tumpukan janji yang belum teruji dan sebuah luka menganga yang belum sembuh. Rumah itu, yang semula hampa, kini memang kembali dipenuhi suara tawa rian
suatu yang jarang ia lakukan sebelumnya. Ia bahkan tak lagi menyentuh ponselnya di meja makan, mencoba memberikan perhatian penuh pada istri dan anak-anaknya. Setiap
perannya sebagai nyonya rumah. Ia berbicara kepada Pak Hadit seperlunya, tanpa nada emosi, tanpa tatapan mata yang dalam. Sentuhan fisik nyaris tak ada; pelukan Pak Hadit akan dibalas dengan kekakuan, ciuman di kening akan
dalah satu-satunya kontak yang ia izinkan. Ia bahkan menyewa seorang pengacara untuk membuat kesepakatan tertulis dengan Maya, sebuah perjanjian yang secara hukum mengatur bahwa Maya tidak akan pernah menuntut pen
idupannya demi menjaga ilusi kesempurnaan di mata masyarakat. Ia tahu itu kejam, namun ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah sat
caraan mereka. Namun, setiap kali ia melihat Pak Hadit melamun, atau tatapan kosong di matanya, ia tahu bahwa bayangan itu
ri yang sedang membaca buku di ranjang. Ia duduk di sebelahnya, mencoba mera
dit, suaranya penuh keputusasaan. "Aku sudah melakukan semua yang kau minta.
it, memaafkan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Bukan sesuatu y
erti ini, Tari," desah Pak Hadit.
enganku yang setiap hari harus hidup dengan kenyataan bahwa suamiku, ayah dari anak-an
benar. Ia telah menghancurkan kebah
i sini, demi anak-anak. Aku akan menjalankan peranku. Tapi jangan harap aku akan me
cara fisik, namun hatinya masih jauh. Ia kini hidup dalam sebuah sandiwara, sebuah rumah ta
it kembali aktif di dunia bisnis, proyek-proyeknya berjalan lancar, dan ia bahkan menerima penghargaan sebagai "Pengusaha Teladan." Bu Tari, dengan kecantikannya yang tak luntur,
ing, menampilkan citra suami setia yang mencintai keluarganya. Tetapi di malam hari, ketika semua topeng terlepas, ia akan kembali dihantui oleh bayangan-bayangan. Ba
kirim. Ia tahu itu adalah satu-satunya cara ia bisa memastikan Rian hidup layak, tanpa harus mengakui keb
isnis ke luar kota, ia menerima sebuah panggilan telep
itu terdengar parau, teren
jak berbulan-bulan yang lalu. "Ada apa, Maya? Bukankah kita sudah sepakat u
penting sekali," Maya terbatuk.
Kenapa? Ada apa dengan Rian?" Suara dinginnya
ng menyebar. Dia butuh penanganan serius, operasi segera. Biayanya... biayanya sanga
berada. Untungnya, kota itu tidak terlalu jauh dari tempat ia sedang melakukan perjalanan bisnis. Tanpa berpikir panjang, P
Wajah Maya terlihat sangat kacau, matanya sembab, rambutnya acak-acakan. Ia sama sekali tidak terlihat sepe
ya?" tanya Pak Hadi
it saja, dia bisa..." Maya tak sanggup
aring lemah di ranjang, tubuh mungilnya dipenuhi selang dan alat-alat medis. Wajahnya pucat, bibirnya mem
an, kini membuncah dengan kekuatan penuh. Ia telah menelantarkan anak ini. Ia telah mengo
a, air mata mengalir di pipinya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Air mata yang tulus, buka
tan dan operasi. Selama beberapa hari berikutnya, ia tidak pergi ke mana-mana. Ia tetap berada di rumah sakit, menunggu di luar ruang ICU, sesekali masuk untuk melihat kondisi Rian. Maya juga selalu berada di
yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, jika Ria
berhasil melewati masa kritis. Perlahan, demamnya turun, dan alat-alat medis satu per s
biasa, diikuti dengan tekad baru. Ia tidak bisa lagi lari
rawatan biasa, Pak Hadit duduk di samping Maya.
. "Aku sudah memikirkannya. Aku tidak bisa membiarkan Rian
ngan tatapan bingu
Pak Hadit. "Aku akan mengakui d
aget. "Tapi... bagaima
ya. "Aku tahu ini akan sangat berat. Aku tahu dia mungkin tidak akan memaafkanku lagi. Tapi aku tidak bisa terus-meneru
ata mulai mengalir di pipinya. Ai
galanya. Mungkin Bu Tari akan benar-benar meninggalkanku. Mungkin reputasiku akan hancur. Tapi ak
gan hati yang bercampur aduk. Rasa takut akan kemarahan Bu Tari dan kehancuran yang mun
jah datar. "Dari mana saja kau, Hadit? Teleponku tidak
dalam. "Aku... aku harus menga
nya curiga. "Ap
i aku tidak bisa lagi merahasiakan ini." Pak Hadit menceritakan tentang kondisi Rian, tentang bagaimana
hnya pucat pasi, matanya membelalak kaget. Ia tidak menangis, tid
ik, suaranya nyaris tak terdengar
ari penuh penyesalan. "Aku harus, Tari. Di
"Tadi kau berjanji padaku. Kau bilang akan memutuskan semua hubungan. K
gi," kata Pak Hadit. "Tapi aku tidak bisa melihat anakku menderita, anakku se
ng yang menjijikkan. "Jadi kau memilih dia? Kau memilih wanita
ku mencintai Arjuna dan Saraswati. Tapi aku juga punya tanggung jawab
n bukan air mata kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. "Kau adalah
isteris Bu Tari terdengar dari dalam kamar, memilukan. Pak Hadit hanya bisa berdiri di sana, di
membujuknya, meminta maaf, menjelaskan alasannya, namun Bu Tari tidak
endengar suara mobil dari luar. Ia melihat ke jendela dan melihat mobil orang tua Bu
?" tanya Ayah Bu Ta
a untuk mengakui Rian, dan tentang reaksi Bu Tari. Ayah Bu Tari hanya mendeng
natapnya tajam. "Kau sudah berjanji padaku, Hadit. K
aku salah," kata Pak H
hanya mengkhianati putriku, kau juga menghancurkan harga dirinya
u kamar Bu Tari, menggedor
ri keluar dengan wajah sembab dan mata mera
kepada putrinya. "Kau tidak perlu la
tidak melihat ke arah
ri, jangan! Jangan p
k-anak, menggendong Arjuna dan Saraswati, yang bingung dengan suasana
, Tari!" Pak Hadit berter
nggir, Hadit. Kau sudah menghancurkan
dan sorot mata dingin Bu Tari yang penuh kebencian, membuatnya tak berdaya. Ia hany
ka kembali. Ia telah memilih jalannya sendiri, sebuah jalan yang dipenuhi konsekuensi pahit dari perbuatannya. Kebahagiaan sejati kini te
ngan yang Anda harapkan? Atau ada d