img Gairah Liar Masa Puber  /  Bab 3 Part 3 | 1.63%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 3 Part 3

Jumlah Kata:4421    |    Dirilis Pada: 25/10/2022

anita lajang ini panik. Ketika mereka berdua akhirnya tiba kembali di kota, menembus rintik hujan dan gel

a yang bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi? Dan kenapa i

amat, Rien berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha ter

e rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Rien hanya melambai, tidak menawarkan mam

u melepas jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput h

sedang bermain ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Rien mengunci pintu kamar mandi dan membuka pa

bil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya sendiri. Rien, kamu telah membuka gerbang ke arah

nya mampu menampung gejolak itu. Rien mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan seksama.

esegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama k

sa harum. Pada saat menyabuni bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas da

ang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya. Tanpa sabun, tangannya be

sa yang telah lama tak dirasakannya: sebentuk geli yang bercampur nikmat

h, dan kedua kakinya bagai sedang berseter

usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu meremas naman

enjata. Rien menggelinjang, dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan

s dilakukan di bawah sana. Mata Rien sedikit terpejam, dan mulutnya ya

a, dan Rien agak terhuyung, sehingga ia akhirnya

sadar. Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar s

menjawab keras-keras, “Ya, ini aku La … sedang mandi…”, entah ap

k Lara lagi, terdengar melangkah me

nari …. “, jawab Rien

am. Dalam hati Rien bersyukur, Lara datang sebelum

erti itu. Sambil tertawa kecil, Rien menghentikan perdebatan di kal

ar mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Rien,

ibu, atau ajakan Susi untuk bermain petak umpet. Kino melanjutkan gerakan-gerak

kesibukannya itu, Kino tak bertemu Mba Rien. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Rien, karena dia

sengaja lewat!). Kata Niken, Mba Rien menyuruh Kino rajin belajar supaya semua ulangannya bernilai bagus. Kata Ni

ia tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati, disertai gundah karena

ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan matanya penuh senyum menggoda

am, sehingga Kino baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya

a. Tidak Dodi dan Iwan yang baginya cuma akan menambah persoalan. Tidak juga ibu, dan

i letih, lalu tidur-tiduran di bawah semak-semak tempat ia dulu pertama kali menyentuh dada

ang wanita bijaksana, pikir Kino dalam hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus

rtanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Kin

penuh dengan huruf dan angka. Satu demi satu ia menyelesaikan mata ulangan dengan sedikit

ri di dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yan

ng tampaknya peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula yang du

ka ia sedang duduk sendirian di pinggir lapangan basket menu

betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Dodi dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi lang

ak tega mengatakan “tidak”, maka ia cuma mengangguk dan mereka berjalan beriringan

memperdengarkan suitan nakalnya. Kino mengutuk dalam hati, dua

on asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Alma ber

dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya apakah Kino akan ikut berkemah, dan Kino menja

anya! Alma tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersed

an suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening. Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di hadapan ma

ringkih itu. Merasa perlu selalu jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa pe

kecuali jika Kino ingin mengantar Alma sampai ke rumahnya. Alma memecah kesunyian di a

a. Alma menghentikan langkah, berputar menghadap Kino yang juga sedang berdiri ter

Alma berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya yang mungil susah-payah menyembu

ftar kepada siapa.” lanjut Kino sete

epadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku….,” Alma menghentikan ucapanny

yikan rasa malu yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa keras, tetapi

etap menahan senyum, “Sampai jumpa

g memerah tetapi juga bersinar riang sempurna. Ma

k siang yang kering itu. “Sampai jumpa,” bisiknya, tetapi tentu Kino tak

untuk berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk, seperti kasur terb

penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang pe

tu Pak Sulih, guru seni yang terlalu tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan seca

eka berteman. Kino kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan semat

ua mereka itu: Alma peduli padanya, peduli pada apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ke

narik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara gemersi

t sekali. Alma memejamkan mata, merasakan angin seperti sutra menyelimuti t

(Alma cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang

an teks gubahan mereka sendiri yang sangat gombal. Kin

lma dengannya. Pusing sekali Kino dibuatnya, tetapi apa lah dayanya, cuma D

menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya Alma merasa perlu melaporkan kepergiaannya

surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat kurir istimewa ber

isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada

iap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba men

ika Dodi dan Iwan telah terpis

” sergah wanita t

anjutkan dengan pertanyaan tentang Mba Rien, tetapi Kin

anya Niken, entah kenapa Kino mer

elum dimulai lagi, dan Susi belu

koq tidak pernah ngobrol dengan M

, entah kenapa ia akhirnya berjalan beriringan dengan Niken ke arah sanggar. Niken berceloteh entah tentang

ihan. Kino menggumamkan terimakasih, menjawab sekenannya, lalu berjalan ke arah ruang latihan. Langkahny

ng latihan. Kino terpaku sejenak, matanya menyesuaikan diri dengan keremangan ruang latihan. Akhirnya

hnya dalam hati, tetapi ia tak mempedulikan perasaannya. Dipeluknya Kino sebel

ia mencium pipinya, dan diberondongn

ng Susi, tentang …. entah tentang apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa dijawabnya. Mba Rien tampak

dan mulus itu semakin terpampang indah, dan matanya yang bersinar itu semakin tampil

en mengajak Kino ke tempat kostnya. Kino hendak membantah, karena hari sudah mulai gelap. Tetapi, sebagaimana

an-teman, dan ayah-ibu telah mengijinkannya pulang paling lambat

pan dan berpakaian rapi, mungkin pacarnya. Kino mengangguk sopan, dan Mba Laras mencubit paha

adalah adik bungsu Rien. Pria itu menggumamkan, “Oooo..” yang entah mengandung curiga atau percaya. Kino tiba-

entu menurut saja karena Mba Laras juga mengusirnya

cita melahap pengganan lezat kegemarannya itu. Mba Rien terus bercerita tentang kakaknya, ten

mengimbangi keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di pagi hari, pikir Kino. Menggairahkan pula, dengan dad

nya akan keluar untuk menonton. Mba Rien keluar sebentar dan berbicara dengan pria

a Rien yang dipenuhi majalah-majalah dan buku tentang tari-m

ling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari ibukota. Kino juga pernah mend

r, Mba Rien telah berdiri di belakang Kino, dekat sekali. Dengan ringan ia m

hi udara. Dadanya yang kenyal menekan punggung Kino, membuat pemuda ini

Mba Rien. Bukan itu saja, Kino bahkan tiba-tiba sudah mengulum bibir basah yang bern

Kino, bukan mendorong melainkan menempel saja. Lalu, ketika Kino terus melumat

embuat Kino semakin bergairah menciumi wani

nafsu itu. Matanya terpejam penuh penyerahan, juga

rbuat lebih bergairah lagi. Dan Kino pun menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh hati. Entah bagai

tu. Terasa gatal pula, karena Rien tergesek-gesek beha nilonnya. Kehangatan tiba-tiba menj

nya. Kino menindih Rien dan masih menghujaninya dengan ciuman. Rok Rien yang pendek telah

ng bisa dikerjakan Kino selama ini, meremas payudara (sebagaimana Mba Rien mengajarinya di pantai) dan menciumi bib

s seperti itu. Tubuhnya minta lebih dari itu, dan Rien ingin mendap

Tetapi pancaran birahi dari pemuda yang sekarang mendekapnya ini begitu kuat, mengundan

ya ke bawah. Tangan pemuda itu tampak lemas tak berdaya, mengikuti saja. Sambil mengerangkan

ngat di balik nilon tipis itu. Ah, apa yang harus kulakukan? pikirnya risau. Tetapi K

kemudian tangannya didorong lebih ke bawah. Tidak hanya ada hangat di sana, tetapi juga agak basah. Gerak

mudian Mba Rien bangkit, membuat Kino khawatir telah melakukan suatu kesalahan fatal. Tetapi ternyata tid

ng terpampang jelas, menampakkan segitiga hitam rambut-rambut halus yang sedikit membukit, dan sepasang bibir yang membasa

ari jawab di mata wanita itu. Ia sungguh bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mba Ri

eperti biasanya, penuh dengan bujukan agar ia percaya saja kepadanya. Ia diam saja, ketika tangan

saja ketika Mba Rien, dengan tangan kirinya, menguak bibir-bibir di bawah sana, memperl

tengahmu di sana….,” tiba-tiba Mba R

engan rasa kagum mulai menelusuri celah bibir dan dinding halus yang basah itu dengan jari tengahnya

ir yang tampaknya menebal itu. Ujung jari Kino kini merasakan sebuah tonjolan kecil di balik selaput kulit yang agak

h yang semakin memerah dan mulut membuka menghembuskan nafas memburu. Kino memen

ahu apa namanya. Mudah sekali jari tangannya melesak ke liang kenyal kecil di bawah sana, k

elesak sedikit. Demikan seterusnya, sementara Mba Rien kini menggelinjang, mengerang-er

hhh…,” Mba Rien kini seperti orang mau mena

ino bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin, sekuat mungkin. Tangannya terasa pe

ampaknya membuat Mba Rien semakin keenakan. Rasanya seperti sedang menimba sumur dengan satu

sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik tangannya, tetapi Mba Rien memprotes…”Ah, ja

gurut kembali sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali

an berguncang-guncang seperti sedang diserang batuk hebat. Tetapi bukan batuk yang keluar d

aihnya ke pelukan tubuhnya yang masih turun-naik dengan nafas memburu. Kino terdiam menempe

ita itu berucap. Kino hendak mengangkat kepalanya, t

hangat mengalir di dah

diri dari pelukan, dan memandang heran. Mba Rien memang mena

Kino dengan se

sap wajah Kino, lalu juga mengusap rambutnya yang agak menutupi dahi

ien berkata lagi, masih dengan berbisik, “Itu

la nafas panjang. Ia menguakkan kepad

aneka perasaan: bangga bahwa ia dipilih oleh wanita menggairahkan ini, takjub karena ternyata orgasme itu begitu in

er wanita yang harum itu. Oh, terima kasih untuk

ambu

img

Konten

img
  /  2
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY