Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Terpaksa Kawin Kontrak
Terpaksa Kawin Kontrak

Terpaksa Kawin Kontrak

5.0
67 Bab
2.4K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Aletha seorang gadis biasa yang sangat menyayangi keluarga dan sekaligus menjadi tulang punggung keluarganya harus terjebak kedalam pernikahan di atas kertas karena harus mengganti uang mahar yang diberikan calon suaminya yang tidak sedikit. Aletha membatalkan pernikahan dengan calon suaminya yang bernama Ronald, karena ia baru mengetahui jika Ronald ternyata sudah mempunyai istri. Ia tidak mau dijadikan istri yang kedua oleh Ronald. Sementara uang mahar yang diberikan oleh Ronald sudah habis untuk membayar hutang orang tuanya dan merenovasi rumahnya. Ronald yang tak menerima pembatalan pernikahan secara sepihak oleh Aletha meminta kembali uang mahar yang telah diberikannya. Sampai suatu saat ia bertemu dengan pemilik perusahaan dimana ia bekerja. Aletha bekerja di perusahaan cabang hanya sebagai staf administrasi biasa dan dengan gaji yang standar. Sang presiden direktur yang bernama Athala menawarkan pekerjaan yang diluar kapasitasnya sebagai staf administrasi yaitu sebagai istri di atas kertas dengan bayaran yang fantastis. Satu sisi Aletha tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai permainan. Tapi sisi lain, Aletha sangat membutuhkan uang itu. Jika ia tidak bisa membayar uang mahar yang terlanjur sudah dipakai oleh orang tuanya, mau tak mau Aletha harus menikah dengan Ronald dan menjadi istri ketiganya. Apakah Aletha akan mengambil tawaran yang diberikan oleh Athala sang pemilik perusahaan? Atau ia harus rela menjadi istri keduanya Ronald?

Bab 1 Ditagih Rentenir

"Bu Dewi! Cepat buka pintunya! Aku tau kamu ada di dalam!" teriak seorang wanita yang bertubuh tambun dengan rambut digulung ke atas. Ia adalah seorang rentenir yang akan menagih hutang kepada Dewi.

Saat itu Alletha baru saja pulang dari tempat kerjanya. Ia bekerja disebuah perusahaan cabang milik keluarga Sastrawinata, hanya sebagai staf administrasi biasa. Kepalanya berdenyut nyeri saat ia melihat seseorang yang sedang menggedor-gedor pintu rumahnya. Ia menutup kedua telinganya karena suara rentenir itu benar-benar memekakkan telinganya. Saat tubuhnya sedang lelah dan ingin segera beristirahat di dalam kamarnya yang tidak terlalu luas itu, kini ia harus dihadapkan dengan seseorang yang sedang membuat kerusuhan di depan rumahnya.

Alletha berjalan mendekat ke arah rentenir itu. "Maaf, Bu, ada apa, ya?" tanya Alletha menahan emosi.

Seorang ibu yang bertubuh tambun itu menoleh pada Alletha yang berada dibelakangnya.

"Kamu siapa?" tanyanya dengan nada cukup keras. Ia menatap Alletha dari atas hingga bawah. Alletha merasa kikuk diperhatikan seperti itu. "Oh, kamu Alletha, ya? Putri sulungnya Bu Dewi?" tanyanya kemudian.

Alletha menganggukan kepalanya, "iya. Saya Alletha, Bu. Maaf sebelumnya, Ibu ini siapa, ya, kok gedor-gedor pintu rumah orang dengan keras begitu?"

"Saya kesini mau nagih hutangnya Bu Dewi. Ibu kamu sudah menunggak cicilannya selama tiga bulan!" hardiknya seraya menunjuk tepat di depan wajahku.

"Iya, tapi gak harus gedor-gedor pintu rumah orang juga, Bu!" geram Alletha tak kalah galak dari sang penagih hutang.

"Loh, kenapa jadi kamu yang sewot?" gertaknya sembari berkacak pinggang dan mata yang melotot.

"Ibu gak sopan! Harusnya ibu bisa mengetuk pintu dengan pelan. Kalau pintunya rusak gimana?" teriak Alletha tak mau kalah.

Suara keributan yang ditimbulkan oleh Alletha, membuat Dewi mau tak mau akhirnya keluar rumah juga. Ia tak mau hutang-hutangnya ke rentenir itu diketahui para tetangganya.

"Eh, Bu Retno? Mari masuk Bu!" tutur Dewi dengan basa-basi.

"Gak usah basa-basi, Bu Dewi! Saya kesini mau nagih hutang! Bu Dewi sudah menunggak tiga bulan," cecar Bu Retno sembari menekankan kata 'tiga bulan'.

"Iya, Bu. Mari kita bicarakan di dalam saja. Gak enak dilihat tetangga," bujuk Dewi agar Bu

Retno tak lagi koar-koar di depan rumahnya.

"Udah, gak usah! Biarin aja. Bu Dewi harus membayar cicilannya sekarang juga!" bentak Bu Retno lagi.

Wajah Dewi merah padam menahan malu dan juga marah. Dia merasa kesal karena Bu Retno tidak bisa di ajak kompromi. Dewi langsung menarik paksa tangan Alletha ke dalam rumah. Alletha yang belum siap dengan pergerakan ibunya, ia sampai terhuyung ke depan. Sementara Bu Retno diam di luar menunggu Dewi untuk membayar hutangnya dengan mata mendelik ke arah mereka.

