img Aku Menyerah, Memilih Pergi  /  Bab 1 luka dan kekecewaan | 5.26%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca
Aku Menyerah, Memilih Pergi

Aku Menyerah, Memilih Pergi

img img img

Bab 1 luka dan kekecewaan

Jumlah Kata:3032    |    Dirilis Pada: 21/06/2025

hiruk pikuk kota perlahan mereda, namun di dalam hati Naira, badai emosi justru baru saja dimulai. Sudah sembilan tahun berlalu sejak ia mengikat janji suc

nang, seorang pria yang tampak matang dan bertanggung jawab, dengan tatapan sendu dari putranya, Arka, yang baru berusia tiga tahun, hati Naira langsung tergerak. Ada semacam panggilan batin, sebuah

l untuk menyiapkan sarapan kesukaan Arka, memilihkan pakaian, mengantar-jemput sekolah, menemani belajar, bahkan mendongeng sampai Arka tertidur pulas. Setiap batuk kecil Arka membuatnya panik, setiap demam Arka membuatnya terjaga semalaman. Ia membelikan Arka mainan, buku cerita, dan sega

mnya kian jarang terukir untuk Naira. Tatapannya, jika pun bertemu, terasa hampa, seolah Naira hanyalah bayangan yang melintas. Percakapan mereka menjadi formal dan transaksional, berputar di sekitar tagihan, jadwal Arka, atau keperluan rumah tangga. Tak ada lagi obrolan hang

ntuk memeluk atau sekadar meraih tangannya. Keintiman fisik hampir lenyap sama sekali, dan keintiman emosion

. Ia jarang menatap mata Naira, jawabannya seringkali hanya anggukan atau gelengan kepala. "Ya," "Tidak," "Terserah," adalah kata-kata yang paling sering keluar dari mulutnya saat berbicara dengan Naira. Ia lebih sering mengunci diri di kamar, bermain game, atau berbicara di telepon dengan teman-temannya. Jika terpaksa berinteraksi, Arka

g, aku merasa Arka semakin jauh. Apa ada yang salah denganku? Atau mung

ari layar laptopnya. "Namanya juga anak-anak

a kita, Danang. Dia tidak pernah bercerita apa pun p

pannya tak mengandung simpati. "Sudahlah, Naira. Jangan dil

rasa sakit yang Naira coba utarakan. Seolah-olah perasaannya tidak valid, seolah-olah ia berlebihan. Perlahan, Naira

itam, dan senyum yang dulu sering menghiasi bibirnya kini terasa asing. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang salah denganku? Apa aku tidak

harus lebih bersabar, lebih berusaha. Namun, waktu terus berjalan, bulan berganti tahun, dan tidak ada perubahan. Hanya ada pengabaian yang

Danang dan Arka: roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk segar. Ia meletakkannya di meja

ap," Naira memanggil lembut dari ambang

at di balik selimut

anjang. "Ayolah, nanti terlambat seko

jawab Arka tan

a tersenyum. "Setidaknya minum jusnya

irnya membuka mata, menatap Naira sekilas denga

an yang ia siapkan. Sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Ia keluar dari kamar Arka dengan lan

tanya Danang, tanpa

era makan," jawab Naira, berusaha

angan terlalu dipikirkan,"

embersihkan meja. Tak ada ucapan terima kasih dari Danang, tak ada tatapan apresia

ang Men

nghabiskan hari-harinya mengurus rumah, menunggu Danang pulang, dan sesekali mencoba mendekati Arka yang semak

ng, dan Arka sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Naira sendirian di apartemen yang luas itu

r suara ketukan keras di pintu depan. Jantungnya berdebar. Siapa yang datang selarut i

a?" panggil Naira r

t buruk menyelimutinya. Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Danang, namun saat tangan

a mengenali seragam kurir yang dikenakannya, meskipun sudah compang-camping. Pria itu adalah kurir yang tadi sia

yeringai, menunjukkan gigi kuningnya. "Tadi siang

ayap di seluruh tubuhnya. "Anda mau apa? Keluar dari rumah saya

g dan terjatuh di lantai marmer ruang tamu. Ponselnya terlepas dari genggaman, ter

itu mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya dengan kasar. Rasa sakit menjalar di len

artemen mereka cukup terisolasi, tetangga jarang ada yan

ria itu, ia menggigit tangannya, namun tak ada gunanya. Kekuatan pria itu jauh melebihi dirinya. Baju

anang adalah suaminya, pelindungnya. Ia adalah ayah dari Arka. Ia pasti akan datang menolongnya.

