/0/12083/coverbig.jpg?v=deca033d537d45af4265bad48596f910)
"Berhentilah menangis atau aku akan melakukan lebih dari sekadar menyobek bajumu, Arini." Namun, mendengar ucapan Rexy, suara tangisku malah makin mnenggema bersama aliran shower yang terus membasahi badanku dan Rexy, pria yang membiarkanku memeluknya yang masih menopang tubuhku. "Damn it, seharusnya aku memang membunuh mereka semua." Penasaran? Yuk kepoin👇
Aku tidak tahu dorongan darimana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini.
Aku datang. Namun, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman. Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak peduli jika ada mata manusia yang melihat.
Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit. Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku!
Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernapas karena itu hal wajar untuk kulakukan.
Bernapas!
Brukk!!
Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.
Aku seperti di sini, tapi otakku melayang entah ke mana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku.
Udara dingin yang terasa menusuk berkat pendingin ruangan tak berpengaruh apapun padaku yang diam terpaku, menatapi lobi tanpa perduli saat berpasang-pasang mata menatapiku heran.
Mungkin mereka berpikir aku orang tersesat, tapi tak ada yang mendekat untuk sekadar bertanya. Mereka hanya menatapiku yang berdiri masih mencerna apa yang sedang aku lakukan.
"Mariot hotel?"
Ah, aku berada di salah satu hotel mewah yang membuatku merasa salah tempat karena bukan hotel yang ingin ku tuju tapi kantor suamiku.
''Sedang apa aku di sini?"
Tubuhku langsung kaku saat kesadaranku kembali. Mungkin, wajahku sudah seperti lembaran kertas putih yang pucat sampai seseorang menyapaku.
Aku yang menoleh, bahkan tak jelas mendengar apa yang ia tanyakan sampai ia mengajakku duduk di sofa empuk yang rasanya membuat tubuhku menjerit dalam bisu.
Detik berganti.
Waktu berputar begitu lama dan mataku selalu memandangi lift yang berbunyi, berharap suamiku ada di antara lift yang terbuka. Namun, suamiku tak ada di sana begitupun wanita yang datang bersamanya.
Wanita yang sejak pertama kali aku melihat potretnya di dalam kediaman suamiku, membuat diri merasakan perasaan tidak enak.
Wanita dengan kecantikan yang akan membuat semua mata menoleh dengan rasa iri dan kagum.
Wanita yang bisa memiliki segalanya hanya dengan menunjuk apa yang ia mau.
Aku terus menunggu, tidak peduli pada tatapan resepsionis yang sesekali bertukar pandang dengan satpam.
Mungkin, di hotel ini aku bukan wanita pertama yang menunggu suaminya turun setelah selesai dengan apa yang mereka lakukan.
Mungkin dua orang yang saling melirik itu juga menungguku menyerah, atau mungkin mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengusirku sebelum aku melakukan hal yang akan membuat hotel mewah ini malu.
Namun, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan kini. Kecuali, tanganku bergetar dalam pangkuan.
"Minumlah!"
Suara itu membuatku menoleh. Namun, aku bahkan tak melihat wajah orang yang meletakan sebotol air mineral di tanganku. Yang ku tahu, tangannya besar dan terlihat bisa diandalkan.
''Apa aku mengucapkan terima kasih?"
Ku rasa iya, karena ia mengangguk dengan senyum yang membuatku bisa melihat baris giginya yang rapi saat ia tersenyum lalu berdiri.
Manusia yang wajahnya jadi tak jelas mondar-mandir silih berganti. Namun, orang yang ku tunggu tetap tidak keluar dari dalam lift yang berkali-kali terbuka dengan bunyi yang sudah ku hafal.
Ding!
Namun, aku terus menunggu. Bahkan saat langit cerah menggelap, aku tetap duduk di tempat sana memegangi botol air mineral yang masih tersegel.
PING!
Suara ponselku terdengar. Dengan mata tak yakin, aku membaca sebaris pesan yang dikirim suamiku.
Yang, aku tidak pulang malam ini. Maaf ya, Ibu mendadak minta aku pulang. Have a sweet dream. Love you.
Tanganku bergetar, tapi jemariku tetap memenceti layar ponsel karena aku tahu suamiku masih memegangi ponselnya. la tahu aku sudah membaca.
Send.
Apa yang ku kirim padanya membuatku merasa kalah seketika. Mataku perih dan panas, penglihatanku jadi berbayang, bibirku bergetar dan aku tak lagi bisa menahan tangisku.
Meski aku masih tidak paham dengan apa yang sedang kurasakan kecuali rasa sakit yang rasanya begitu menyesakkan, aku menangis tanpa peduli sedang di mana diriku.
Aku terisak memegangi ponselku karena balasan yang rasanya begitu tak berjiwa.