"Apaan sih, Ibu ini, pake tarik-tarik tangan Alletha. Sakit tau!" Alletha melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Dewi. Ia memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit akibat cengkraman tangan Dewi yang cukup keras.

Tio yang sedang berada di dalam kamar terpaksa keluar mendengar keributan yang di timbulkan oleh Alletha dan ibunya. Ia memutar kursi rodanya sendiri menuju ke ruang tengah dimana Alletha dan Dewi berada.

"Ada apa ini? Tangan kamu kenapa, Alletha?" tanya Tio dengan mata membulat melihat raut wajah Alletha yang sedang kesakitan.

"Halah, udah kamu diem aja, Pak!" bentak Dewi seraya mengayunkan tangannya ke udara. "Alletha sekarang ibu minta semua gaji kamu! Hari ini kamu udah gajian 'kan?"

Alletha menautkan kedua alisnya, ia langsung mendekap erat tas kerjanya. Ia tau setelah ini ibunya pasti akan mengambil paksa uangnya. Alletha tidak mau uang yang dengan susah payah ia dapatkan harus rela diberikan kepada ibunya untuk membayar hutangnya. Hutang yang hanya untuk memenuhi gaya hidup ibunya yang tidka jelas. Setiap kali Alletha mendapatkan uang gajinya, ia akan memberikan setengah dari gajinya untuk keperluan rumah kepada Dewi.

"Tapi, Bu, kalau uang ini aku serahin semua ke Ibu, nanti untuk sebulan kedepan kita mau makan apa?" sahut Alletha dengan tetap mempertahankan tasnya.

"Udah, itu sih, gampang! Nanti Ibu akan cari hutang lagi untuk makan kita," tutur Dewi dengan santainya.

"Dewi! Sampai kapan kamu mau terus menerus berhutang? Kasian Alletha, ia bekerja terus menerus hanya untuk membayar hutang-hutangmu yang semakin menumpuk!" Tio merasa geram dengan tingkah istrinya yang hanya bisa berhutang lagi dan lagi. Semua uang yang Dewi pinjam bukan untuk kepentingan keluarganya, tapi untuk memenuhi keinginan Dewi demi menjaga gengsinya. Tio merasa bersalah kepada Alletha karena ia tak bisa mencari nafkah sebagaimana mestinya karena kondisi kakinya yang lumpuh. Kini ia harus menyerahkan beban itu kepada putri sulungnya.

"Sampai kamu bisa bekerja lagi dan mencari uang untuk aku!" ungkap Dewi kepada suaminya sembari menunjuk wajah Tio. Dewi kini mulai berani kepada Tio. Ia merasa jika suaminya semakin hari semakin tidak berguna. Hanya bisa duduk di atas kursi roda saja tanpa bisa melakukan apapun.

"Dewi, kamu!" ucapan Tio terpotong saat Alletha mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Sementara Dewi memutar bola matanya malas. Ia merasa jika putri sulungnya itu selalu berpihak pada ayahnya.

"Ayah tunggu disini aja, ya. Alletha mau meyelesaikan masalah ini dulu."

Alletha mencoba menenangkan Tio, ia tidak mau kondisi ayahnya semakin buruk. Selain lumpuh, Tio pun memiliki penyakit darah tinggi yang sewaktu-waktu bisa mengakibatkan stroke jika tensinya terus meningkat. Alletha menemui ibunya yang masih menunggunya di ruang tengah.

"Alletha! Cepetan! Ibu gak enak sama Bu Retno. Nanti dia teriak-teriak lagi di luar. Bikin malu aja!"

Belum juga Alletha menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan Bu Retno dari luar rumah.

"Bu Dewi! Lama banget di dalamnya!"

Dewi langsung menarik tas milik Alletha dan mengeluarkan amplop coklat yang berisi semua gaji Alletha satu bulan ini. Alletha tak kalah gesit, ia pun langsung menyambar amplop coklat itu demi menyelamatkan uang gajinya. Bukan berarti Alletha pelit, hanya saja jika uang itu benar-benar digunakan Dewi untuk memenuhi kebutuhan rumah dan keluarganya, Alletha tidak masalah. Ia akan dengan ikhlas memberikannya. Sayangnya Dewi menggunakan uang Alletha untuk keinginannya saja seperti untuk shoping dan memenuhi gayanya.

Alletha langsung keluar untuk menemui Bu Retno yang sedari tadi menunggunya. Dewi langsung mengikuti langkah putri sulungnya.

"Nih, Bu. Saya hanya bisa nyicil segini dulu. Nanti sisanya bisa dicicil lagi!" Alletha menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Bu Retno.

"Kok cuma segini, sih?" Bu Retno menautkan kedua alisnya. Menurutnya uang segitu tidak cukup walaupun untuk membayar bunganya saja.

Alletha merasa geram, tapi ia mencoba untuk tidak emosi. "Adanya cuma segini, Bu. Kalau Ibu mau, sialahkan ambil. Kalau tidak, mungkin ibu saya akan lama lagi bayarnya."

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY