ikut menari dalam irama kehidupan rumah tangga yang selama ini dianggap sempurna. Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kehadiran bar
erlihatkan jenjang lehernya yang anggun. Setiap geraknya adalah sebuah tarian, setiap senyumnya menyimpan misteri. Pakainnya, meskipun hanya seragam standar pembantu, entah mengapa selalu tampak pas di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk dengan car
kali berdeham canggung saat berpapasan dengan Maya di koridor. Tukang kebun, Pak Ujang, yang dikenal cuek dan hanya peduli pada tanaman, mendadak rajin mencari alasan untuk berada di dekat area dapur atau ruang makan, tempat M
ta yang paling intens, paling dalam, dan paling ber
erdarah biru, lulusan universitas luar negeri, dengan kecantikan klasik yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya hitam legam, tergerai indah, dan matanya memancarkan kehangatan seorang ibu sekaligus ketegasan seorang nyonya rumah. Beberapa bulan yang lalu, kebahagiaan mereka
rnyata tersimpan celah. Celah itu
ras belakang, dan seringkali, untuk melihat Maya beraktivitas di taman atau membersihkan area kolam renang. Gerakan Maya saat menyapu dedaunan, membasuh lantai marmer, atau sekadar menunduk mengambil ala
erlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih mendesak. Aura Maya, yang selalu sedikit misterius dan menantang, ent
anggilan telepon bisnis, menemukan dirinya mondar-mandir tanpa tujuan di ruang keluarga. Matanya melirik ke arah dapur, di mana Maya se
it, suaranya sedikit le
m tipis terukir di
erdengar bodoh bahkan di telinganya sendiri, menging
an ekspresi aneh. "A
Pak Hadit, mencoba mengen
dan denting cangkir yang terdengar. Pak Hadit berdiri di ambang pintu dapur, mengamati setiap gerakan Maya.
sa seperti sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Pak Hadit. Maya menarik tangannya
terdengar tercekat. Ia meraih cangkir i
dengan Maya: menanyakan letak sesuatu, meminta bantuan kecil yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri, atau sekadar berbasa-bas
aja. Ada Bu Tari, istri cantiknya, yang setia menemaninya melewati pasang surut kehidupan, yang baru saja memberinya dua malaikat kecil. Ada
kerjanya menghadap ke bagian belakang rumah, dan dari sana ia bisa melihat lampu kecil d
h ia... mengirim pesan? Otaknya berteriak "Jan
ya?" ketiknya, l
t, ponselnya bergeta
af kalau lampun
isa tidur." Pak Hadit mengetik la
as lagi: "S
berb
ma kali ini. Pak Hadit
kampung, Pak," balas Maya akhi
kan. Namun, ia mencoba memanfaatkan celah itu. "Saya bis
balas Maya. "Tapi tidak apa-
h di hatinya tidak hilang. Ia ingin lebih, ia ingin menembus dinding profesionali
n tak terlihat, semacam energi yang menguar di antara keduanya. Bu Tari, yang sibuk dengan perawatan bayi dan rutinitas baru sebagai ibu dua anak, terla
omatis menyala, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana terasa suram sekaligus romantis. Bu Tari sedang memandikan bayi-bayinya den
n beberapa camilan. "Maaf, Pak, listrik
ut dalam cahaya lilin. Rambutnya sedikit basah, mungkin ia baru saja mencuc
gar sangat keras, membuat seluruh rumah bergetar. Maya terlonjak
t bisa merasakan kehangatan lengan Maya yang lembut di bawah jemarinya. Jantung
iknya, suaranyaabil. Mereka berdua berdiri diam, dalam keheningan yang
anya Pak Hadit, menco
Pak. Dulu waktu kecil, pernah a
entar? Sampai petirnya
tangga menuju kamarnya. "Saya... s
g lain sudah tidur, atau sibuk dengan uru
uasana remang-remang itu, kehadiran Maya terasa begitu dekat. Pak Hadit menatapnya, memper
pelan, hampir berbisik. Kata-kata itu
a memerah, dan ia segera menunduk. "Terima kasih
it, merasa semakin berani. "Aku seri
akang dramatis bagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Pak Hadit bangkit dari kursinya, berjalan perla
ya berat, penuh hasrat yang
adit. Ada ketakutan di sana, tapi juga ada semaca
ka beradu. Detik-detik berlalu terasa begitu panjang, diiringi detak ja
iuman itu menjadi lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Pak Hadit membelai pipi Maya, lalu turun ke leh
melewatinya tanpa ragu. Malam itu, di tengah badai yang mengamuk di luar, di rumah ya
n cara untuk berada di dekat Pak Hadit tanpa menimbulkan kecurigaan. Entah itu dengan alasan membereskan ruang kerja Pak Hadit ketika Bu Tari tidak ada, atau membawakan camilan k
ri sedang sibuk dengan anak-anak di kamar bayi, Pak Hadit akan mencari alasan untuk masuk ke dapur, tempat Maya sering bek
dirinya melakukan hal-hal yang tak pernah ia bayangkan. Ia berbohong pada istrinya, pada dirinya sendiri, dan pada semua orang yang menganggapnya sebagai pria teladan. Maya, di sisi lain, tampaknya pasrah d
ng tahun bayi kembar mereka yang pertama, Maya mulai menunjukkan gejala-gejala yang tidak bisa disembunyikan. Mual di pagi har
nya p
Ketakutan akan terbongkarnya rahasia ini jauh lebih besar daripada kepanikan apapun yang pernah ia rasakan dalam b
t. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tan
mata mengalir di pipinya. "Saya tidak tah
u, otaknya berputar mencari solusi. Aborsi? Terlalu berbahay
lus mencintainya, yang rela berkorban untuk keluarganya. Ia teringat wajah polos bayi kembarny
pernah muncul di hati Pak Hadit. Sejak awal, ia melihat kelahiran bayi ini sebagai ancaman,
nya lebih kecil dari yang lain, dan ada tanda lahir besar di pipinya yang menyerupai b
h pukulan telak dari semesta. Apakah ini adalah karma? Sebuah balasan atas perbuatan keji yang ia lakukan di balik punggung istrinya? Ia telah
m diam. Ia menggendong bayinya, berusaha menyalurkan kasih sayang
Bu Tari? Ia memutuskan untuk menyembunyikan keberadaan bayi itu, menempatkan Maya dan anaknya di sebuah kontrakan kecil di pinggir kota, jauh dari
gairahnya terhadap Bu Tari semakin menurun. Suaminya yang dulu hangat dan penuh perhatian, kini seringkali dingin dan menarik diri. Telepon rah
rdapat selembar kertas kecil, sebuah kuitansi pembayaran sewa kontrakan atas nama Maya. Dan tanggalnya... tanggal itu sudah lewat
ganya. Dengan tangan gemetar, ia mencari kontak Maya di ponsel lama Pak Hadit yang tidak sengaja terti
sung terdiam. Bu Tari tidak membuang waktu. Ia menanyakan alamat, dan setelah Maya member
Jalanan terasa panjang, setiap putaran roda menambah ketegangan di dadanya. Ketika ia sampai di alamat y
turun dari mobil, langkahnya terseok-seok, matanya terpaku pada bayi di gendongan Maya. Ada sebuah tanda lahir yang sangat jel
Tari, suaranya ny
cat pasi, matanya membelalak ketakutan. Ia mencoba menyem
lir deras di pipinya. "Ini... ini anak
p menjawab. Air mata juga m
semuanya berteriak kebenaran yang pahit. Ia menatap bayi itu lagi, dan kali ini, ia
hadapannya. Suaminya, belahan jiwanya, telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan, dengan seorang pembantu di rum
jaring kebohongan yang ia ciptakan sendiri, dihantui oleh rasa bersalah dan ketakutan akan terbongkarnya rahasianya. Permata yang ia sia-s