Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Terpaksa Pelakor
Terpaksa Pelakor

Terpaksa Pelakor

5.0
43 Bab
313 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kecelakaan mobil yang menimpa Levin Mahendra tempo hari telah merenggut kebebasan istrinya, hingga mengalami koma selama bertahun lamanya. Berta, ibunya itu sudah tidak tahan karena ingin segera menimang cucu hingga mendesak dokter tampan itu untuk segera menikah lagi. Tak tega, Levin merasa bersalah pada istrinya yang masih setia terbaring di atas ranjang, dengan berbagai kabel serta alat kesehatan yang membantu detak jantungnya masih berfungsi. Hingga kesempatan itu datang. Asley si gadis remaja korban perkosaan yang mencoba mengakhiri hidupnya karena hamil diluar nikah. Levin akhirnya memutuskan untuk menikahi gadis itu demi menyelamatkan dua nyawa yang tengah dalam keadaan depresi.

Bab 1 Semuan Berawal dari Sini

"Please, honey. Ini sedang di perjalanan. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan kita, Oke?"

Levin membujuk istrinya untuk tidak menggodanya dengan memainkan jemari halus itu di dadanya yang berbulu. Berulang kali ia bergidik, bahkan meringis nikmat merasakan kenakalan jemari istrinya itu.

"I want more, baybe."

Laura bahkan sudah semakin gila dengan menciumi leher suaminya hingga timbul beberapa tanda kepemilikan di leher berbulu tipis itu.

"Sayang, aku sedang nyetir."

"Tapi aku mau sekarang ... di sini."

"Kamu gila, Laura. Ini di jalan tol. Kita tak mungkin berhenti di sini."

"Aku tak minta berhenti. Cukup kamu nyetir dan menikmati permainanku." Bibir seksi itu berbisik lembut hingga menghembuskan nafas nafas berbau mint ke telinga suaminya.

"Haha, kami memang selalu gila dalam fantasy-mu. Oke, silahkan. Lakukan saja apa yang kamu mau."

Seringai indah itu seolah memberi kode para Laura untuk segera mempermainkan bentuk tubuh yang selalu menjadi candunya. Ia bergegas, mengangkat dress yang dikenakannya, lalu dengan penuh senyuman menantang merangkak hingga posisi sudah berhadapan dan duduk pada saat penutup kenikmatan itu terbuka.

Sesaat Levin berceracau, memang selalu nikmat yang ia rasakan jika istrinya sudah menggila. Suara-suara pencipta keringat itu sudah mulai beradu di dalam perjalanan yang penuh tantangan. Sesekali Levin mencium bibir menantang itu dengan ganas, tapi ia tetap berusaha fokus pada laju kemudi yang harus tetap ia jaga.

"Balas, sayang. Balas aku." Laura mencengkeram kuat rambut suaminya.

"Tidak, sayang Aku akan membalasmu ketika kita sampai di rumah. Kamu akan bisa menikmatiku seutuhnya."

"I want, please!"

"No, baybe."

"I want you!"

Keganasan itu semakin gila, hingga terjadi sedikit pertengkaran dan ....

BRUK!

Mobil mereka mengalami kecelakaan tunggal hingga pendengaran Levin sedikit terganggu suara klakson menjerit nyaring memenuhi rongga telinganya.

TIDAK!

Darah itu sudah mengucur deras dari arah belakang kepala Laura yang sudah tak sadarkan diri dan hanya tertunduk bertumpu pada pundaknya.

"Laura, sadar sayang."

Levin tahu, ini akan menjadi pula hal memalukan ketika orang-orang itu datang mengerumuninya. Hingga ia segera berusaha memindahkan tubuh istrinya dan menutup kembali hal yang tidak pantas untuk dilihat.

Benar saja. Orang-orang itu sudah menghampirinya dan berusaha mengeluarkan Levin beserta Laura dari dalam mobil.

"Laura, Laura!"

Lagi.

Kembali mimpi buruk itu selalu menghiasi malamnya. Levin menoleh ke arah jarum jam masih menunjukan pukul tiga pagi.

Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan jika dihitung, mungkin sekitar tiga tahun ia menahan diri untuk tidak terbuka pada wanita lain, selain menunggu sadarnya bidadari yang masih tergolek lemas di kamar khusus serta peralatan kesehatan yang membantu jantung itu masih berdetak.

Ia menghela nafasnya dengan berat. Seandainya saja waktu itu ia tak memaksakan diri untuk pulang, seandainya keinginan Laura ia penuhi sejak acara di hotel, seandainya dirinya tidak egois. Padahal ia tahu sendiri jika Laura memang memiliki kekinginan kuat atas dirinya sejak mereka menikah.