mun tidak ada jawaban. Naira terus mencoba, mencoba nomor Danang, lalu mencoba nomor Arka. Di tengah serangan yang mengerikan itu, ia melihat ponselnya sendir

itu tertawa kejam. "Suamimu itu tidak pedul

berjuang. Ia melihat secercah harapan ketika ia mendengar suara mobil famili

Naira berteriak sekuat tenaga

ng telah melihat pemandangan itu, namun kemudian memilih untuk mengabaikannya. Pr

jijik, dan kehancuran yang tak terhingga. Ia menyerah, membiarkan tubuhnya lunglai, air mata mengalir tak henti-hentinya. Ia membayangkan wajah Arka, wajah

uruh tubuhnya. Pria itu sudah tidak ada. Ia terbaring di lantai kamar tidur yang gelap, de

antulan dirinya di cermin. Wajahnya bengkak, matanya merah sembap, rambutnya kusut masai, dan ada bercak darah di sudut bibirnya. Ia melihat memar di leh

etiap sentuhan terasa menyakitkan, baik fisik maupun batin. Setelah itu, ia melangkah kelua

olah tidak terjadi apa-apa. Di sampingnya,

an, tidak ada kekhawatiran, tidak ada tatapan iba. Mereka duduk di sana, dalam kehen

Naira serak, nya

in. "Ada apa? Kenapa kamu berantakan begit

erburuk dalam hidupnya, dan inilah reaksi suaminya. "Aku... aku diserang," katanya,

apa? Kapan? Aku tidak mendengar apa-apa." Ia mel

encoba menjelaskan, putus asa mencari simpati di mata Danang. "Aku sudah bert

a beban yang tak perlu. "Sudahlah, Naira. Mungkin kamu bermi

anang bisa berkata begitu? "Aku tidak bermimpi! Aku... ak

kan pandangannya ke Arka. "Arka, su

p Naira. Ia berdiri, berjalan melewati Naira

Danang, matanya penuh air mata dan kekecewaan yang tak

ah. Jangan membuat drama. Jika memang ada orang yang masuk, kenapa kamu tidak

hong, dituduh membuat drama. Pikirannya kembali ke saat ia mencoba menelepon Danang, saat ia berteriak minta tolong. Ia ingat bagaim

anku, kan? Kau mengabaikanku!" Suara Naira mening

uh yang tidak-tidak, Naira. Aku baru s

embiarkanku mati! Kalian berdua! Kalian membiarkan aku! Aku memohon pertolong

erkendali. Danang hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi jijik, seolah Naira adalah sesuatu

aranya menusuk hingga ke tulang. "Seharusnya aku tidak per

ua cinta, semua harapan yang ia tanamkan selama sembilan tahun terakhir, hancur berkeping-keping dalam sekejap. Ia mengangkat wajahny

harapan itu, ketulusan itu, semuanya lenyap. Yang ter

ra bangkit. Ia bergerak pelan, hati-hati, seperti hantu. Ia mengemasi barang-barangnya. Bukan barang-barang berharga, bukan perhiasan atau uang. Ia hanya

emosional yang baru saja dialaminya. Air mata Naira sudah mengering, digantikan oleh kek

yang dalam. Naira menyadari bahwa Arka mungkin hanyalah korban dari situasi ini, dibesarkan dalam lingkungan yang dingin, tanpa contoh kasih sayang yang tulus. Namun, pengabaian

eritaan yang ada di luar. Pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, sandarannya, justru adalah orang yang paling melukainya.

dirinya telah hancur berkeping-keping, namun jiwanya tidak. Malam itu adalah titik balik. Ia telah diber

singkat dan padat, tanp

anang d

at hanyalah pengabaian dan kehancuran. Aku tidak akan lagi menjadi bayangan

a

selalu ia isi dengan bunga segar, meskipun tak pernah ada yang mempe

embersihkan, seolah-olah setiap embusan angin membawa pergi beban yang selama ini menghimpitnya. Ia melangkah keluar, menut

u di matanya-tatapan tekad yang membara. Ia telah mati di malam itu, namun ia juga terlahir kembali. Terlahir sebagai Naira yang baru, Naira

aira menarik napas dalam-dalam, menghirup udara kebebasan. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, atau apa yang ak

Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY