nya kosong menatap pintu depan yang baru saja tertutup di balik kepergian Bu Tari, Arjuna, dan Saraswati. Kali ini, kepergian itu terasa lebih final, lebih menyakitkan daripada yang pertama. Ti
nak yang ditinggalkan di lantai ruang keluarga, suara tawa yang masih terngiang di telinganya, aroma parfum Bu Tari yang samar-samar tercium dari bantal sofa – sem
nnya seringkali salah. Rekan-rekan bisnisnya mulai menjauh, tatapan mereka bercampur antara kasihan dan penghakiman. Kabar tentang perceraiannya, atau setidaknya perpisahan yang tak terelakkan, mulai menyebar luas di lingkaran sosial dan bisnisnya. Reputasinya sebagai
berkecamuk. Rasa bersalah pada Bu Tari dan anak-anaknya yang sah membanjirinya. Ia teringat kembali wajah putus asa Bu Ta
a, namun juga diliputi ketakutan. Ia tahu konsekuensi dari keputusan ini akan sangat besar, tidak hanya ba
gacara itu menjelaskan prosesnya akan rumit, membutuhkan tes DNA untuk membuktikan status Rian sebagai anak kandung Pak Hadit, dan kemungkinan besar
karena akhirnya ia bisa bertindak jujur, setidaknya untuk satu hal. Ia menjadwalkan tes DNA untuk dirinya dan Rian.
lagi rahasia yang ia sembunyikan. Ia datang sebagai seorang ayah, membawa mainan, makanan, dan memeriksa kondisi Rian. Ia meli
ika ia melihat Maya tertidur pulas di samping Rian,
a sembab. "Tidak apa-apa, Pak Hadit. Setidak
bagaimana semua ini akan berakhir. Tapi ak
sudah Pak Hadit dan Maya ketahui: Rian adalah putra kandung Pak Hadit. Dengan bukti itu di
i dengan spekulasi tentang "pengusaha properti terkemuka yang memiliki anak dari pembantunya." Nama Pak Hadit, yang dulu diagung-agungkan, kini menjadi bahan cemoohan. Foto-foto Maya yang dia
an, terasa seperti tuduhan. Bisnisnya yang sedang krisis semakin parah. Beberapa pemegang saham di perusahaannya mulai menuntut agar Pak Hadi
leh memengaruhi bisnis. Namun, argumennya lemah. Kerugian memang ada, dan i
ran itu, memilih untuk tetap bersembunyi di rumah orang tuanya. Namun, ada beberapa jurnalis yang berhasil mengambil foto-fotonya secara diam-di
ah mengajukan gugatan cerai dan akan menuntut hak asuh penuh atas Arjuna dan Saraswati, serta sebagian besar harta gono-gini Pak Hadit
Pak Hadit datang dengan wajah muram, dikawal oleh pengacaranya. Maya juga hadir, duduk di sisi Pak Hadit, dengan Rian dalam gendongannya. Rian, yang kini sudah berusia satu setengah
ang cantik kini dipenuhi ketegasan yang dingin. Ia tidak melirik Pak Hadit sama sekali, matanya hanya terpaku
a Bu Tari menyerang habis-habisan, menyoroti perselingkuhan Pak Hadit, pengkhianatan yang ia lakukan, dan bagaimana hal itu telah menghancurkan rumah tangga yang harmonis. Mereka juga menyertakan b
a tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Ia tahu itu
dengan gemetar. Ia tidak membaca teks yang disiapkan pen
i di sini hari ini bukan untuk membela diri. Saya berdiri di sini untuk mengakui kesalahan saya yang f
aaf tidak akan cukup. Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu. Aku
Pak Hadit terdiam sejenak, menahan isakan. "Nak, maafkan Papa karena telah menelantarkanmu. Maafkan Papa karena telah mencoba menyembunyikanmu
. Banyak yang terkejut melihat Pak Hadit yang biasa
harta saya, jabatan saya, dan yang paling penting, saya mungkin akan kehilangan istri dan anak-anak saya yang sah." Ia kembali menatap Bu Tari. "Tetapi saya tidak bisa l
ini bisa menjadi awal dari penebusan dosa saya,"
ak Hadit. Bu Tari, yang selama ini terlihat tegar, kini menundukkan kepalanya, air mata mulai menetes me
ujur Pak Hadit telah mengubah jalannya persidangan. Meskipun Bu Tari tetap bersikeras dengan gug
ungnya. Rian secara sah diakui sebagai putra Pak Hadit, dengan segala hak waris dan nafkah yang melekat padanya. Ini
aswati jatuh kepada Bu Tari, dengan hak kunjungan terbatas untuk Pak Hadit. Harta gono-gini dibagi sesuai d
hilangan segalanya. Bisnisnya runtuh, reputasinya hancur, dan keluarganya terpecah b
h dan Ibunya, membawa Arjuna dan Saraswati. Bu Tari tidak menoleh sedikit
ngannya. Maya menatapnya dengan tatapan campur aduk: lega, sedih, dan mungkin
menyentuh pipi Rian. "Kita akan h
bahagiaan sejati, keluarga yang harmonis, dan reputasi yang bersih – semua itu telah tiada. Yang tersisa hanyalah puing
Ia telah memilih untuk menghadapi karmanya, sebuah pilihan yang akan membentuk