/0/10029/coverbig.jpg?v=20221211154348)
Seorang CEO dari perusahaan terkenal bernama Elvano Natra Nugraha biasa di panggil Vano putra bungsu dari Abrian Nugraha dan Listian Fahrani. Pengusaha terkenal di berbagai kalangan elite. Perjodohan Vano dan Cantika Aliyahusna anak dari sahabat masa kecil Abri, yang tak sengaja bertemu di suatu tempat. Mau tidak mau mereka harus menerima perjodohan itu walaupun tidak mengenal satu sama lain.
"Aduh, kenapa bisa telat gini sih! Mana jalanan macet banget lagi, harus jalan jauh banget gini kan gue jadinya!"gerutu Vano pada dirinya sendiri.
Vano berjalan sambil menggerutu padahal salahnya sendiri yang bangun terlambat. Ya, begitulah sikap Vano, arogan, tidak mau di salahkan dan maunya menang sendiri. Tapi, walaupun sikapnya yang seperti itu tak sedikit para wanita yang tergila gila dengan ketampanan CEO muda itu.
Vano yang jalan tergesa-gesa tidak melihat apa yang ada di depannya. Tampa melihat ke depan, Vano dengan tidak sengaja menabrak seorang gadis berhijab.
"Kalo jalan pake mata bisa gak sih!"bentak Vano Tampa membantu gadis itu berdiri.
Cantika berdiri sendiri dan membersihkan roknya yang kotor. "Lo ya!"tunjuk Cantika pada Vano yang berdiri di depannya. "Udah salah, bukannya nolongin, minta maaf, malah marah marahin gue!"kesal Cantika kembali membentak Vano.
Vano menaikkan sebelah alisnya dengan tangan menyilang di depan dadanya. "Lo punya mata kan? Harusnya Lo bisa liat kalau gue sedang buru buru!"tegas Vano yang tidak mau salahkan.
"Gimana sih Lo! Udah jelas jelas Lo yang nabrak gue, kok malah Lo yang marah,"ketus Cantika.
"Sudahlah, gak guna ngomong sama Lo! Buang buang waktu gue tau gak!"ketus Vano pergi meninggalkan Cantika begitu saja.
"Gara gara tu cewek, tambah telat deh gue!"gerutu Vano sambil berjalan. "Jangan sampai gue ketemu sama tu orang lagi,"
Sedangkan Cantika yang masih berdiri di tempat yang tadi, sambil mengomel sendiri. "Dasar orang aneh emang! Dia yang nabrak dia juga yang marah marah!"kesal Cantika padanya.
***
Vano baru saja sampai di kantor, terlihat hampir semua karyawan kantor melihat pada Vano, yang sudah bercucuran keringat di dahinya. Vano yang sadar akan tatapan mereka, kembali menatap mereka.
"Apa kalian lihat lihat! Kembali bekerja!"perintah Vano pada mereka semua.
Mereka semua langsung menunduk takut, dan langsung kembali ke tempat duduknya masing masing. Vano memutar bola matanya dan lanjut menaiki lift ke ruangannya di lantai Lima. Ketika membuka pintu ruangan, Vano melihat orang yang sedang duduk di kursinya.
"Papa, mengapa di sini?"tanya Vano berjalan ke tempat duduknya.
"Dari mana saja kamu Vano? Mengapa jam segini baru masuk ke kantor? Jangan seenaknya saja ya kamu, coba kamu liat ini sekarang jam berapa!"tatapan Papanya sinis.
Vano melihat ke arah jam tangannya yang dia pakai. "Ternyata sekarang sudah jam 10 pantas saja Papa marah,"batin Vano cengengesan.
"Sudah? Sudah lihat ini jam berapa? Kamu lupa jika jam setengah 11 nanti ada klien yang akan datang dari Amerika?"tegas Papa nya pada Vano. Sedangkan Vano hanya diam saja tak berani memberi alasan apapun.
"Iya Pa, Vano ganti habis itu siap siap bertemu klien,"jawab Vano meninggalkan Papa nya ke ruang ganti.
"Vano Vano, kapan coba tuh anak bisa berubah? Sudah di beri tanggung jawab besar masih saja sama dengan anak SMA tingkahnya,"gumam Abrian menggelengkan kepalanya.
Kini pakaian Vano sudah rapi kembali, Vano berdiri di depan kaca merapikan rambutnya yang sedikit terlihat berantakan.
"Vano cepat! Sepuluh menit lagi kamu harus sudah sampai di cafe sana!"teriak Abrian dari luar.
"Astaga, iya Pa, sabar! Vano sudah selesai,"jawab Vano yang juga teriak.
"Apes banget sih gue hari ini!"kesal Vano setelah itu keluar dari ruang ganti.
"Lama sekali kamu! Sudah sana, itu berkas jangan sampai tertinggal, langsung di ambil!"perintah Abrian.
"Iya Pa, astaghfirullah,"jawab Vano segera meninggalkan ruangan menuju pintu.
"Vano...! Berkasnya!"teriak Abrian yang sudah kesal dengan Vano.
Vano berhenti mendengar teriakan Papa nya dan menepuk jidatnya sendiri. Dengan rasa takut dan cengengesan Vano berbalik tubuh mengambil berkas itu dan segera berlari meninggalkan ruangannya.
"Dasar anak siapa sih sebenarnya? Beda banget sama Abang Abangnya,"lagi lagi Abrian mengeluh dan menggelengkan kepalanya.
Vano kini sudah sampai di cafe tempatnya janjian dengan klien dari Amerika itu.
"Excuse me, sir. (Permisi Tuan,)" Ucap Vano menjabat tangan Mr. Jhon.
"Yes, Mr Vano. Please,sit. (Ya, Tuan Vano. Silahkan duduk,)" Jawab Mr. Jhon mempersilahkan Vano untuk duduk.
"Thanks, Mr. Jhon,( Terima kasih Tuan Jhon,)"
Pembahasan kontrak kerja bersama klien berjalan lancar selama satu jam setengah. Setelah selesai pembicaraan tentang kontrak kerja mereka memesan makanan terlebih dahulu. Kurang lebih sekitar empat puluh lima menit mereka pun selesai acara makan siangnya. Tak lama kemudian, Mr. Jhon segera berpamitan untuk pulang, katanya karena ada urusan lain.
"Okey, thank you Mr. Vano for the time and opportunity to cooperate, (Oke, terima kasih Tuan Vano atas waktu dan kerjasama nya,)"ucap Mr. Jhon berterima kasih berjabat salam dengan Vano.
"Yes, Mr. Jhon hope you feel comfortable working with your company,(Ya, terima kasih kembali Tuan Jhon semoga betah kerjasama dengan perusahaan kami,) "jawab Vano berdiri dan menjabat tangan tangan Mr. Jhon.
Kemudian Mr. Jhon berjalan keluar cafe, kini Vano masih duduk sendirian di dalam cafe itu sambil menikmati jus alpukat nya.
"Selesai juga akhirnya,"ucap Vano
Vano sengaja berlama lama di cafe itu untuk menenangkan pikirannya. Selama satu jam Vano di cafe itu, kini Vano berdiri dan berencana akan pulang. Ketika Vano akan berdiri, tak sengaja seorang gadis berhijab menabrak Vano yang baru saja keluar dari tempat duduknya. Akhirnya minuman yang di bawa gadis itupun tumpah mengenai jas Vano.
"Agghhh! Sialan Lo punya mata gak sih? Liat ini baju gue kotor semua!"bentak Vano hingga seluruh pengunjung cafe melihat ke arahnya.
"Eh, iya ma_"gadis itu mendongakkan kepalanya melihat Vano di depannya.
"Lo/Lo!"ucap mereka serentak.
"Lo lagi Lo lagi! Hobby banget ya Lo nabrak orang? Gak punya kerjaan lain apa selain nabrak orang? Lo gak liat baju gue mahal gini? Emang Lo mampu bayar? Ha!"bentak Vano dengan sangat tegas.
"Mulut Lo melebihi cewek ya? Sial banget gue ketemu Lo tau gak!"balas Cantika yang tak kalah galaknya.
"Lah, dia malah nyalahin lagi! Woi liat pake mata Lo siapa yang nabrak gue sampai gue kotor kaya gini!"ketus Vano tidak mau kalah.
"Oke sekarang gue yang salah! Tadi pagi Lo yang nabrak gue! Lo minta maaf gak ke gue?"tanya Cantika membentak Vano.
Vano terdiam mendengar itu, dia kehabisan kata kata untuk mengelak dari perkataan gadis yang ada di depannya itu.
Cantika tersenyum sinis menatap Vano sambil mengangkat alisnya. "Kenapa diam? Ngerasa bersalah kan Lo?"ucap Cantika.
"Hah, apa? Gue, salah? Gak tetap Lo yang salah di sini!"elak Vano masih tetap tak mau kalah. Vano membuka jas nya dan memberikan ke tangan Cantika. Cantika tentu saja terkejut melihat itu. "Lo cuci baju gue sampai bersih!"perintah Vano.
Cantika benar-benar tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Cantika membuang baju itu ke lantai. "Ogah!"ketus Cantika pergi meninggalkan Vano.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Rubby sudah merasakan berbagai jenis cinta, sekaligus berbagai jenis ranjang dan desahan, namun akhirnya dia tersudut pada sebuah cinta buta dan tuli yang menjungkir balikkan kewarasan dia, meski itu artinya... TABU, karena seseorang yang dia cintai, adalah sesorang yang tidak seharusnya dia kejar. Ruby hanyalah gadis di pertengahan tiga puluh tahun. Meski begitu, tubuhnya masih terawat dengan baik. Pinggangnya masih ramping tersambung oleh lengkungan indah pinggul yang tidak berlebihan meski kentara jelas.
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”