t kabar baik, ya? Padaha
aris seperti basa-basi, tapi ucap
h, mencoba mempert
asih berusaha...
rlin, adik ipar Zahra, menyam
Aku aja, begitu nikah langsung hamil. Mungkin Ferdi j
tapi ia tetap berusaha tenang. Ruang tamu yang harusnya terasa h
sa menambahkan, sambil tertawa kecil. Tatapannya tajam tapi
Tapi Fadlan sibuk mengobrol dengan Pak Arya, pura-pura tidak mendeng
hra tetap tersenyum. Tapi
asilnya... yang perlu lebih be
apa detik. Bu Elsa terkekeh,
lho. Fadlan itu sehat dari kec
b Zahra tenang namun tegas. "Dokter bilang, kualita
n tawa kering, menco
kurang makan yang sehat
. Hening yang b
Fadlan, yang tadi masih santai meny
n. Tapi Zahra sudah muak. Sudah terlalu lama i
biarlah suaminya ikut merasa se
kut bicara, suarany
i Allah. Kita nggak bisa terlalu jauh iku
a untuk usaha lebih keras lagi," Bu Elsa be
a tetap
berusaha keras. Kalau Allah belum i
rbuka. Bude Anin, kakak P
in apa?" tanyanya sambil duduk sant
ang belum juga dikasih momongan," sahu
n tertaw
lah ada Gus Bokis. Banyak yang berhasil. Ada ya
nolak dengan tegas. Tapi seperti biasa, Fadlan diam.
icara. Suaranya t
bih memilih pengobatan medis. Kami
n mencib
dikejar, gak bisa nunggu datang sambil duduk termangu. Kalau diam aja
a dulu, Ra? Jangan terla
cengkeram rok. Tapi sebelum ia sempat b
an sesuai rekomendasi dokter, Bu
erkejut. Tapi ada sedikit k
Anin belu
ng tua. Anak-anak sekarang memang susah nurut.
ra. Bahkan Pak Arya hanya menunduk, entah malas terliba
ri dan berkata pelan,
kecilnya, lalu berjalan bersama suaminya meninggalkan r
am menerpa wajahnya, tapi tak cukup dingin untuk meredakan panas di dalam dadanya. Ia menatap lurus ke samping, seolah mencob
hnya cepat masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu terbuka begitu saja. Fa
kerudungnya dengan kasar. Wajah dan matanya memerah, bukan karenaprotes Zahra. Suaranya pelan, tapi
an dan menguncinya. "Aku ng
baik. Dan aku yang harus terus-terusan dijadikan sasaran? Kamu denger
ma nggak pengin ada keributan
begitu, Mas? Lima tahun. Lima tahun aku disindir, dibanding-bandingkan. D
nya mulai meninggi. "Kamu pikir aku nggak
n?" Suara Zahra mulai bergetar karena kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. "Aku i
"Aku nggak tahu
ini bukan salah dia.' Sesederhana itu, Fadlan! Tapi kamu nggak pe
hra menggema di antara d
aja,' 'nggak usah dipikirin'. Apa kamu pikir aku ini batu? Aku ini manusia yang punya perasaan? Coba kalau kamu di
"Aku cuma... bingung haru
menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu itu laki-laki, Mas. Kamu cuma takut
ang. Tidak a
h suami yang berdiri di sampingku, bukan di belakang ibunya. Bagaimana kal
alkan Fadlan yang berdiri membeku, diliputi
pintu kamar, Zahra just
suami, sebaiknya kita tida
hra
ian dulu, Mas!" p
anya bis
ekosongan. Di balik pintu kamar yang tertutup, Zahra duduk memeluk lutut di sudut ranjang, matanya kosong men
*