/0/24077/coverbig.jpg?v=ac47ecfc4ee739e4aa7003f20d2bbeef)
"Selain menjadi ART, kamu harus melayani saya di ranjang dan berikan ASI mu pada saya setiap saat, kau bisa menulis berapun nominal gajimu!" perintah Slater Jagger.
Slater baru saja tiba di rumah. Pintu ia dorong pelan, namun suara engsel yang berderit terdengar jelas dalam keheningan rumah. Wajahnya tampak kusut, tubuhnya benar-benar kesal, lelah, letih, lesu, dan sangat penat. Hari ini terasa seperti hari paling panjang dalam hidupnya. Jasnya sudah kusut, dasinya melonggar, dan kemejanya lengket oleh keringat serta debu kota.
Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada Seveline-istrinya-yang tampak duduk santai di sofa ruang tengah. Kakinya berselonjor, ponsel di tangan, matanya fokus ke layar, jari-jarinya lincah menari.
"Kamu pulang dari tadi?" tanya Slater, suaranya berat dan datar, mencoba menahan rasa jengkel.
Seveline hanya mengangguk kecil, tak menoleh sedikit pun. Bahkan tidak menyapa. Hanya sekali sentuhan singkat pada layar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Slater menghela napas panjang. Ia meletakkan tas kerja di sisi rak, melepas dasi dengan gerakan lambat, lalu sepatu yang terasa seperti beban batu ia tendang pelan ke sisi karpet. Tanpa bicara lebih, ia berjalan ke lantai atas, langkahnya berat dan malas.
Usai mandi, Slater turun kembali dengan rambut masih agak basah dan pakaian yang lebih santai. Aroma sabun masih menyelimuti tubuhnya, namun kehangatannya tak cukup untuk meredakan letih di hatinya. Seveline masih berada di tempat yang sama-pose yang nyaris tak berubah.
Slater berjalan menuju meja makan, berharap setidaknya ada semangkuk sup atau sepiring nasi hangat. Tapi kenyataan berkata lain. Meja itu kosong, bahkan tak ada satu pun sendok tersusun.
"Kamu nggak masak untuk makan malam?" tanya Slater, nadanya mulai sedikit meninggi, jelas menyimpan nada kesal.
Seveline akhirnya menoleh, wajahnya datar. "Beli aja di luar. Kebetulan aku juga belum makan," jawabnya singkat, tanpa ekspresi bersalah sedikit pun.
Slater menggertakkan giginya pelan, lidahnya bergerak di dalam mulut, menahan gejolak amarah yang hampir meledak. Ia menatap istrinya beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan langkah tenang namun penuh tekanan, ia berjalan mendekat ke ruang tengah, menghampiri Seveline.
Matanya menatap lekat, seolah ingin mengucapkan banyak hal... namun lidahnya belum juga bergerak. Ada yang mulai retak di antara diam mereka-dan Slater merasakannya makin jelas malam itu.
"Apa kamu akan terus bersikap acuh seperti ini?" tanya Slater, suaranya terdengar tegas namun masih menahan emosi.
Seveline akhirnya menoleh, kali ini benar-benar menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi mata itu-mata yang biasa dingin-kini mulai menunjukkan sedikit percikan emosi. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Slater dengan alis terangkat.
"Kenapa?" balasnya singkat, nada suaranya datar namun terasa mengandung tantangan.
Slater menghela napas panjang, dalam dan berat, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnya menatap istrinya.
"Kau seorang istri," ucapnya, lebih pelan namun jelas. "Kewajibanmu melayani suami. Aku tidak menuntut kamu harus masak, bersih-bersih rumah, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan itu. Aku hanya butuh kamu... melayaniku."
Kata-kata itu menggantung di udara, menampar keheningan di antara mereka.
"Tapi tidak ada satu pun kewajiban itu yang kamu lakukan selama satu minggu kita menikah," lanjut Slater, kini suaranya mengandung luka yang ia sembunyikan dengan amarah. "Kamu benar-benar sangat enggan untuk disentuh. Kita seperti orang asing yang kebetulan tinggal di bawah satu atap."
Setelah kalimat itu, keheningan kembali menyelimuti. Namun kali ini berbeda. Suasana jadi lebih berat, lebih tajam.
Seveline memandangi wajah Slater untuk beberapa saat. Matanya berkedip pelan, dan tanpa sepatah kata pun, ia akhirnya mematikan ponselnya. Gerakan kecil itu-menekan tombol di sisi ponsel dan meletakkannya di meja-menandakan bahwa kata-kata Slater berhasil menembus dinding ketidakpeduliannya.
Tatapan mereka bertemu. Kali ini tak ada layar yang jadi penghalang. Hanya dua orang yang seharusnya saling mencintai, tapi kini tenggelam dalam jarak yang tak kasat mata... namun terasa begitu nyata.
Seveline perlahan beranjak dari sofa, ponselnya ditinggalkan begitu saja di meja. Gerak tubuhnya tenang, tapi sorot matanya menusuk tajam ke arah Slater.
"Memangnya, apa yang kau harapkan dari pernikahan yang kau rancang sendiri?" tanyanya, nada suaranya dingin namun menyakitkan. "Semua ini demi mendapatkan posisi pemimpin di keluargamu, bukan?"
Slater diam terpaku, rahangnya mengeras.
"Aku mau menerima pernikahan ini karena tampangmu yang sempurna," lanjut Seveline, langkahnya mulai mendekat ke arah Slater. "Aku harus menjaga harga diriku sebagai seorang aktris. Apa kata mereka kalau idolanya menikah dengan pria buruk rupa seperti kakak angkatmu?"
Kata-katanya tajam, seperti pisau yang disayatkan pelan ke dada Slater.
"Jadi, jangan mengharapkan apa pun dariku selain keuntungan. Jika bukan karena wajahmu, aku takkan sudi menerima lamaranmu. Ada banyak miliarder di luar sana yang menginginkanku sebagai istri mereka."
Ia menjeda ucapannya sejenak, mengatur napas, sebelum melangkah makin dekat hingga hanya beberapa langkah dari wajah Slater.
"Dan satu hal lagi..." katanya, kali ini dengan nada nyaris berbisik tapi lebih menghina. "Seharusnya kau berterima kasih padaku. Sebelum kau dapat posisi itu, akulah yang membiayai hidupmu. Kau menumpang di rumahku. Jadi jaga sikapmu... dan jangan bertingkah seolah kau suamiku. Aku benci diperintah!"
Matanya menatap Slater tajam, penuh amarah sekaligus superioritas yang dingin.
Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Slater, Seveline langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang tengah. Suara langkah sepatunya yang teratur bergema di lantai, sementara Slater hanya berdiri di sana, membatu, menyaksikan punggung wanita yang ia nikahi menjauh... membawa bersamanya sisa-sisa harapan yang baru saja hancur.
"Paman akhh sakit enghh," rintih Selva saat Mark memaksa dan terus mendorong miliknya ke dalam sana. Mark mengerang dan terus mendorong miliknya sembari berbisik, "Pelankan desahanmu sayang, ayah ibumu bisa bangun."
"Dapatkan wanita itu untukku. Malam ini dia akan menjadi milikku!" ujar Leo De Vana kala mata glasialnya menangkap mangsa yang menarik malam ini. ••• Leo De Vana ketua mafia Cosa Nostra yang terkenal bengis dan kejam akan musuh- musuhnya. Menduda selama 5 tahun tidak membuat Leo merasa kesepian. Dia sangat anti dan benci dengan sesuatu yang berurusan dengan wanita. Hingga Leo merasakan jatuh cinta kali pandangan pertama pada gadis SMA yang mampu meluluhlantahkan hatinya yang sudah lama mati sejak perselingkuhan istri dan sahabatnya. Demi bisa mendapatkan gadis tersebut, Leo merebut kehormatannya demi bisa menjerat gadis tersebut untuk menjadi milik Leo De Vana seutuhnya.
"Berikan ASImu pada putraku akan kuberikan dunia dan seisinya!" Ujar El Zibrano Elemanus. "Kau gila? Aku masih sekolah, mana mungkin bisa menyusui anakmu!" marah Lea kesal "Bisa, dengan bantuan ku!" El tanpa segan meremas benda kenyal Lea.
"Paman enghh sakit hmppp," rintih Shila saat Sam mulai menghujam dirinya. "Sssttt pelankan suaramu sayang, ayah dan ibumu akan dengar!" bisik Sam lirih.
"Kau sedang mengintip? Bagaimana jika kuajari secara langsung?" Tawari Hunter Oragle kala menangkap basah putri tirinya mengintip dirinya yang tengah bergumul panas dengan ibunya. •••• Perasaan dan hubungan tabu itu menjadi rumit saat fakta dan kebenaran mencuat.
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Warning!!!!! 21++ Aku datang ke rumah mereka dengan niat yang tersembunyi. Dengan identitas yang kupalsukan, aku menjadi seorang pembantu, hanyalah bayang-bayang di antara kemewahan keluarga Hartanta. Mereka tidak pernah tahu siapa aku sebenarnya, dan itulah kekuatanku. Aku tak peduli dengan hinaan, tak peduli dengan tatapan merendahkan. Yang aku inginkan hanya satu: merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi milikku. Devan, suami Talitha, melihatku dengan mata penuh hasrat, tak menyadari bahwa aku adalah ancaman bagi dunianya. Talitha, istri yang begitu anggun, justru menyimpan ketertarikan yang tak pernah kubayangkan. Dan Gavin, adik Devan yang kembali dari luar negeri, menyeretku lebih jauh ke dalam pusaran ini dengan cinta dan gairah yang akhirnya membuatku mengandung anaknya. Tapi semua ini bukan karena cinta, bukan karena nafsu. Ini tentang kekuasaan. Tentang balas dendam. Aku relakan tubuhku untuk mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku. Mereka mengira aku lemah, mengira aku hanya bagian dari permainan mereka, tapi mereka salah. Akulah yang mengendalikan permainan ini. Namun, semakin aku terjebak dalam tipu daya ini, satu pertanyaan terus menghantui: Setelah semua ini-setelah aku mencapai tahta-apakah aku masih memiliki diriku sendiri? Atau semuanya akan hancur bersama rahasia yang kubawa?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?