ibu menikah dengan A
rus ia katakan? Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarn
ati, mencoba mencari jawaban yang paling jujur namun tetap s
latnya yang besar. "Jadi, Ibu Mela
"Iya, Rara. Ibu ak
t Melati memasak, sesekali bertanya tentang apa yang sedang Melati lakukan. Melati mulai membacakan dongeng sebelum tidur untuk Rara, mengajaknya berma
emosi. Melati merasa ia hidup bersama patung, patung yang sangat tampan tetapi tanpa kehidupan. Ia merindukan percaka
ga, ketika Andi pulang dari kantor. Ia berhenti sejenak,
Andi, suaranya sedikit l
an terpanjang yang mereka miliki di luar topik Rara atau rumah. "Sang
ati menangkap sedikit gurat pemahaman di matanya. Ia kembali
mekar indah, kelopaknya seputih salju. Ia tidak tahu siapa yang meletakkannya di sana. Ia bertanya pad
sedikit kehangatan yang tersembunyi. Mungkin, Andi tidak sepenuhnya tak b
hannya. Apakah ia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam keheningan yang nyaman ini? Ia mencintai Rara, itu pasti. Rara adalah ca
nggi dan ia muntah-muntah. Melati panik. Ia segera menele
gi. Dia muntah-muntah," kat
emas. "Aku akan segera pulang.
k. Ia memeluk Rara yang terus menggigil. Dalam keputusasaan, ia mencoba menghubungi tema
pon lagi. "Bagaimana?
ng sekarang," jawab Melati, air matanya mulai
. Aku akan segera sampai. Coba kompres dia te
berikan air hangat, tetapi Rara sangat lemah. Melati merasa tidak berdaya. Ia merindukan Adam, merindukan seseorang yang bis
Andi terdati di halaman. Pria itu langsung masuk ke rumah, berlari menuju
annya?" tanyanya
i," jawab Melati,
ke dalam gendongannya. "Kit
an dan perlengkapan Rara. Mereka bergegas ke mobil. Di perjalanan, Melati memegang
nunggu di luar, tegang. Melati terus-menerus berdoa dalam hati. Andi sesekali melirik M
tabil. Dia mengalami dehidrasi karena muntah-muntah dan demam. Kita a
alinya, ia melihat kelegaan yang begitu jelas di wajah pria itu
dan menemaninya saat dokter memeriksa. Andi juga sering datang, membawa buah-buahan dan mainan untu
r, Andi duduk di sofa di sudu
, Andi," kata
oleh. "U
Rara. Kau... kau tamp
suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Sej
n Andi tidak pernah menceritakannya. Rasa simpati menyeruak di hati Melati. Ia menyadari bahwa di balik tembok a
berduka," k
keheningan itu terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang canggu
ersenyum tipis, bahkan sesekali memulai percakapan kecil. Ia juga lebih sering berada di rumah, tidak lagi menghabisk
ng makan malam, Andi tiba-tib
elum pernah keluar dari mulut Andi sebelumnya. "Baik," jawab Melati, s
angguk. "
g dimulai tanpa cinta dan paksaan, akan menemukan jalannya sendiri. Mungkin, di antara mereka berdua,
, kini mulai terlihat berbeda di matanya. Ia masih dingin, ya, tetapi ada retakan-retakan kecil d
anan dirinya. Melati, yang dulu hanya ingin melarikan diri dari takdir ini, kini mulai bertanya-tanya, apakah mungkin ada kebahagiaan yang menanti di akhir perjalanan yang tak terduga ini. Babak