berton-ton yang selama ini menghimpit pundaknya telah terangkat. Ia tidak lagi peduli pada pandangan orang atau ke mana kakinya akan melangkah. Yang ia tahu, ia harus jauh dari tempat tidur itu, d
m menikah, sebelum ia menyerahkan seluruh identitasn
npa arah. Pikirannya kosong, namun hatinya dipenuhi tekad yang membara. Ia telah melalui malam terburuk dalam hidupnya, dan ia
agangannya, dan pedagang nasi uduk yang asapnya mengepul hangat. Aroma makanan yang familiar
alte bus yang sepi. Naira menjatuhkan diri di sana, menarik napas dalam-dalam. Di sinilah ia. Sendirian.
yahnya sebelum ia meninggal. Ponsel canggih yang diberikan Danang sudah ia tinggalkan di apartemen, bersama semua hal yang menginga
ecil. Naira dan Maya sering bertukar kabar di awal pernikahan Naira, namun seiring waktu, komunikasi mereka merenggang. Naira terlalu sibuk mengurus rumah tangga Da
keabadian. Ia khawatir Maya tidak akan mengangkatnya, atau nomor itu sudah tidak aktif.t. Mendengar suara Maya, bendungan air mata yang selam
da apa? Suaramu kenapa begitu?" Ma
ri. "Aku... aku di Jakarta, M
rkata, "Baik. Tunggu aku. Kirim lokasim
pa kenalan yang bisa dihubungi. Setengah jam kemudian, sebuah taksi berhenti di depannya. Seorang wanita muda d
kota Jakarta yang mulai ramai. Dewi tidak banyak bertanya selama perjalanan, seolah ia mengerti bahwa Naira sedang tidak ingin
milik bibiku. Sementara kamu bisa tinggal di sini dulu. Tenang saja, sudah kubayar untuk semin
rkaca-kaca. "Terima kasih, Dewi.
mu aman sekarang. Maya akan menghub
Naira, kamar itu terasa seperti surga. Ini adalah tempat di mana ia bisa bernapas lega, tanpa tatapan dingin, tanpa peng
angannya, rasa sakit, dan yang paling parah, tatapan mata Danang yang kosong saat ia memohon pertolongan. Kata-kata Danang yang di
antulan dirinya di cermin. Mata yang bengkak, memar di leher dan lengan, dan luka batin yang tak terlihat. Ia menyentuh memar d
pasan, tangisan kesadaran bahwa ia telah bertahan, tangisan atas semua yang telah ia korbankan. Ia menangisi Naira yang dulu, N
a Jam K
k tahu berapa lama ia tertidur. Samar-samar, ia mendengar suara
n berisi semangkuk bubur ayam hangat dan segelas teh manis.
Terima kasih, Dewi.
Makanlah dulu, baru nanti kalau kamu siap, kita b
usaha menghabiskannya. Tenaga yang hilang perlahan kembal
anaknya," Dewi memulai dengan lembut. "Apa kamu
di mata Dewi, ia merasa sedikit lebih lega. "
ang membuatmu nya
s mencintai Arka seperti anaknya sendiri, bagaimana ia mengorbankan mimpinya. Ia menceritakan pengabaian yang ia rasakan
uk, tanpa memotong. Ia tidak menunjukkan ekspresi
tolongan. Aku menelepon Danang, aku yakin dia mendengarku." Air mata kembali menggenang di mata Naira. "Dia pulang, Dewi. Aku melihatnya. Di
enggenggamnya erat. "Ya Tuh
nikahiku. Setelah semua yang kuberikan. Aku... aku tidak bisa lagi di sana, Dew
Naira. Keluar dari sana adalah keputusan terbaik. Tidak ada yang pantas d
Dewi bertanya, "Lalu, sekara
a-apa. Aku tidak punya pekerjaan, tidak punya tabungan yang ban
jaanmu dulu? Desainer g
li aku tidak menyentuh itu. Kemamp
yang kuat, itu bisa dipelajari lagi," Dewi meyakinkan. "Maya juga menyarankan agar kamu
saat. Naira merasa sedikit lega
arga lain di Jak
ng tuaku sudah meningg
Bibi sangat baik. Kita bisa mengatur biayanya nanti. Yang penting kam
n itu, membayangkan tatapan skeptis, dan mungkin harus bertemu Danang lagi d
imbangkannya nanti," Dewi mengangguk. "Yang
n Kembal
ari Dewi dan Bibi, perlahan menumbuhkan kembali tunas-tunas harapan dalam dirinya. Dewi sering mengajaknya berjalan-jalan di taman, minum kopi
lu. Ia juga mulai menggambar sketsa-sketsa kecil di buku catatannya, sebuah hobi yang sudah lama ia tinggalkan. Gerakan
bangun dengan keringat dingin dari mimpi buruk, di mana ia kembali diserang, atau melihat tatapan dingin Danang. Setiap kal
elamun di teras kos, ponselnya
emua yang kamu alami. Aku ingin kamu tahu, aku selalu ada untukmu. Jangan merasa s
kini justru menjadi salah satu penopang terbesarnya. Naira mengetik balasan: Aku baik-baik s
ara. Sekarang, fokus saja untuk sembuh. Kita akan melaluinya bersa
g ia rasakan dalam waktu yang sangat lama
a Hari
t yang langsung membuat Naira merasa hangat. Maya, dengan rambut panjang tergerai
Maya memeluk Naira erat, mengabaikan
mengalir lagi, kali ini air mata keba
lalu hingga apa yang terjadi pada Naira. Maya mendengarkan dengan penuh
a bisa manusia sekejam itu? Danang itu pecunda
ira menghela napas. "Aku
nyembuhkannya," Maya menatap Naira serius. "Kamu harus
tentang bagaimana ia belajar mencintai dirinya sendiri, dan bagaimana ia mene
mencoba yoga? Aku bisa mengajarimu beberapa gerakan dasar.
pada yoga atau hal-hal spiritual semacam it
dulu. Aku yakin kamu akan m
os yang kecil. Awalnya, tubuh Naira terasa pegal di mana-mana, gerakannya canggung dan kaku. Namun,
pikirannya juga. Gerakan yang berulang dan fokus pada pernapasan membantunya menyingkirkan pikiran-pi
eru gembira melihat Naira berhasil melakuka
. "Mungkin. Ter
bali ke dunia desain grafis. "Kamu punya bakat,
fitur-fitur baru, dan tren desain yang berubah drastis. Namun, seiring waktu, ia mulai menemukan kembali kegembiraannya dalam menciptakan sesuatu. Jari-jarinya terasa luwes mena
oyek kecil yang ia selesaikan, memberinya rasa pencapaian. Itu adalah hal kecil,
eelance kecil?" saran Maya suatu hari. "Mungkin
"Aku tidak yakin, May.
kan sebelum itu," Maya meyakinkan. "Kamu harus berani. Angga
erapa platform freelance, mengunggah beberapa desain terbaiknya, dan mulai melam
a emailnya berkali-kali. Ia sempat merasa putus asa. Mungkin ia
di bidang kuliner tertarik dengan portofolionya dan ingin memesan desain logo. J
i yang sesekali memberinya semangat, Naira mulai mengerjakan proyek pertamanya. Ia mencurahkan seluruh perhatian
a kepada klien, ia menunggu dengan cemas
ni persis seperti yang kami bayan
nya sendiri, dari usahanya untuk bangkit. Honor dari proyek itu tidak terlalu besar, namun bagi Naira, it
ia simpan. Ia juga menyisihkan sedikit untuk membayar sewa kos kepada Bibi Dewi, meskipun Dew
nya soal uang, Bi. Ini soal har
enerima uang itu. "Anak baik. Kamu
sa Lalu dan
Pagi itu, saat ia bangun dan menemukan surat Naira di meja, ia
idak ada, barulah ia merasakan sedikit kejutan. Ia menelepon Naira, namun nomornya
ya. Ia tidak mengerti mengapa Naira harus pergi hanya karena 'insiden kecil' semalam, yang menurutny
pan, melihat meja makan kosong kecua
nang singkat, tanpa me
nya sendiri. Tidak ada kerinduan, tidak ada kekhawatiran. Hanya keacuhan yang sama sepert
siapkan, cucian menumpuk, dan rumah terasa kotor. Ia harus mencari ART (asisten rumah tangga) baru, dan itu
rus?" Arka mengeluh suatu hari
sudah, makan saja apa yang
a pulang?"
akan Naira lagi. Bagi Danang, Naira adalah masalah yang
g penuh luka di malam itu, kata-kata yang diucapkan Naira tentang dirinya yang mengabaikan. Ia mencoba meyaki
hasilannya belum stabil, namun cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk menabung sedikit demi
a untuk menyemangati Naira ketika ia merasa putus asa, atau merayakan setiap k
a suatu hari, saat mereka sedang makan sia
kesiap. "
a," Maya bercerita dengan nada sengit. "Aku bilang padanya apa yang sudah dia lakukan i
tegang. "Lalu
aja, dan kamu tidak akan pernah kembali padanya. Aku bilang kamu akan jauh le
engar Danang terdiam, namun juga rasa sakit yang kembali mun
menatap Naira serius. "Sekarang, kamu harus fokus pada dirimu sendiri. Kamu harus membukt
pun kepada Danang atau Arka. Ia hanya ingin hidup. Tapi perkataan Maya memiliki kekuatan untuk memoti
njadi jalan yang panjang dan sulit, namun ia tidak gentar. Ia telah melihat sisi tergelap manusia, da
rinya di layar laptop. Wajahnya tidak lagi tampak lelah dan muram. Ada kilatan cahaya di matanya, kilatan tekad d
g akan terjadi di masa depan, namun ia yakin, apa pun tantangannya, ia akan menghadapiny