Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Bisikan Dari Hati yang Patah
Bisikan Dari Hati yang Patah

Bisikan Dari Hati yang Patah

5.0
1 Bab/Hari
92 Bab
1.1K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Rachel dulu berpikir bahwa kesetiaannya akan membuat Brian jatuh hati suatu hari nanti, tetapi ternyata dia salah ketika cinta sejati pria itu kembali. Rachel telah menanggung semuanya-mulai dari berdiri sendirian di altar pernikahan hingga menyeret dirinya sendiri ke rumah sakit untuk perawatan darurat. Semua orang mengira dia gila karena menyerahkan begitu banyak dirinya untuk seseorang yang tidak membalas perasaannya. Namun ketika Brian menerima berita tentang penyakit terminal Rachel dan menyadari bahwa wanita itu tidak akan hidup lama lagi, dia benar-benar hancur. "Aku melarangmu mati!" Rachel hanya tersenyum. Dia tidak lagi membutuhkannya. "Aku akhirnya akan bebas."

Bab 1 Tetaplah Bersamaku Malam Ini

"Ayolah, sekali lagi saja." Sebuah bisikan terdengar rendah dan memerintah, dipenuhi dengan urgensi.

Saat Rachel Marsh berbaring dengan keringat bercucuran karena kelelahan, tubuh lembutnya diangkat lagi. Gerakannya cepat, didorong oleh kebutuhan yang mendesak.

Meskipun suasana saat ini sedang kacau, dia berhasil menenangkan diri, mengangkat kepala sedikit, dan bertanya dengan nada memohon, "Bagaimana kalau kita berhenti menggunakan pengaman?" Suaranya terdengar lembut tapi bersungguh-sungguh. "Aku berpikir ... untuk memiliki bayi."

Brian White, tunangannya, tertegun untuk beberapa sesaat, ekspresinya tidak terbaca. Namun, keraguan itu tidak bertahan lama. Dia mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyentuh telinga wanita itu, dan dia menjawab dengan nada dingin yang cuek, "Memiliki anak akan membuat semuanya menjadi terlalu rumit. Aku belum siap untuk itu."

Rachel menggigit bibirnya, matanya yang memerah berkaca-kaca karena air mata yang belum menetes. "Tapi kita akan segera menikah," ucapnya, suaranya bergetar karena gejolak emosi. "Orang tuamu juga sangat menginginkan cucu. Apa benar-benar tidak bisa?"

Menikah dengan Brian dan membangun keluarga bersamanya adalah impian Rachel sejak dulu, tapi sikap Brian yang dingin dan tak kenal kompromi membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.

Dia menatap wajah dingin Brian, memahami emosinya, lalu pada akhirnya dia mengangguk perlahan. "Baiklah, kita akan bicarakan tentang memiliki anak nanti."

Ekspresi Brian sedikit melunak seolah ketegangan di antara mereka mulai mereda. Tapi sebelum dia sempat berbicara, ponselnya berdering, tiba-tiba memotong momen rapuh itu.

Suara lembut dan ragu-ragu terdengar melalui pengeras suara segera setelah Brian menjawab. "Brian, maaf mengganggumu selarut ini ... aku tersandung dan jatuh di ruang tamu dan kakiku terasa sangat sakit. Jika kamu sibuk, aku akan ...."

Yang menelepon adalah Tracy Haynes, cinta pertama Brian. Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Brian menyela, suaranya terdengar tegas tapi lembut. "Tunggu sebentar, aku akan segera ke sana."

"Oke, Brian ... aku tidak mengganggumu dan Rachel, kan? Jangan sampai dia salah paham, aku bisa naik taksi saja," jawab Tracy.

"Tidak mengganggu," ucap Brian meyakinkannya, suaranya terdengar lembut dan tenang. "Jangan terlalu banyak berpikir."

Rachel yang mendengar percakapan itu benar-benar sangat ingin tertawa.

Di kamar mandi yang remang-remang, uap mengepul tebal. Tubuh mereka berdekatan, basah kuyup, dan keintiman di antara mereka tidak dapat disangkal. Segala sesuatunya sudah pada tempatnya, dan suasana pun tercipta sempurna. Inilah yang dimaksud Brian dengan tidak mengganggu.

Namun, saat Rachel berdiri di sana, dia menyadari sesuatu yang menghantamnya bagai sebuah fakta yang dingin. Menjadi orang yang disukai adalah sebuah hak istimewa yang tidak akan pernah dia dapatkan. Itu tentang pengecualian, tentang melanggar setiap aturan demi seseorang.

Rasa sayang, perhatian, kepedulian, dan cinta Brian semuanya diberikan pada wanita lain, pada wanita yang selalu disayanginya, wanita yang selamanya akan memiliki hatinya, dan itu bukan dirinya. Ironi ini terasa sangat menyesakkan.

Tak lama kemudian, Brian melilitkan handuk besar ke tubuh Rachel, kainnya yang lembut membungkus tubuh rampingnya. Gerakannya tidak kasar, nyaris lembut saat dia mengeringkan tubuhnya.

"Aku akan menggendongmu ke ranjang," ucapnya, suaranya terdengar sangat lembut. "Kamu tidurlah dulu."

Namun, kata-katanya terasa seperti siraman seember air dingin, melenyapkan kehangatan yang tersisa di antara mereka. Hati Rachel langsung tenggelam. Apa pria ini akan pergi untuk menemui Tracy lagi?

Kedua tangan Rachel mengepal dengan erat, tubuhnya menjadi kaku karena tegang.

Setelah beberapa saat, sesuatu terlintas dalam benaknya. Dia melangkah maju, perlahan mendekat dengan langkah kecil, lalu melakukan gerakan yang menurutnya sangat gila hingga dia sendiri tidak dapat memercayainya.

Tanpa berpikir panjang, dia mengulurkan tangan, memeluk Brian erat-erat, suaranya terdengar lembut tapi bergetar. "Tetaplah bersamaku malam ini ... tolong jangan pergi, oke?"

Brian tercengang, tubuhnya menegang sejenak karena terkejut. Namun, keraguan itu hanya berlangsung sedetik. Dia segera menenangkan diri dan membelai rambut Rachel dengan lembut, suaranya terdengar tenang tapi tegas. "Jangan bersikap keras kepala, Rachel. Dia terluka, ini bukan hal kecil."

"Tapi aku juga sangat membutuhkanmu," pinta Rachel, matanya memerah dan berkilauan karena air mata yang belum menetes. Dia menggigit bibirnya begitu keras hingga berdarah. "Aku tidak ingin kamu pergi."

Brian menghela napas, suaranya terdengar melembut tapi tetap tegas. "Rachel, kamu selalu bersikap pengertian. Jangan membuat ini sulit."

Namun malam ini, Rachel tidak ingin bersikap pengertian. Dia hanya ingin Brian tetap tinggal bersamanya.

"Brian ...," bisiknya, cengkeramannya menguat saat dia menatap ke matanya, keputusasaan terukir di wajahnya.

Brian menggelengkan kepala, suaranya menjadi lebih dingin. "Menurutlah, Rachel, lepaskan."

Rachel menggelengkan kepalanya, jantungnya berdebar kencang, tidak mau menyerah.

"Kubilang, lepaskan!" Ekspresi Brian berubah menjadi dingin dengan cepat, bibirnya terkatup membentuk garis tipis. Dengan tangannya yang besar dan kuat, dia membuka jari-jarinya satu per satu, kekuatannya cukup untuk membuat wanita itu meringis kesakitan.

Jantung Rachel berdegup kencang di dadanya, tapi dia tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dia tertawa pelan dan getir, hampir mengejek kerentanannya sendiri. Perlahan-lahan, dia melepaskan genggamannya, jari-jarinya bergetar karena tekanan, dan akhirnya, beban kekalahannya pun terasa.

