/0/10035/coverbig.jpg?v=a57a6ab8fe6107cd54f27266ecec65f6)
"Karena Neptunus memang takkan pernah menemukan Mataharinya." Senaru memiliki kehidupan yang tertata, bahkan sebelum skripsinya diterima dan lulus sebagai mahasiswi strata satu jurusan seni rupa dan desain, ia sudah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di industri penerbitan sebagai seorang komikus, kegemarannya menggambar sejak masih SD mengantarkan Senaru menemui mimpi kecilnya. Lantas, mengapa ia mempertahankan hubungan enam tahunnya bersama Jarrel Ganesha yang hidupnya lebih semrawut dari kemacetan Jakarta? Kalau bagi teman-teman Senaru, Jarrel sama sekali tak memiliki masa depan meskipun laki-laki itu adalah vokalis band Kalopsia yang lagu-lagunya begitu digandrungi anak milenial. Jarrel yang cuek dan amburadul harus mengimbangi karakter Senaru yang ceria, kreatif dan tertata, atau malah justru sebaliknya?
***
"Kan gue udah bilang! Nggak usah ajakin Jarrel gituan lagi!" Senaru tak bisa kalau harus tenang, ini sudah kesekian kalinya, dan ia yang paling merasa repot kalau kekasihnya berlaku seenak jidat di luar sana.
Malam sudah menunjukan angka sebelas, tapi ia dipaksa terbangun di tengah lelap yang akhirnya terganggu ketika Asraf mengatakan Jarrel kumat lagi, alhasil Senaru terpaksa tancap gas menuju Puncak malam-malam begini. Ia bahkan tak sempat untuk sekadar mengganti piyama yang tetap membalut tubuhnya.
Senaru tak bisa kalau tidak panik, aneh kalau dia hanya diam menanggapi kekonyolan Jarrel yang lagi-lagi terjadi, padahal Senaru sudah seringkali mengingatkan kalau ada acara seperti itu Jarrel jauhi saja, tidur lebih awal terdengar lebih baik bukan?
Senaru melempar ponselnya begitu saja ke permukaan dasbor setelah telepon dari Asraf ia akhiri sepihak, ia terlalu marah untuk malam ini, mumpung jalanan begitu lengang Senaru menaikan jarum speedometer, setidaknya ia memiliki upaya yang agak brutal agar cepat sampai di Puncak. Orang-orang sialan itu harusnya menjauh dari Jarrel, sayangnya mereka semua terpaut satu sama lain.
Ia sudah keluar dari area Jakarta menembus pekat malam hari, untung sore tadi Senaru sempat mengisi full bensinnya, jadi ia tak perlu repot-repot mampir ke pom bensin, padahal besok pagi ada sidang skripsi di kampusnya, tapi Jarrel membuat ekspektasi Senaru untuk menyambut ketegangan hari esok ditingkatkan berkali-kali lipat.
Sesekali Senaru mengumpat saat roda mobilnya melintasi lubang menganga di jalan, sungguh merisak perjalanan Senaru, untungnya ia pintar mengemudi, jadi sekalipun laju kendarannya kencang dan tak sengaja menubruk polisi tidur pun lubang-lubang kerusakan yang menganga-tetap tak menyurutkan kencangnya cara Senaru mengemudikan mobil sekarang. Kalau ada orang lain yang ikut Senaru malam ini, bisa dipastikan setelah mobil berhenti-seluruh isi perut akan keluar saking mualnya diguncang oleh turbulensi tiada henti.
Senaru memang seringkali barbar kalau sudah dilanda kecemasan yang didominasi emosi, ia bisa menerjang bahaya apa pun hanya agar menemukan Jarrel secepat mungkin, jangan tanya sebesar apa perjuangan yang gadis itu lakukan selama hampir enam tahun ini.
Ia melirik maps di mobilnya yang menyala, bulatan biru berujung lancip mempertegas kalau posisinya dengan tempat Jarrel berada semakin dekat, ia sedikit mampu bernapas lega, tak sia-sia usahanya menerobos gulita malam lebih dari satu jam sendirian seperti orang kesetanan.
Pelataran Masterpiece Karaoke menjadi tempat parkir mobil Senaru, ia bergegas menghampiri pintu utama yang dijaga dua orang pria bertubuh kekar, meski hanya mengenakan piyama serta cardigan yang memeluk tubuh mungilnya Senaru tetap percaya diri menghampiri tempat tersebut.
"Cari siapa?" tanya salah satu pria bertubuh kekar dengan kepala pelontos.
"Pacar gue di dalam, Jarrel Gerhana, vokalis Kalopsia. Ada kan? Dia di dalam sama teman-temannya," sahut Senaru tanpa merasa takut.
"Lo yakin pacar Jarrel itu?" Ternyata si kepala pelontos meragukan, ia saling menatap dengan temannya seraya mengedik ragu.
"Kalau enggak percaya panggil Asraf suruh keluar, kasih tahu dia kalau Senaru ada di luar, mau ketemu Jarrel."
"Oke." Si kepala pelontos memasuki gedung tersebut, Senaru bersidekap seraya menunggu kedatangan Asraf tanpa ingin memedulikan pria tersisa yang terus memperhatikannya. Gadis itu memang terlalu menggemaskan jika dilihat-lihat, ia bahkan masih memasang sendal berbulu karakter 'Hello Kitty' sebagai pasangan piyamanya malam ini.
Tak berselang lama si kepala pelontos keluar bersama Asraf yang lantas menarik Senaru begitu saja ke dalam tanpa mendapat penolakan dari kepala pelontos tadi, mungkin Asraf sudah mengatakan sesuatu, jadi Senaru dibiarkan masuk tanpa wawancara keraguan lagi.
"Mana sih, Jarrel!" Senaru semakin kesal saat memasuki area karaoke yang terbilang luas tersebut, terlebih saat orang-orang yang berpapasan dengannya menatap geli penampilan gadis itu, padahal pakaian sama sekali tak mengartikan karakter seseorang.
"Iya sabar, Na. Sebentar lagi sampai." Ia tetap menggandeng Senaru tanpa ragu, mereka melangkah menyusuri lorong nan begitu sepi, kanan kirinya terdapat beberapa ruangan bernomor dengan pintu tertutup rapat. "Nih di dalam situ."
Mereka berhenti melangkah pada pintu paling ujung sebelah kanan, Senaru menatap ragu ke arah Asraf sebelum menarik kenop pintu-membukanya lebih lebar dan menemukan kekasihnya memang berada di dalam sana, menjengkelkannya ada dua wanita pemandu karaoke yang sibuk membantu Jarrel ketika laki-laki itu mengeluarkan isi perutnya di sudut ruangan seraya berjongkok.
"Heh! Apa-apaan nih!" sembur Senaru seraya melangkah lebar memasuki ruangan 2x2 meter tersebut, ia menarik kasar salah satu pemandu sorak tersebut agar menjauhi Jarrel. "Udah sana pada keluar, ngapain masih di sini, gue ceweknya."
Tanpa mengatakan apa-apa kedua wanita tersebut melenggang keluar, Asraf masih setia berdiri di ambang pintu seraya menatap kesibukan Senaru yang mengajak Jarrel beranjak, hanya saja tangannya yang memegang ponsel merekam aktivitas tersebut sekarang.
"Na ...." Suara Jarrel terdengar lirih, ia menatap sayu sang kekasih seraya tersenyum getir, tangannya masih sempat mengusap lembut wajah Senaru saat kekasihnya berusaha mengajak Jarrel berdiri.
"Udah, sekarang kita pulang." Senaru melingkarkan tangan kanan Jarrel di bahunya, ia mendekap pinggang laki-laki itu dari tepi sebagai upaya agar Jarrel tak tumbang, tubuhnya dua kali lebih berat jika sudah lemas begitu. "Asraf, bantuin gue bawa Jarrel ke mobil dong."
"Eh, iya, Na." Asraf menyimpan rekaman video tersebut dan memasukan ponsel ke saku celana, ia bergegas menghampiri Jarrel dan melingkarkan tangan kirinya pada bahu, kini mereka melangkah keluar dari ruangan tersebut seraya bersusah payah memapah Jarrel yang mabuk berat malam ini.
"Si Bella ke mana, Raf? Kenapa malah lo yang telepon gue?"
"Bella udah tidur dari jam sembilan di vila, capek berat dia ngurus manggung tadi. Makanya gue yang telepon lo," sahut Asraf.
"Lo sendiri kenapa enggak cegah Jarrel buat berhenti minum sih, kan lo tahu sendiri dia kalau udah bau alkohol enggak bisa berhenti, gue juga yang repot kan sekarang."
"Sorry, Na. Tadi gue enggak di ruangan itu, pas gue cek malah udah mabok berat."
