adi rutinitas: seragam kerja, rapat dinas, laporan tahunan, dan kadang-jika suasana hati mengizinkan-bisn
habat lamanya semasa kuliah. Lebih dari dua dekade sudah mereka tak berjumpa, meski komunikasi sesekali ma
di jalur birokrasi sebagai PNS eselon 2 di Departemen Perdagangan. Mapan dan stabil, begitu kata banyak orang.
k Arya berdiri. Mereka berpelukan. Pak Hendra tampak masih gag
da yang ikut bersamanya. Penampilannya anggun, wajahnya bersih dan tenang, memancarkan
Pak Hendra dengan senyum
u atau dua tahun terakhir, Pak Hendra tidak per
soal startup, ketimbang seseorang yang terlibat dalam bisnis tekstil. Apakah b
angat, tapi menjaga jarak. Ada keanggunan yang tidak dibu
ra yang jelas. Bahkan beberapa kali Pak Hendra justru memintanya menjelaskan rincian dari proposal yang mereka bahas. Rupanya V
Sedikit terpesona,
Dulu mereka sama-sama muda, sama-sama gelisah. Kini Pak Hendra sudah punya empat menantu, sementara Pak Arya baru memiliki tiga, dengan s
nya sudah sering mereka diskusikan secara daring. Cangkir kopi tingg
Pak Arya dengan sorot mata yang sangat ia kenali-mata seorang
osal, "Vera siap bantu kamu. Dia bahkan siap kalau harus tinggal beberapa hari di
ar menangkap maksud sebenarnya. Tapi kemudian Pak H
untuk keperluan apa pun. Aku sudah bilang sama dia, da
kali ini sambil berpura-pur
a akan memberimu layanan istimewa, bahkan mungkin yang
rya t
, hanya tersenyum tipis dan menatap ke arah jendela. Seolah tidak mendengar kalimat barusan. Tapi Pak Arya tahu-dia p
tanya Pak Arya berbi
Pak Hendra santai. "Tapi kami sudah lama bekerja sam
Arya, kini lebih pelan.
njut S3 di
r berisi uang tunai-semuanya pernah ia lihat. Ia tahu cara kerja orang-orang semacam Pak Hendra. Tapi tawaran kali
kkan dalam "paket negosiasi." Apakah ini bentuk kepercayaan penuh? Atau justru bentuk palin
akah dia bagian dari strategi? Atau sedang mencoba membebask
a ia tidak hati-hati, segalanya bisa h
ancap pada sisa kopi di cangkirnya yang mulai mendingin. Di usia senjanya, di tengah segala pen
Ia sudah
an? Mung
pernah benar
sa berdiri di barisan depa
erasa seperti penumpang yang tertinggal di stasiun-terlalu lurus, terlalu jujur, dan diam-diam, mu
ma tahun menikah dengan Zahra. Rumah tangga mereka tampak harmonis di perm
an muncul satu pikiran liar, ya
emang Fildan ben
yelamatkan darah keturunannya adalah
n yang menjijikkan... namun sekaligus, tak bisa ia bantah, ada desiran aneh yang m
a, menantu. Pak Arya tak lagi yakin hubungan mereka hanya sebatas mertua dan mena
au hanya mewakili sisi paling jujur
mbuat Pak Arya
nunduk, bayangan Zahra hadir begitu jelas dalam pikirannya. Wajah lembut itu,
ku berpikir segila itu?" gu
ersonal, terlebih yang menyangkut pertemuan bisnis non-formal seperti tadi. Mobil
cukup ramai untuk mengalihkan lamunannya. Ia menghela napas, lalu meraih ponsel
menjawab di
'alaikum,
tergesa, tidak dingin. Ada rasa h
ngganggu... Ayah cuma ingin men
baru saja selesai meeting.
ahu kamu perlu sesuatu, atau ada yang bisa Ay
. Suara itu seperti tetes e
mua cukup lancar. Mas Fildan juga baik. Kami sedang ik
a hanya mengangguk pelan, meskipu
n memastikan kamu baik-baik saja. Jangan
ah. Terim
an salam. Tapi benak Pak Ary
kembali. Sunyi lebih cocok untuk mendengar a
a langsung duduk dan membuka map laporan, atau setidaknya mengisi air minum. Tapi kini ia
. Senyumnya. Tertawanya. Suara lembutnya tad
a kursi empuknya. Tapi punggungnya
perasaan seperti ini. Tapi justru, makin tua, ia sadar bahwa manusia tak pernah
dan cinta keluarga-yang kemudian pelan-pelan bertransformasi menja
kebaikan untuk meuyelamatkan rumah tangga anaknya, atau sedang jatuh perlahan dalam j
*