"Terima kasih, Sayang."
Di lobi hotel bintang lima, tidak peduli apa yang dipikirkan orang tentangku. Aku tersedu sendirian, aku terisak sendirian, aku menangis sendirian. Aku hanya terus menangis. Namun, tidak ada yang berani mendekatiku. Begitupun satpam juga resepsionis yang sudah berganti.
Mereka hanya saling menatap, berkata dalam bisu dan aku hanya terus menangis sampai air mataku tidak lagi keluar.
Apa yang sudah ku kirim pada suamiku adalah satu kata singkat yang membuatku merasa aku mengizinkannya melukaiku.
Apa yang ku kirim pada suamiku adalah satu kata yang membuatku merasa aku mengizinkannya melakukan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita yang potretnya selalu membuatku merasa kecil.
Apa yang kutangisi adalah karena aku mengirimkan balasan 'ya' untuk suamiku yang kini sedang bersama wanita itu.
Yang kutangisi adalah karena aku seorang istri yang memberi izin suaminya untuk berselingkuh.
"Aku bodoh, bukan? aku bodoh sekali, bukan?"
Namun, apa yang harus kulakukan? Saat yang kumiliki hanya suamiku. Aku adalah anak yang dibuang di tempat sampah saat bayi.
Aku adalah anak yang tumbuh di dalam panti asuhan sampai besar karena tak seorangpun ingin mengadopsiku.
Aku adalah wanita yang tidak diinginkan keluarga suaminya karena statusku tidak jelas.
Aku adalah wanita yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain.
Aku adalah wanita yang tumbuh dengan berbagi segala hal bersama anak lain yang tinggal bersamaku.
"Tapi, membagi suamiku?"
Aku tak pernah berpikir harus menjalani hidup seperti itu. Tak sekalipun. Karena itu, aku hanya bisa menangis sendiri di lobi hotel yang dinginnya menusuki kulit.
Sementara, pandangan dan tatapan baik dari mereka yang hidup ataupun benda mati menilaiku, 'sungguh-sungguh menilai diriku.'
Ku pikir, setelah menangis rasaku akan menjadi ringan. Rasa burukku akan menghilang. Namun, saat tangisku berhenti aku malah seperti orang yang kehilangan tujuan. Meski setelah sadar suamiku tidak akan pernah ku lihat di dalam pintu lift yang terbuka, aku memilih keluar lalu pulang ke rumah. Rumah kami.
Aku masuk ke dalam rumah sepi yang kupandangi dalam bisu.
Tiap sisi yang sudutnya ku hafal terasa asing seketika.
Dan potret itu, potret pernikahan kami seolah mengejekku.
Senyum lelaki yang merangkulku mesra jadi terlihat palsu.
Tanganku yang meraba potret kamibrasanya ingin membanting potret yang kupegangi.
Namun, tanganku yang sudah terangkat tinggi turun dengan sendirinya. Dan, aku berjalan masuk ke dalam kamar yang penuh dengan aroma suamiku.
Ku harap saat esok hari datang, apa yang kurasakan ini hanya mimpi buruk yang akan kutertawakan saat bangun.
Namun, aku tak bisa memejamkan mataku sama sekali sampai ku ambil obat tidur yang ku telan tanpa rasa.
Tidak butuh waktu lama, aku jatuh dalam buaian mimpi buruk yang membuatku gelisah. Namun, aku tak bisa bangun.
Aku tak pernah bangun lagi dari mimpi burukku lalu hidup di dalamnya.
Hari masih begitu gelap saat lelaki yang terbangun dengan tangan melingkar di tubuh seorang wanita tanpa busana memilih turun dari ranjang.
Pakaiannya yang tergeletak di sofa ia pakai cepat, tanpa menyadari wanita yang bangun tanpa sehelai benang pun memperhatikan.
"Apa kamu harus pulang secepat ini?" Suara yang terdengar manja itu membuat lelaki yang sedang mengancingkan kemejanya menoleh.
"Ya."
Jawaban singkat itu membuat wajah cantik nan menggoda sang wanita berubah, "Apa kamu akan terus seperti ini? Pergi setelah kamu puas memakaiku lalu meninggalkanku sendiri?"
"Jangan berkata seperti itu, Nggit! Aku sudah merasa cukup bersalah karena tak bisa berhenti berpikir kenapa kita berakhir seperti ini."
"Kalau begitu, ceraikan istrimu! Semua orang tahu kau mencintaiku, Ken."
"Tapi istriku tidak tahu, dan akan selamanya seperti itu."
"Selamanya? Kau bilang selamanya kita akan terjebak seperti ini? Jika kau berpikir aku mau, maka kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ken!"
"Kau yang memulai semua ini, Anggita! Dan aku yang kalah dengan nafsuku!"
"Apa kau menyesal?"