Senaru tak lagi berbicara, mereka terus memapah Jarrel keluar dari Masterpiece menghampiri mobil Senaru di area parkir, saat Asraf hendak mendudukan Jarrel di kursi depan sebelah kiri saat Senaru baru saja membuka pintunya, tiba-tiba Jarrel berjongkok di sisi mobil seraya memuntahkan lagi isi perut yang lebih didominasi cairan tersebut.
"Udah tahu kalau mabuk efeknya kayak gini, masih aja mabuk. Sok-sokan banget, kaya toleran aja sama alkohol," cibir Senaru seraya bersidekap, "udah, Raf. Buruan dinaikin, gue mau langsung duduk aja, capek serius." Senaru melangkah malas mengitari kap dan duduk di balik kemudi, ia menunggu dengan sabar saat Asraf akhirnya bisa mendudukan temannya di kursi tanpa lupa memasangkan seat belt. "Thank's ya, Raf. Gue bawa balik Jarrel dulu." Senaru masih sanggup melukis senyum sebelum melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut.
Kini Senaru bisa sedikit bernapas lega karena berhasil mendapatkan Jarrel meski dalam keadaan yang sangat ia benci-menghadapi laki-laki mabuk, seringkali Jarrel begini, laki-laki itu bukan tipikal seseorang yang kuat meneguk alkohol dengan kadar banyak, baru dua botol saja Jarrel sudah dipastikan mabuk. Kan tidak lucu kalau ke mana-mana Senaru harus ngintil untuk mengawasi kekasihnya, memangnya Senaru ini pengangguran apa!
"Na ...," rintih Jarrel seraya terpejam, kepalanya bersandar menoleh ke kanan, tangannya mulai meraba sekitar sampai menemukan lengan Senaru yang masih berbalutkan cardigan. "Nana, Na."
"Bisa diem nggak, Ja. Aku lagi nyetir, ini mau ngebut biar cepet sampai Jakarta, besok pagi aku ada sidang skripsi." Ia menepis tangan Jarrel yang sempat menggelayut manja di lengan kirinya, fokus Senaru harus pada jalanan di depannya.
"Sorry, ya, Na." Meski lirih dan terpotong-potong, tapi Senaru masih bisa mendengar jelas suara Jarrel yang minta maaf, entah minta maaf untuk kesalahan yang mana, karena malam ini cukup banyak kesalahan dari Jarrel, Senaru belum sempat membuat list dosa Jarrel hari ini.
"Udah ah, diem. Aku lagi ngebut, Ja. Diem kamu, tidur aja tidur." Senaru terpaksa mendorong tubuh Jarrel hingga oleng ke kiri dan bersandar pada pintu, lebih baik seperti itu-ketimbang menggelayut terus-terusan karena dapat merisak fokus Senaru yang mengemudi.
***
"Hoek! Hoek! Hoek!"
Wastafel toilet menjadi tempat paling efektif bagi Jarrel memuntahkan semuanya, tugas Senaru selanjutnya adalah membuatkan susu putih sebagai penawar, padahal ia sangat membenci aktivitas seperti ini. Gadis berambut sebahu ala bob itu terlihat mengaduk susu di depan panel berisikan termos serta rice cooker, ia berada di rumah Jarrel bergaya studio, jadi sekali membuka pintu segala hal bisa terlihat, tanpa sekat selain kamar mandinya.
Jarrel memiliki rumah yang lebih besar serta kehangatan sebuah keluarga, tapi ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah minimalis tersebut-terutama setelah Jarrel sah menjadi vokalis Kalopsia dua tahun terakhir.
Sekarang sudah pukul satu, tapi Senaru masih mempertahankan kelopak matanya agar tetap terbuka demi mengurusi seseorang yang sudah keluar dari kamar mandi, Jarrel bergerak terhuyung menghampiri ranjang di dekat jendela sebelum merebahkan tubuhnya begitu saja di sana.
"Eja, ini susunya kamu minum kalau udah enggak terlalu panas ya, sekarang aku mau pulang." Gadis yang sudah berulang kali menguap itu meletakan segelas susu pada meja rendah di dekat ranjang, tapi Jarrel berusaha bangkit dan menarik Senaru yang hampir saja beralih pergi, kini gadis itu terduduk di sebelah Jarrel yang mulai mendapatkan separuh kesadarannya.
"Na."
"Apa?"
"Gue mau, Na." Mata Jarrel tampak memerah dan sayu, aroma alkohol menguar dari setiap perkataannya, bau seperti ini sudah tak asing lagi bagi Senaru.
"Nggak bisa, aku mau pulang sekarang. Mau tidur lagi biar lebih fit besok pagi. Udahlah kamu juga tidur, Ja." Ia beranjak, tapi lagi-lagi Jarrel menariknya hingga terduduk, Senaru berdecak. "Apa sih, Ja."
"Mau, Na." Ia mendorong Senaru begitu saja hingga terbaring di ranjang, tanpa mengulur waktu lagi Jarrel merangkak di atasnya seraya mulai mengecupi leher Senaru yang kini sibuk memberontak, mendorong tubuh Jarrel agar bangkit.
"Eja! Aku enggak mau!" Sekuat tenaga Senaru melakukannya hingga tubuh Jarrel yang masih terasa lemas itu akhirnya terdorong dan rebah di samping gadis itu, Senaru beranjak seraya berdecak, ia memukul lengan Jarrel begitu saja, membuat laki-laki itu justru tertawa. "Aku pamit pulang, Ja." Kini Senaru bisa beranjak tanpa ditahan Jarrel lagi, membiarkan laki-laki itu sendirian karena mesti menyambut segudang aktivitas yang siap menyambutnya esok pagi.
***
Orang-orang di rumah sakit mengatakan jika Dokter Flara memiliki kepribadian yang hangat, sebabnya banyak anak-anak menyukai wanita 28 tahun tersebut, tapi tidak terhadap Ganindra Prayaksa--pria nan berstatus sebagai barista kopi sekaligus suami Flara Tanuredja. Orang lain pasti takkan menyangka jika sikap Flara saat berada di depan Indra justru sangat berbeda, dokter muda itu selalu dipenuhi arogansi serta ketidaksukaan terhadap suaminya. Mungkin karena perjodohan mereka di masa lalu, atau sebab status Indra yang hanya seorang barista kopi—sementara istrinya merupakan seorang dokter? Mungkin, wanita itu malu sekaligus benci harus menikah dengan Indra. Sayangnya, judul kisah mereka bukanlah 'Terpaksa Menikahi Barista'. ***
"Cinta kita ibaratkan sebuah pohon, kalau daun-daunnya gugur dan hancur, apa kamu bisa menjamin mereka bahagia sekalipun masih berdiri kokoh?" Pernikahan terasa lebih sempurna jika seorang anak hadir di antara mereka, Karenina juga memikirkan hal yang sama, tapi saat kehamilan membuat orang-orang di sekitarnya senang—justru kebahagiaan yang ia nanti sejak lama direbut paksa, dan Denial selalu dianggap Karenina sebagai dalang utama atas luka yang lagi-lagi mengguncangnya. Mampukah mereka mempertahankan pernikahan tersebut saat krisis kepercayaan berhasil mengoyak Karenina?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
[ Mature Content ⛔ ] [ 21 + ] Penulis : penariang Genre : Romance - Adult Sub - Genre : Sick Love with Angst *** Zhou Zui Yu mengalami kegagalan pernikahan sebanyak dua kali. Tepat sebelum hari pernikahannya dilangsungkan, semua tunangannya akan mundur dengan alasan dia terlalu membosankan. Masyarakat kelas atas menyebutnya sebagai "Burung Gagak" karena kesannya yang penyendiri dan pendiam. Namun, suatu hari, seorang tuan muda bernama Ming Yu dari negara tetangga tiba-tiba saja datang untuk mengajukan lamaran pada Zhou Zui Yu setelah semua rumor yang tersebar. Hingga membuat semua orang tercengang. "Berhentilah, aku tidak berniat menikah dengan siapapun." "Lalu bagaimana jika aku berusaha lebih keras? Maukah kamu memberiku kesempatan?" Secuil kisah, tentang seberapa keras tuan muda Ming Yu berusaha merebut hati keras Zhou Zui Yu. Sampai-sampai melupakan status mulianya sebagai tuan muda terhormat.
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
Aku bingung dengan situasi yang menimpaku saat ini, Dimana kakak iparku mengekangku layaknya seorang kekasih. Bahkan perhatian yang diberikan padaku-pun jauh melebihi perhatiannya pada istrinya. Ternyata dibalik itu semua, ada sebuah misteri yang aku sendiri bingung harus mempercayai atau tidak.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?