"Selain menjadi ART, kamu harus melayani saya di ranjang dan berikan ASI mu pada saya setiap saat, kau bisa menulis berapun nominal gajimu!" perintah Slater Jagger.
"Selain menjadi ART, kamu harus melayani saya di ranjang dan berikan ASI mu pada saya setiap saat, kau bisa menulis berapun nominal gajimu!" perintah Slater Jagger.
Slater baru saja tiba di rumah. Pintu ia dorong pelan, namun suara engsel yang berderit terdengar jelas dalam keheningan rumah. Wajahnya tampak kusut, tubuhnya benar-benar kesal, lelah, letih, lesu, dan sangat penat. Hari ini terasa seperti hari paling panjang dalam hidupnya. Jasnya sudah kusut, dasinya melonggar, dan kemejanya lengket oleh keringat serta debu kota.
Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada Seveline-istrinya-yang tampak duduk santai di sofa ruang tengah. Kakinya berselonjor, ponsel di tangan, matanya fokus ke layar, jari-jarinya lincah menari.
"Kamu pulang dari tadi?" tanya Slater, suaranya berat dan datar, mencoba menahan rasa jengkel.
Seveline hanya mengangguk kecil, tak menoleh sedikit pun. Bahkan tidak menyapa. Hanya sekali sentuhan singkat pada layar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Slater menghela napas panjang. Ia meletakkan tas kerja di sisi rak, melepas dasi dengan gerakan lambat, lalu sepatu yang terasa seperti beban batu ia tendang pelan ke sisi karpet. Tanpa bicara lebih, ia berjalan ke lantai atas, langkahnya berat dan malas.
Usai mandi, Slater turun kembali dengan rambut masih agak basah dan pakaian yang lebih santai. Aroma sabun masih menyelimuti tubuhnya, namun kehangatannya tak cukup untuk meredakan letih di hatinya. Seveline masih berada di tempat yang sama-pose yang nyaris tak berubah.
Slater berjalan menuju meja makan, berharap setidaknya ada semangkuk sup atau sepiring nasi hangat. Tapi kenyataan berkata lain. Meja itu kosong, bahkan tak ada satu pun sendok tersusun.
"Kamu nggak masak untuk makan malam?" tanya Slater, nadanya mulai sedikit meninggi, jelas menyimpan nada kesal.
Seveline akhirnya menoleh, wajahnya datar. "Beli aja di luar. Kebetulan aku juga belum makan," jawabnya singkat, tanpa ekspresi bersalah sedikit pun.
Slater menggertakkan giginya pelan, lidahnya bergerak di dalam mulut, menahan gejolak amarah yang hampir meledak. Ia menatap istrinya beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan langkah tenang namun penuh tekanan, ia berjalan mendekat ke ruang tengah, menghampiri Seveline.
Matanya menatap lekat, seolah ingin mengucapkan banyak hal... namun lidahnya belum juga bergerak. Ada yang mulai retak di antara diam mereka-dan Slater merasakannya makin jelas malam itu.
"Apa kamu akan terus bersikap acuh seperti ini?" tanya Slater, suaranya terdengar tegas namun masih menahan emosi.
Seveline akhirnya menoleh, kali ini benar-benar menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi mata itu-mata yang biasa dingin-kini mulai menunjukkan sedikit percikan emosi. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Slater dengan alis terangkat.
"Kenapa?" balasnya singkat, nada suaranya datar namun terasa mengandung tantangan.
Slater menghela napas panjang, dalam dan berat, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnya menatap istrinya.
"Kau seorang istri," ucapnya, lebih pelan namun jelas. "Kewajibanmu melayani suami. Aku tidak menuntut kamu harus masak, bersih-bersih rumah, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan itu. Aku hanya butuh kamu... melayaniku."
Kata-kata itu menggantung di udara, menampar keheningan di antara mereka.
"Tapi tidak ada satu pun kewajiban itu yang kamu lakukan selama satu minggu kita menikah," lanjut Slater, kini suaranya mengandung luka yang ia sembunyikan dengan amarah. "Kamu benar-benar sangat enggan untuk disentuh. Kita seperti orang asing yang kebetulan tinggal di bawah satu atap."
Setelah kalimat itu, keheningan kembali menyelimuti. Namun kali ini berbeda. Suasana jadi lebih berat, lebih tajam.
Seveline memandangi wajah Slater untuk beberapa saat. Matanya berkedip pelan, dan tanpa sepatah kata pun, ia akhirnya mematikan ponselnya. Gerakan kecil itu-menekan tombol di sisi ponsel dan meletakkannya di meja-menandakan bahwa kata-kata Slater berhasil menembus dinding ketidakpeduliannya.
Tatapan mereka bertemu. Kali ini tak ada layar yang jadi penghalang. Hanya dua orang yang seharusnya saling mencintai, tapi kini tenggelam dalam jarak yang tak kasat mata... namun terasa begitu nyata.
Seveline perlahan beranjak dari sofa, ponselnya ditinggalkan begitu saja di meja. Gerak tubuhnya tenang, tapi sorot matanya menusuk tajam ke arah Slater.
"Memangnya, apa yang kau harapkan dari pernikahan yang kau rancang sendiri?" tanyanya, nada suaranya dingin namun menyakitkan. "Semua ini demi mendapatkan posisi pemimpin di keluargamu, bukan?"
Slater diam terpaku, rahangnya mengeras.
"Aku mau menerima pernikahan ini karena tampangmu yang sempurna," lanjut Seveline, langkahnya mulai mendekat ke arah Slater. "Aku harus menjaga harga diriku sebagai seorang aktris. Apa kata mereka kalau idolanya menikah dengan pria buruk rupa seperti kakak angkatmu?"
Kata-katanya tajam, seperti pisau yang disayatkan pelan ke dada Slater.
"Jadi, jangan mengharapkan apa pun dariku selain keuntungan. Jika bukan karena wajahmu, aku takkan sudi menerima lamaranmu. Ada banyak miliarder di luar sana yang menginginkanku sebagai istri mereka."
Ia menjeda ucapannya sejenak, mengatur napas, sebelum melangkah makin dekat hingga hanya beberapa langkah dari wajah Slater.
"Dan satu hal lagi..." katanya, kali ini dengan nada nyaris berbisik tapi lebih menghina. "Seharusnya kau berterima kasih padaku. Sebelum kau dapat posisi itu, akulah yang membiayai hidupmu. Kau menumpang di rumahku. Jadi jaga sikapmu... dan jangan bertingkah seolah kau suamiku. Aku benci diperintah!"
Matanya menatap Slater tajam, penuh amarah sekaligus superioritas yang dingin.
Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Slater, Seveline langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang tengah. Suara langkah sepatunya yang teratur bergema di lantai, sementara Slater hanya berdiri di sana, membatu, menyaksikan punggung wanita yang ia nikahi menjauh... membawa bersamanya sisa-sisa harapan yang baru saja hancur.
Ini tentang Zhea Logari Gadis SMA yang dijual ibu tirinya pada seorang germo sekaligus Mafia terkemuka di kota Malta. Bukannya dijadikan budak, Zhea malah dijadikan seorang putri. Yang mana hal itu membuat kakak tirinya berusaha menghalalkan segala cara untuk menggantikan posisi Zhea.
"Kau sedang mengintip? Bagaimana jika kuajari secara langsung?" Tawari Hunter Oragle kala menangkap basah putri tirinya mengintip dirinya yang tengah bergumul panas dengan ibunya. •••• Perasaan dan hubungan tabu itu menjadi rumit saat fakta dan kebenaran mencuat.
"Duke tolong jangan enghh!" Selina berusaha menahan dirinya. Namun Duke terus menggodanya. "Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku!" bisiknya pada telinga Selina. •••• Entah Selina harus bersyukur atau menyesal menghadiri reuni sekolah malam itu. Setelah pertemuannya dengan mantan kekasih, semua hidup Selina berubah berwarna.
"Pak kenapa bimbingannya di dalam kamar?" Tanya Zeya Scopuso. "Akan ada bimbingan tambahan dari saya," jawab Delson Weather seraya meraba paha Zeya dengan lembut.
"Di negara Turin, tidak ada yang tahu siapa istriku!" Ucap Grey Massimo -polisi paling kejam dengan julukan Hiu Daratan. •••• Grey menyembunyikan pernikahan dan juga istrinya dari publik. Entah karena dia malu tentang disabilitas yang disandang istrinya karena bisu atau memang dia sengaja menutupi dari publik demi keamanan istrinya sebagai istri seorang polisi yang dikelilingi musuh tak terlihat. Hingga suatu hari Grey mendapatkan sebuah telepon misterius jika dia tahu siapa istrinya dan berniat akan membunuhnya jika Grey tidak melepaskan salah satu narapidana yang Grey tangkap dalam buronan selama 3 bulan ini. Kira kira apa yang akan Grey lakukan, melepas narapidana yang sudah lama mereka cari atau mengabaikan telepon yang baginya sebuah penipuan?
"Setelah aku bosan. kamu bisa pergi!" tekan Tyson. "Sekalipun belum genap 1 tahun?" Tyson hanya mengangguk. ••• Karena tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu Beatrice Miller terpaksa harus menjadi teman tidur Tyson Lynch selama 1 tahun.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Selama sepuluh tahun, aku diam-diam mencintai waliku, Bima Wijaya. Setelah keluargaku hancur, dia membawaku masuk dan membesarkanku. Dia adalah seluruh duniaku. Pada hari ulang tahunku yang kedelapan belas, aku mengumpulkan semua keberanianku untuk menyatakan cintaku padanya. Tapi reaksinya adalah kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia menyapu kue ulang tahunku ke lantai dan meraung, "Kamu sudah gila? Aku ini WALImu!" Dia kemudian tanpa ampun merobek lukisan yang telah kukerjakan selama setahun—pengakuanku—menjadi serpihan. Hanya beberapa hari kemudian, dia membawa pulang tunangannya, Clara. Pria yang telah berjanji untuk menungguku dewasa, yang memanggilku bintangnya yang paling terang, telah lenyap. Satu dekade cintaku yang putus asa dan membara hanya berhasil membakar diriku sendiri. Orang yang seharusnya melindungiku telah menjadi orang yang paling menyakitiku. Aku menatap surat penerimaan dari Universitas Indonesia di tanganku. Aku harus pergi. Aku harus mencabutnya dari hatiku, tidak peduli betapa sakitnya. Kuambil telepon dan menekan nomor ayahku. "Ayah," kataku, suaraku serak, "Aku sudah memutuskan. Aku ingin ikut dengan Ayah di Jakarta."
Tinggal di sebuah kampung pedesaan di daerah Cianjur, JawaBarat. Membuat dia masih polos karena jarang bergaul dengan teman sebayanya, dari sebelum menikah sampai sekarang sudah menikah mempunyai seorang suami pun Sita masih tidak suka bergaul dan bersosialisasi dengan teman atau ibu-ibu di kampungnya. Sita keluar rumah hanya sebatas belanja, ataupun mengikuti kajian di Madrasah dekat rumahnya setiap hari Jum'at dan Minggu. Dia menikahpun hasil dari perjodohan kedua orangtuanya. Akibat kepolosannya itu, suaminya Danu sering mengeluhkan sikap istrinya itu yang pasif ketika berhubungan badan dengannya. Namun Sita tidak tahu harus bagaimana karena memang dia sangat amat teramat polos, mengenai pergaulan anak muda zaman sekarang saja dia tidak tahu menahu, apalagi tentang masalah sex yang di kehidupannya tidak pernah diajarkan sex education. Mungkin itu juga penyebab Sita dan Danu belum dikaruniai seorang anak, karena tidak menikmati sex.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.
© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY