n pengkhianatan yang baru saja ia telan mentah-mentah. Mata Maya, yang kini menunduk penuh rasa bersalah, hanya memperjelas kepahitan di hatinya. Bayi di gendongan Maya seolah memancarkan a
serak, nyaris tak bisa dikenali. Setiap kata teras
ta Bu Tari. Air matanya terus mengalir, membas
alu bersandar pada mobilnya, memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa berdenyut hebat. Dunia seolah berputar, da
an dan amarah yang meledak. "Kenapa kamu melakukan ini? Dia... dia punya istri!
dan bengkak. "Maafkan saya, Bu Tari... saya... s
g penuh rasa sakit. "Khilaf itu bukan sampai punya anak, Ma
nita itu. Maya segera menenangkan bayinya, mengusap punggungnya dengan lembut. Pemandangan itu, Maya
ak Bu Tari, mendekat lagi, t
"Sejak... sejak Ib
a ia dengar. Bu Tari sedang berjuang dengan mual, kelelahan, dan ketidaknyamanan kehamilan, mengorbankan segal
luapan emosi. "Saat aku sedang mempertaruhkan nyawaku untuk melahirkan anak-anaknya? Saat
hanya terus menangis, me
ajah suaminya. Tapi yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri di sana, di bawah hujan gerimis
bih kepada dirinya sendiri daripada kepada Maya. "Ba
hir itu. Lalu ia teringat pada guratan serupa di punggung Pak Hadit. Sebuah benang merah
ngin, penuh tekad yang tiba-tiba muncul. "Hari ini juga.
matanya. "Jangan, Bu Tari... tolong... jang
rungkap cepat atau lambat. Aku tidak akan membiar
atanya semakin deras. Ia menyalakan mesin, mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tak wajar, m
g dulu begitu dielu-elukan, cinta mereka yang dianggap sempurna, kini hanya tinggal puing-puing. Senyum manis Pak Hadit, pelukannya yang hangat, bisikan cintanya – semua itu terasa menjijik
an dan kebahagiaan yang kini terasa palsu. Pak Hadit sedang duduk di ruang keluarga, membaca koran, seolah t
ersenyum, senyum yang langsung membuat Bu Tari muak. "Sudah pulan
dan bengkak menatap suaminya dengan nyala kemarahan yang membara. Ia melemparkan amplo
irik amplop itu, lalu kembali menatap Bu Tari. Ia
i, suaranya rendah, namun meng
ahnya langsung memucat. Ia menatap Maya, lalu kembali ke Bu Tari.
atas nama Maya? Pembantu yang katanya pulang kampung karena orang tu
lati tajam. Tubuhnya menegang, seluruh darah seolah mengalir deras dari waj
emosi. Ia tidak bisa lagi menahan diri. "Aku baru saja dari kontrakan
isa menyangkal lagi. Maya sudah mengakuinya. Semua sudah terbongkar. Wajah
aku," Pak Hadit mencoba mende
i padaku? Pada kita? Pada anak-anak kita?!" Air mata Bu Tari kembali mengalir deras, membasahi pipinya. "Saat aku sedang mengandung, saat aku sedang
Bu Tari. Ia tahu itu kejam, tapi rasa sa
ersalah menghimpit dadanya. Ia tahu ia pantas meneri
sik, suaranya penuh penyesalan. "Aku khilaf. A
tahu seberapa besar ini melukaiku, Hadit? Seberapa besar ini menghancurkan harga diriku? Aku memerca
rmata bagimu? Lalu apa ini, Hadit? Apa ini? Kau membuang permata itu demi... demi sebutir biji jagung!" Ia menunjuk ke ampah. Ia memang pantas disebut sampah. Semua kesuksesan, semua kekayaan, semua citra
tapi tegas. "Aku tidak bisa hidup dengan seorang pengkhianat. Aku t
begitu. Kita bisa menyelesaikan ini. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku a
s semua ini? Bisakah kau membuat semua ini tidak pernah
dak bisa. Tidak ada yang
uaranya bergetar. "Aku... aku butuh waktu. Aku butu
. Pak Hadit mencoba menghentikannya, meraih tangannya lagi. "Ta
anak-anak. Aku tidak akan membiarkan mereka
n, Tari! Mereka masih b
, Hadit!" Bu Tari berteriak,
bayi-bayinya yang kini terdengar lebih jelas, menambah penderitaannya. Ia telah mengh
gan dan kekhawatiran, ia menyiapkan segala sesuatunya. Pak Hadit mencoba membujuk, memohon, dan bahkan mengancam, tetapi Bu Tari tetap teguh.
. Dini hari, ketika kota masih diselimuti kegelapan, Bu Tari dan kedua bayinya meningg
lan kegelapan malam. Ia merasakan kehampaan yang luar biasa. Rumah ini, yang tadinya penuh tawa dan kehang
seolah mengejek kesunyian yang mencekam. Ia berjalan menuju ruang keluarga, tempat pertengkaran hebat itu ter
aduk di dalam dirinya. Ia telah mengorbankan segalanya demi kenikmatan sesaat. Istrinya yang jelita, anak-anaknya
menyalahkan keadaan, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa satu-satunya yang patut disalahkan adalah dirinya
n kini, dengan terbongkarnya rahasia ini, semuanya menjadi lebih rumit. Ia tidak bisa mengabaikan mereka, karena bagaimanapun juga,
gelamkan diri dalam alkohol, mencoba melarikan diri dari kenyataan. Namun, se
angga. Mereka berbisik-bisik, saling pandang penuh pertanyaan. Pak Amir, kepala rumah tangga, ta
tapi pikirannya tidak fokus. Bisnisnya mulai terganggu. Mitra kerjanya menyadari ada yang
Ia merindukan tawa bayi-bayinya, suara lembut Bu Tari, bahkan omelan kecilnya. S
esan-pesannya tidak pernah dibalas. Ia mencoba menghubungi orang tua Bu T
ema yang mengerikan. Ada seorang wanita lain, Maya, dan seorang anak lain, yang kini bergantung pada
s pengkhianatan yang telah ia lakukan. Ia telah membuang berlian demi sebuah biji jagu
tidak tahu apakah ia akan pernah mendapatkan kembali apa yang telah ia sia-siakan. Kebahagiaan sejati telah direnggut darinya, digantikan oleh bayang-b