hiruk pikuk kota perlahan mereda, namun di dalam hati Naira, badai emosi justru baru saja dimulai. Sudah sembilan tahun berlalu sejak ia mengikat janji suc
nang, seorang pria yang tampak matang dan bertanggung jawab, dengan tatapan sendu dari putranya, Arka, yang baru berusia tiga tahun, hati Naira langsung tergerak. Ada semacam panggilan batin, sebuah
l untuk menyiapkan sarapan kesukaan Arka, memilihkan pakaian, mengantar-jemput sekolah, menemani belajar, bahkan mendongeng sampai Arka tertidur pulas. Setiap batuk kecil Arka membuatnya panik, setiap demam Arka membuatnya terjaga semalaman. Ia membelikan Arka mainan, buku cerita, dan sega
mnya kian jarang terukir untuk Naira. Tatapannya, jika pun bertemu, terasa hampa, seolah Naira hanyalah bayangan yang melintas. Percakapan mereka menjadi formal dan transaksional, berputar di sekitar tagihan, jadwal Arka, atau keperluan rumah tangga. Tak ada lagi obrolan hang
ntuk memeluk atau sekadar meraih tangannya. Keintiman fisik hampir lenyap sama sekali, dan keintiman emosion
. Ia jarang menatap mata Naira, jawabannya seringkali hanya anggukan atau gelengan kepala. "Ya," "Tidak," "Terserah," adalah kata-kata yang paling sering keluar dari mulutnya saat berbicara dengan Naira. Ia lebih sering mengunci diri di kamar, bermain game, atau berbicara di telepon dengan teman-temannya. Jika terpaksa berinteraksi, Arka
g, aku merasa Arka semakin jauh. Apa ada yang salah denganku? Atau mung
ari layar laptopnya. "Namanya juga anak-anak
a kita, Danang. Dia tidak pernah bercerita apa pun p
pannya tak mengandung simpati. "Sudahlah, Naira. Jangan dil
rasa sakit yang Naira coba utarakan. Seolah-olah perasaannya tidak valid, seolah-olah ia berlebihan. Perlahan, Naira
itam, dan senyum yang dulu sering menghiasi bibirnya kini terasa asing. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang salah denganku? Apa aku tidak
harus lebih bersabar, lebih berusaha. Namun, waktu terus berjalan, bulan berganti tahun, dan tidak ada perubahan. Hanya ada pengabaian yang
Danang dan Arka: roti bakar, telur orak-arik, dan jus jeruk segar. Ia meletakkannya di meja
ap," Naira memanggil lembut dari ambang
at di balik selimut
anjang. "Ayolah, nanti terlambat seko
jawab Arka tan
a tersenyum. "Setidaknya minum jusnya
irnya membuka mata, menatap Naira sekilas denga
an yang ia siapkan. Sama seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Ia keluar dari kamar Arka dengan lan
tanya Danang, tanpa
era makan," jawab Naira, berusaha
angan terlalu dipikirkan,"
embersihkan meja. Tak ada ucapan terima kasih dari Danang, tak ada tatapan apresia
ang Men
nghabiskan hari-harinya mengurus rumah, menunggu Danang pulang, dan sesekali mencoba mendekati Arka yang semak
ng, dan Arka sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Naira sendirian di apartemen yang luas itu
r suara ketukan keras di pintu depan. Jantungnya berdebar. Siapa yang datang selarut i
a?" panggil Naira r
t buruk menyelimutinya. Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Danang, namun saat tangan
a mengenali seragam kurir yang dikenakannya, meskipun sudah compang-camping. Pria itu adalah kurir yang tadi sia
yeringai, menunjukkan gigi kuningnya. "Tadi siang
ayap di seluruh tubuhnya. "Anda mau apa? Keluar dari rumah saya
g dan terjatuh di lantai marmer ruang tamu. Ponselnya terlepas dari genggaman, ter
itu mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya dengan kasar. Rasa sakit menjalar di len
artemen mereka cukup terisolasi, tetangga jarang ada yan
ria itu, ia menggigit tangannya, namun tak ada gunanya. Kekuatan pria itu jauh melebihi dirinya. Baju
anang adalah suaminya, pelindungnya. Ia adalah ayah dari Arka. Ia pasti akan datang menolongnya.
mun tidak ada jawaban. Naira terus mencoba, mencoba nomor Danang, lalu mencoba nomor Arka. Di tengah serangan yang mengerikan itu, ia melihat ponselnya sendiritu tertawa kejam. "Suamimu itu tidak pedul
berjuang. Ia melihat secercah harapan ketika ia mendengar suara mobil famili
Naira berteriak sekuat tenaga
ng telah melihat pemandangan itu, namun kemudian memilih untuk mengabaikannya. Pr
jijik, dan kehancuran yang tak terhingga. Ia menyerah, membiarkan tubuhnya lunglai, air mata mengalir tak henti-hentinya. Ia membayangkan wajah Arka, wajah
uruh tubuhnya. Pria itu sudah tidak ada. Ia terbaring di lantai kamar tidur yang gelap, de
antulan dirinya di cermin. Wajahnya bengkak, matanya merah sembap, rambutnya kusut masai, dan ada bercak darah di sudut bibirnya. Ia melihat memar di leh
etiap sentuhan terasa menyakitkan, baik fisik maupun batin. Setelah itu, ia melangkah keluaolah tidak terjadi apa-apa. Di sampingnya,
an, tidak ada kekhawatiran, tidak ada tatapan iba. Mereka duduk di sana, dalam kehen
Naira serak, nya
in. "Ada apa? Kenapa kamu berantakan begit
erburuk dalam hidupnya, dan inilah reaksi suaminya. "Aku... aku diserang," katanya,
apa? Kapan? Aku tidak mendengar apa-apa." Ia mel
encoba menjelaskan, putus asa mencari simpati di mata Danang. "Aku sudah bert
a beban yang tak perlu. "Sudahlah, Naira. Mungkin kamu bermi
anang bisa berkata begitu? "Aku tidak bermimpi! Aku... ak
kan pandangannya ke Arka. "Arka, su
p Naira. Ia berdiri, berjalan melewati Naira
Danang, matanya penuh air mata dan kekecewaan yang tak
ah. Jangan membuat drama. Jika memang ada orang yang masuk, kenapa kamu tidak
hong, dituduh membuat drama. Pikirannya kembali ke saat ia mencoba menelepon Danang, saat ia berteriak minta tolong. Ia ingat bagaim
anku, kan? Kau mengabaikanku!" Suara Naira mening
uh yang tidak-tidak, Naira. Aku baru s
embiarkanku mati! Kalian berdua! Kalian membiarkan aku! Aku memohon pertolong
erkendali. Danang hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi jijik, seolah Naira adalah sesuatu
aranya menusuk hingga ke tulang. "Seharusnya aku tidak per
ua cinta, semua harapan yang ia tanamkan selama sembilan tahun terakhir, hancur berkeping-keping dalam sekejap. Ia mengangkat wajahny
harapan itu, ketulusan itu, semuanya lenyap. Yang ter
ra bangkit. Ia bergerak pelan, hati-hati, seperti hantu. Ia mengemasi barang-barangnya. Bukan barang-barang berharga, bukan perhiasan atau uang. Ia hanya
emosional yang baru saja dialaminya. Air mata Naira sudah mengering, digantikan oleh kek
yang dalam. Naira menyadari bahwa Arka mungkin hanyalah korban dari situasi ini, dibesarkan dalam lingkungan yang dingin, tanpa contoh kasih sayang yang tulus. Namun, pengabaian
eritaan yang ada di luar. Pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, sandarannya, justru adalah orang yang paling melukainya.
dirinya telah hancur berkeping-keping, namun jiwanya tidak. Malam itu adalah titik balik. Ia telah diber
singkat dan padat, tanp
anang d
at hanyalah pengabaian dan kehancuran. Aku tidak akan lagi menjadi bayangan
a
selalu ia isi dengan bunga segar, meskipun tak pernah ada yang mempe
embersihkan, seolah-olah setiap embusan angin membawa pergi beban yang selama ini menghimpitnya. Ia melangkah keluar, menut
u di matanya-tatapan tekad yang membara. Ia telah mati di malam itu, namun ia juga terlahir kembali. Terlahir sebagai Naira yang baru, Naira
aira menarik napas dalam-dalam, menghirup udara kebebasan. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, atau apa yang ak