"Aku akan segera kembali," ucap Brian, nada bicaranya tegas saat dia berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh dua kali.

Akan segera kembali? Kata-kata itu terasa hampa, seperti sesuatu yang dikatakan untuk menghibur seorang anak kecil berumur tiga tahun. Tracy telah meneleponnya berkali-kali sebelumnya, dan Brian selalu pergi. Pria itu tidak pernah segera kembali.

Saat Rachel berdiri di sana, kebenaran menghantam dirinya dengan keras. Brian tidak ingin memiliki anak bersamanya, mungkin karena Tracy. Bagaimanapun juga, wanita itu yang selalu memegang kunci hatinya, orang yang sangat dia sayangi, wanita yang tidak bisa dia lepaskan, orang yang kenangannya tidak akan pernah pudar.

Tracy adalah cinta pertamanya, jenis cinta yang tidak akan pernah terlupakan. Jadi, tentu saja, pria itu memperlakukannya seperti harta karun, bahkan meski itu berarti mengabaikan kebutuhan dan keinginan Rachel.

Setelah momen yang panjang dan mati rasa berlalu, Rachel berbalik dan berjalan ke kamar mandi. Dia melangkah ke bawah pancuran, membiarkan air membasahi tubuhnya, meskipun air itu tidak membantu untuk membersihkan beban di dadanya.

Ketika dia akhirnya merangkak ke ranjang, seprai terasa dingin dan tidak nyaman. Tidak peduli seberapa keras dia berguling-guling, ranjangnya tidak menjadi hangat. Seolah kekosongan di sampingnya telah meresap ke dalam setiap sudut ruangan, meninggalkannya sendirian dalam keheningan yang dingin.

Pada pukul enam pagi, Rachel terbangun karena dering ponselnya. Dengan mengantuk, dia mengambilnya dan melihat nama Debby Verice, ibu Brian, muncul di layar.

"Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Suara Debby dingin dan tanpa emosi seperti biasanya. "Tiga bulan dari sekarang adalah hari yang baik untuk sebuah pernikahan."

Rachel tahu Debby tidak menelepon untuk berkonsultasi, wanita itu menelepon untuk memberi informasi.

"Aku menelepon untuk mengingatkanmu agar orang tuamu bersiap lebih awal," lanjut Debby, nada bicaranya tajam. "Meskipun keluarga kami kaya, kami tidak bodoh. Jangan berpikir keluarga kalian bisa mendapatkan banyak uang dari pernikahan ini."

Rachel mencoba menjaga suaranya tetap tenang saat menjawab, "Baiklah Tante, aku akan memberi tahu ayahku. Jangan khawatir, aku tidak akan meminta uang sepeser pun."

Namun, Debby jauh dari kata puas. Tawa mengejek terdengar di ujung telepon. "Benar saja, kamu memang wanita murahan."

Rachel menahan rasa frustrasinya, mendengarkan tanpa memberikan penjelasan. Dia tahu lebih baik dari siapa pun bahwa bahkan meski dia meminta uang, uang itu akan berakhir di tangan ayahnya yang cuek dan ibu tirinya yang kejam, orang-orang yang tidak pernah benar-benar peduli padanya.

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang Brian lihat dalam dirimu," tambah Debby sebelum menutup panggilan telepon, rasa kesalnya memuncak. "Kamu miskin, berasal dari kelas bawah, dan sepenuhnya biasa-biasa saja. Kalau bukan karena Brian bersikeras untuk menikahimu dan restu neneknya, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini."

Rachel menatap ponsel, kedua tangannya sedikit bergetar. Senyum getir tersungging di bibirnya, mengandung kesedihan. Pertunangannya dengan Brian terasa seperti mimpi, sesuatu yang hampir tidak bisa dia percayai sebagai kenyataan. Namun, menikah dengannya adalah keinginan terbesar dalam hidupnya.

Saat Rachel berusia 15 tahun, ibu tirinya membawanya ke suatu tempat yang dia klaim sebagai pertemuan masyarakat kelas atas. Tapi itu semua tipuan, mereka berakhir di kediaman Keluarga White. Di sana, Rachel didorong ke kolam renang, perbuatan kejam ibu tirinya membuatnya meronta-ronta dalam air yang dingin dan menyesakkan.

Rachel mengira dirinya akan meninggal. Namun, saat keputusasaan mulai menguasainya, dia tidak menyangka seorang pria muda melompat ke dalam kolam tanpa ragu. Pria muda itu menariknya mendekat, lengannya yang kuat membawanya ke tempat aman, menyelamatkannya dari cengkeraman dingin kematian.

Ketika dia akhirnya sadar dan membuka matanya, yang dilihatnya hanyalah sosoknya yang menjauh, menghilang di kejauhan. Jam tangan hitam yang berkilau di pergelangan tangannya adalah satu-satunya hal yang terpatri di dalam ingatannya.

Bertahun-tahun kemudian, jam tangan yang sama membawa Rachel kepadanya. Brian White, pria yang telah menyelamatkan nyawanya, tanpa disadari menjadi pria yang merebut hatinya. Sebagai rasa terima kasih atas nyawanya yang telah diselamatkan oleh pria itu, dia memberikan hatinya tanpa syarat, berharap dia bisa menikah dengan pria itu suatu hari nanti.

Suara langkah kaki di lantai bawah menyadarkan Rachel dari lamunannya. Sesaat kemudian, pintu kamar tidur berderit terbuka. Brian berdiri di sana, matanya tampak berat karena kelelahan, jasnya kusut dan acak-acakan.

Saat Rachel melihat Brian masuk, hatinya tenggelam karena beratnya kesadaran yang muncul. Jelas di mana pria itu menghabiskan malamnya, merawat Tracy lagi. Brian telah berjanji akan segera kembali, tapi di sinilah pria itu, pakaiannya kusut dan sikapnya sama saja seperti biasanya.

Rachel mengalihkan matanya, tidak mau menatapnya. Namun, Brian yang tampaknya tidak menyadari kegelisahannya, menariknya ke dalam pelukannya dengan tangannya yang kuat. Bibirnya yang dingin menyentuh bibir wanita itu, dan suaranya yang dalam melembut saat dia bertanya, "Apa kamu marah?"

Rachel tetap diam, memalingkan wajahnya. Dia tidak bisa mengabaikan aroma samar parfum wanita lain yang melekat pada pria itu atau bekas lipstik yang jelas dan mencolok di kemejanya. Bekas itu, yang pasti milik Tracy, terasa bagai jarum yang menusuknya, membuatnya merasa benar-benar kesakitan.

"Apa kamu masih mencintai Tracy?" Suara Rachel terdengar lembut tapi tenang saat dia akhirnya menatap Brian, matanya mencari kebenaran.

Brian mengulurkan tangan dan menariknya lebih dekat, pelukannya erat. "Apa yang kamu pikirkan dalam otakmu itu setiap harinya?" gumamnya, suaranya terdengar rendah dan meyakinkan. "Aku mengakui Tracy istimewa bagiku, tapi itu hanya pertemanan, tidak lebih."

Rachel tidak membantah kata-kata meyakinkan Brian. Dia hanya menatapnya, hatinya dibebani oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Perlahan, suaranya memecah kesunyian, dia bertanya, "Kalau begitu, bagaimana denganku, Brian? Apa kamu mencintaiku?"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 92 Aku Takut Kamu Akan Pergi   Hari ini00:01
img
4 Bab 4 Gelang Identik
06/05/2025
10 Bab 10 Tipu Dayanya
06/05/2025
33 Bab 33 Brian Mabuk
06/05/2025
35 Bab 35 Brian Cemburu
06/05/2025
39 Bab 39 Demam Tinggi
06/05/2025
40 Bab 40 Brian Bersalah
06/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY