tasi interaksi dengan tetangga, hanya keluar rumah untuk bekerja dan kembali pulang. Kebutuhan rumah tangga ia penu
Baru seminggu, ia sudah mulai mengeluh, lalu perlahan kembali ke kebiasaan lamanya. Zahra tahu, program ini tidak mud
mungkin, mulai menerima-bahwa rumah tangga yang ia perjuangkan ini mulai k
ar bagaimana pun itu adalah aib Filda. Belum tentu Pak Arya bisa meneriama kenyataan kalau anaknya bermasala
rung kopi kecil di pinggir jalan. Tempat itu sederhana, tapi sela
ku kayu menghadap ke jalan. Banyak hal berkecamuk di kepal
pikirnya. Kalau Fadlan mau ikut, syukur. Nggak
i sana, kenyataan tetap mengejarnya. Zahra mendesah panjang. Matanya masih tertu
laikum. In
i tangan. Sosok yang begitu dikenal, tapi terasa seperti bagian dari masa lalu yang jauh. Gilang
sedikit bergetar, campuran antara keterkej
kenangan masa lalu. "Nggak nyangka bisa ketemu d
yang campur aduk. "Aku kerja di kantor Mastex tuh depa
duk di bangku kosong di depan Za
driver ojek online. Ya, nggak banyak yang
ngan, Zahra bisa merasakan ada be
kini tinggal bersama ibunya, jauh dari Gilang. Sejenak, Zahra merasa iba. Zahra dan G
ra bertanya pelan, mengingat bahwa Gilang
hit. "Tapi aku sudah resign. Sekarang balik ke s
at menanggapi lebih jauh, Gilang tiba-tiba ber
gia kan sama suamimu?
di jantungnya. Zahra tersenyum tipis, berusah
saja, Mas. Belum ada anak,
am matanya yang seolah mengerti, memaha
selalu ada buat kamu. Meskipun kita udah
menjemputnya sekolah dengan motor setiap hari tanpa mengeluh. Hujan atau terik matahari, Gilang tetap setia. Kenangan itu seje
habiskan tehnya dan
tor. Hati-hati di jalan, ya," ucapnya sambil tersenyum
senyum, "Ya, kamu juga hati-
warung kopi itu dengan perasaan campu
n yang belum selesai. Pertemuan tak terduga ini membuka kembali pintu kenangan yang sudah lam
ran, namun pikirannya masih tertinggal di warung kopi tadi. Wajah G
ilang, mungkin sudah punya anak. Tidak akan menjadi menantu terhina.
usan seseorang yang melihatnya sebagai perempuan yang cukup, bukan hanya istri yang dituntut
irihnya pelan, ny
na hatinya diam-diam berharap bisa bicara lebih lama. Tanpa tekanan, tanpa topeng, hanya menjad
iasa di depan layar komputernya. Tapi kenyataan bahwa ia baru saja bertemu seseorang dari masa lalu. Yang kin
uh pengertian. Aura itu belum hilang. Inner handsome begitu istilahnya sekarang. Dan Zahra tahu, bukan wajah atau penampilan luar
, mengapa Gilang dan istrinya berce
*
gan dasi yang mulai dilonggarkan. Hari ini tidak terlalu buruk di kantor, tapi kepalan
uat Fadlan?" gumamny
alnya. Istrinya benar-benar serius waktu bilang itu. Bahkan sempat menyebut
ng terus terang: "Yang bermasalah itu bukan istrinya
. Dia tahu, kata-katanya akan dipelint
pantas. Terbersit bayangan Pak Hendra, yang dengan entengnya menye
stighfar sambil menepuk pelan dadanya. "Pak Hendra
ya menangkap sosok Zahra-berdiri di de
iturunkan, lalu senyumnya muncul s
lan mungkin belum pulang ka
lalu tersenyum lembut. "Wah, ke
at hening beberapa saat. Sampai akhir
ikiran sama Mama ya. Dia memang kad
l, tapi tatapannya t
manya juga orang tua. Saya juga p
asti udah usaha. Cuma Ayah pengin kamu tahu satu hal-kamu nggak
erkaca. "Terima kasih, Yah. Saya bersy
gejolak kecil yang tiba-tiba menghantam dadanya.
n, mobil sudah sampai
a, berusaha terdengar netral,
Hati-hati
Arya kembali ke mobil, memejamkan mat
ah," bisiknya
m sepenuhnya aman dari godaan yang diam-diam
*
dicoba menbaca beberapa cerit
ihan Mam
Birahi
Nakal Ay
manku
Menantu