Ken tidak menjawab, ia menarik napasnya dalam lalu mendekat pada Anggita yang wajahnya siap menangis.
"J-jika rasa bersalahku lebih besar dari nafsuku. Aku tak akan berakhir di sini semalaman menyentuhmu, Nggit."
"Kau curang, Ken! Curang sekali," ucap Anggita memeluk tubuh Ken.
"Ken, katakan padaku dengan jujur! Apa kau pernah mencintai istrimu?"
Ken diam beberapa lama lalu memeluk erat wanita yang tubuhnya dipenuhi dengan kissmark yang ia tinggalkan,
"Aku selalu berusaha mencintainya, Nggit. Setiap hari. Setiap waktu. Aku selalu berusaha!"
Anggita menatap wajah Ken, tidak ada kebohongan di sana, "Kalau begitu, tetaplah seperti itu karena hatimu hanya boleh untukku. Hanya untuk aku!"
Ding!
Lelaki yang akhirnya muncul saat lift terbuka itu menatap sofa di lobi ketika ia melakukan check out. Aroma parfum yang rasanya samar tercium di hidung, membuat manik hitamnya berkeliling.
Matanya mengawasi tiap sudut ruangan dengan dada berdetak kencang.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" ramah resepsionis bertanya pada Ken yang akhirnya fokus kembali. Mulutnya yang terbuka tertutup lagi, ia menelan tanya pada wajah terlatih yang meski terjadi sesuatu akan bersikap tenang.
"Tidak mungkin."
"Maaf, Pak?"
Ken menatap resepsionis yang heran, "Bukan apa-apa, tolong kirim paket breakfast untuk kamar saya! Tidak perlu mengetuk pintu, teman saya pasti masih tidur."
"Baik, Pak," jawab resepsionis yang menunduk saat Ken berjalan meninggalkan lobi, lelaki yang meninggalkan temannya dalam keadaan telanjang dan dipenuhi kissmark. Sedangkan di jari manisnya sendiri melingkar cincin pernikahan yang berkilau setiap terkena cahaya lampu.
Pintu lobi yang terbuka, tidak hanya untuk Ken.
Di saat yang sama, lelaki berperawakan tinggi dengan barisan gigi rapi memberinya senyum ramah juga anggukan. Sementara Ken hanya mengangguk tanpa senyum.
"Apa kau kira lelaki itu yang ditangisi wanita tadi?"
"Yang mana?"
"Huh, jangan pura-pura lupa! Kau ingatkan, wanita yang digosipkan anak-anak sejak siang tadi?"
"Aku hanya bersyukur wanita itu keluar tanpa membuat masalah untuk kita."
"Kau juga berpikir ia akan mengamuk dan mencari suaminya?"
"Siapa yang tidak? la selalu melihat pintu lift yang berbunyi, tapi ujung-ujungnya menangis lalu pergi dengan wajah kalah."
"Hush!"
"Apa sih?"
"Saya tidak tahu kalian terlihat begitu hidup saat bergosip ria. Tapi, bisakah lakukan itu setelah jam kerja kalian usai?"
"Pa-Pak Arga?"
"Ma--maaf, Pak."
Yang dipanggil pak hanya mengangkat tangan dengan senyum yang menunjukkan barisan gigi rapi. Sementara Arga tidak peduli pada pipi-pipi bersemu setelah melihat pesonanya. Dan, ditatapnya sofa dingin yang membisu.
"Apa gadis itu sudah pulang?" ucap Arga begitu pelan lalu berjalan memasuki lift yang tertutup rapat di dini hari yang melelahkan.
"Aku tidak rela kamu bertunangan dengan karyawan rendahan itu," ucap Aghata seraya mendekatiku. "Aku tak harus mendengarkanmu!" "Aku mencintaimu, dan tak ada orang lain yang boleh memilikinya selain aku," ucap Aghata sambil menjelajahi dadaku dengan jarinya yang nakal. "Kamu sakit?" "Aku sakit karena kau membuangku dan lebih memilih dia," tangisnya.
Ellen terbelalak, "YA, REYHAN SAPUTRA! KAMU SUDAH MENYENTUH AKU SEBELUM NIKAH? KURANG AJAR!" teriak Ellen sambil terus menutupi tubuhnya. Ellen menyampahserapahi pria di depannya yang entah telah melakukan apa padanya. Reyhan tertawa gemas, lalu mematikan kompornya dan mendekat pada Ellen. Ellen pun memundurkan langkahnya hingga tubuhnya terbentur tembok. "YA! YA! APA YANG KAMU LAKUKAN?" girang Ellen sambil tetap menyilangkan kedua tangannya. Reyhan menyentuh tengkuk Ellen membuatnya menggeliat geli. Reyhan menyeringai. "Mau, aku contohin?"
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?