Seminggu setelah resmi jadi suami istri, memang hanya beberapa kalo Levin memenuhi hasrat istrinya karena kesibukan dia sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit. Tentu menjadi dokter muda bukanlah hal yang dapat seenaknya sendiri, ia harus stay kapan pun ketika Dokter Koas-nya meminta.

Keringat dingin mengucur deras di dahinya, ia tahu, dirinya mengalami trauma yang mendalam.

Laura, istrinya itu masih setia terbaring di atas ranjang yang khusus ia persiapkan. Cantik, memang sudah menjadi kelebihan Laura sejak dulu. Meski tiga tahun tak sadarkan diri, tak membuat istrinya itu kehilangan kecantikannya.

"Bangunlah, sayang. Aku menunggumu," bisiknya setiap kali habis bermimpi.

***

Wajah itu masih dengan raut yang sama. Matanya terlelap, tak lagi ceria seperti dulu. Wajah yang selama ini Levin rindukan, kini hanya terbaring dengan ketidak berdayaan. Pagi yang selalu ia lewati dengan hanya tersenyum sendiri, memasang deretan kancing dan membayangkan jika itu kini dilakukan istrinya. Ia memejamkan mata, merasakan setiap sentuhan halus menyentuh lapisan kulit terluar. Memberi sensasi yang selalu ia rindukan setiap waktunya.

Laura, nama itu selalu tergumam dengan penuh hasrat, tapi kembali kesadaran membanting segala harapan yang seolah mulai berubah hampa.

"Aku akan menunggu kamu kembali, sayang," bisiknya selalu di telinga wanita yang warna kulitnya sudah mulai memucat.

Pagi yang diawali kecupan mesra Levin di pucuk kepala wanita yang masih dapat memiliki jantung berdetak berkat bantuan beberapa alat. Levin tersenyum, membayangkan istrinya juga tengah melihatnya dengan manis.

"Hari ini mungkin jadwalku agak padat, kalau aku lama tidak datang menemuimu, kamu jangan marah ya. Aku agak sibuk, sayang." Sepotong roti sandwich masuk ke dalam mulutnya. "Kamu kapan bisa masak buat aku? Aku kangen sama makanan buatan kamu."

Rasa semua makanan yang di mulutnya itu seperti tidak mau berkompromi. Selalu sulit untuk dinikmati ketika ia merasa jika harapannya sudah mulai sia-sia. Namun, titik kecil keyakinan yang masih tersisa, seolah mendominasi semuanya dan hal itu pula yang membuat Levin tetap bertahan.

"Kembalilah, sayang. Kembalilah seperti dulu." Air mata Levin mulai mengalir, kembali rasa bersalah itu muncul dengan segala penyesalan.

Sebuah ketukan pintu membuatnya seketika menyeka air mata. Seorang rekan sudah tersenyum, menunggu tugas untuk melakukan tugas bersama-sama.

***

Sebulan yang lalu ....

Seorang gadis diseret masuk ke sebuah gudang di area kampus. Seharusnya jam ini dia sudah pulang, tapi tugas yang menumpuk mengharuskannya untuk pulang terlambat.

Dengan tangan tercengkeram laki-laki yang menggunakan penutup wajah, gadis itu terus meronta dan berteriak meminta tolong. Namun, tak ada seorang pun yang datang untuk menolongnya. Ia putus asa, saat sesuatu di bawah dengan gagah mulai menodai, hingga ia terkulai lemas kehabisan tenaga.

"Maafkan aku." Hanya itu yang tergumam dari mulut si laki-laki, tanpa didengar oleh si gadis.

Beberapa menit setelah laki-laki itu meninggalkannya. Si gadis terbangun dalam keadaan berantakan, ia memunguti pakaian dalam yang berserakan di mana-mana. Wajahnya lusuh, air mata terus mengalir tanpa henti. Kakinya terseok merasa lemas dan sakit di area sensitif yang tidak bisa ia tahan. Seketika terjatuh dan kembali menangis. Noda merah di lantai kotor itu seolah sebagai pertanda jika ia sudah tidak suci lagi.

***

Tiga puluh hari selepas kejadian di gudang kampus. Gadis itu lebih sering mengurung diri di kamarnya. Hanya membiarkan tatapan kosong tetap mengarah pada apa saja benda yang ada di depannya. Tubuhnya semakin kurus, ia tidak nafsu makan. Hingga ide buruk muncul di kepala.

Dia melangkah dengan terburu-buru menuju sebuah jembatan penghubung jalan yang hanya berjarak beberapa meter saja. Melihat aliran sungai yang deras, kemudian ia ....

*** 

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY