Malam itu, rumah Reyna dan Damar terlihat tenang seperti biasanya. Reyna sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan malam sederhana dengan sepenuh hati. Dia mencintai rutinitas ini-merawat suaminya, memastikan semuanya sempurna untuk Damar, pria yang telah ia nikahi lima tahun lalu.
Damar masuk ke rumah dengan langkah cepat, melemparkan tas kerjanya ke sofa, lalu melonggarkan dasinya. "Capek banget hari ini," keluhnya sambil menjatuhkan diri di kursi makan.
"Makanya, makan dulu biar energi balik," ujar Reyna dengan senyum hangat.
Damar hanya mengangguk, namun ada rasa bersalah yang tersembunyi di matanya-sesuatu yang Reyna tak pernah perhatikan karena terlalu percaya pada suaminya.
Di tempat lain, Livia sedang duduk di sofa apartemennya, menatap ponselnya. Sebuah pesan masuk.
Damar: Aku tidak bisa lama-lama. Reyna curiga kalau aku sering pulang terlambat.
Livia tersenyum tipis, mengetik balasan dengan cepat.
Livia: Santai, Damar. Aku tahu cara mengalihkan perhatian Reyna. Kita kan sudah sering melakukannya. Sampai jumpa nanti malam, sayang.
Damar: I'll see you soon.
Livia meletakkan ponselnya dan bangkit untuk mempersiapkan diri. Dia mengenakan gaun hitam ketat, memastikan riasannya sempurna. Dia tahu bagaimana membuat Damar tak bisa berpaling darinya.
Beberapa jam kemudian, Damar mengakhiri makan malam lebih cepat dari biasanya. Reyna sempat menatapnya dengan heran.
"Kok buru-buru, Mas? Aku kira kita mau nonton film bareng malam ini," tanya Reyna dengan nada lembut.
Damar menggaruk tengkuknya, berpura-pura canggung. "Maaf, Rey. Ada pekerjaan mendadak dari kantor. Aku harus keluar sebentar."
Reyna menatapnya dengan kecewa, tapi tetap tersenyum. "Ya sudah, hati-hati di jalan, Mas."
Damar mencium kening Reyna sekilas, lalu pergi. Begitu keluar dari rumah, dia langsung mengirim pesan kepada Livia.
Damar: Aku dalam perjalanan.
Di sebuah restoran kecil yang tersembunyi di sudut kota, Damar dan Livia bertemu. Mereka memilih meja di sudut paling belakang, jauh dari pandangan orang. Saat Livia melihat Damar masuk, dia tersenyum menggoda.
"Kau selalu datang terlambat," ucap Livia sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Aku harus membuat alasan untuk Reyna," jawab Damar sambil duduk di depannya. "Kalau dia tahu, semuanya akan hancur."
"Reyna terlalu polos untuk tahu apa yang kita lakukan," ujar Livia, memainkan rambutnya dengan manja.
Damar menatapnya dalam-dalam, merasa terpikat seperti malam-malam sebelumnya. "Kau tahu ini salah, kan?" tanyanya, meskipun hatinya tidak benar-benar menginginkan jawaban.
Livia tersenyum tipis. "Kalau salah, kenapa kita terus melakukannya?"
Tanpa berpikir panjang, Damar meraih tangan Livia di atas meja. "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu," bisiknya.
"Kau harus tahu, Damar," Livia berkata dengan nada menggoda, "aku juga tak ingin kau pergi. Kau membuatku merasa hidup kembali."
Pukul dua pagi, Damar kembali ke rumah. Reyna sudah tertidur di kamar, wajahnya terlihat damai. Damar berdiri di ambang pintu, memandang istrinya dengan perasaan bersalah yang perlahan menggerogoti hatinya.
Dia masuk ke kamar dan berbaring di samping Reyna, mencoba memejamkan mata, tetapi aroma parfum Livia masih tercium samar di bajunya.