Ini pasti bukanlah mimpi karena tangan kanannya yang kokoh terulur perlahan padaku. Ada dorongan yang begitu kuat dari alam bawah sadarku untuk menyambutnya. Seolah-olah kami telah saling mengenal begitu lama.
Dengan penuh keyakinan kujulurkan tangan kananku ke arahnya. Belum sempat kedua tangan kami bersatu ....
"JAUHI PUTRIKUU!!" teriak Arman marah dengan mengacungkan tangan kanannya ke arah laki-laki misterius tadi.
BRAKK !!
Dia terpelanting keras menghantam rak penyimpan buah hingga rak itu patah dan buahnya berhamburan ke lantai.
Kantong belanjaanku terjatuh dan aku tersadar seketika.
Sementara pelanggan lain berteriak dan berhamburan keluar kios.
Kupandangi Arman dengan bingung. Kekuatan apa yang dimiliki ayahku itu hingga dia bisa mengempaskan laki-laki misterius tadi hingga terjatuh.
"Kita harus pergi!" seru Arman panik seraya menarik tanganku.
Kami bergegas lari ke arah pintu keluar, sayangnya laki-laki misterius tadi telah bangun dari tumpukan apel yang berserakan. Lalu ia mengarahkan tangan kanannya ke arah kami.
"FOLLONES!" lengkingnya kesal hingga menjungkalkan aku dan Arman.
Aku mengerang kesakitan. Kakiku terasa kesemutan.
Arman menatapku cemas lalu berdiri pelan. Dengan geram Arman mengayunkan kedua tangannya ke arah penyerang kami yang langsung menghindar dengan cepat. Serangan Arman hanya menghantam jejeran kubis yang hancur berantakan.
Laki-laki misterius itu kini melakukan serangan balik pada Arman yang langsung terdorong jatuh dan menggerung kesakitan. Arman berusaha bangkit lalu menatap liar ke arah laki-laki bermata ungu itu.
"MATI KAUU!" teriak Arman marah seraya mengayunkan kedua tangannya dan mengeluarkan pukulan jarak jauh yang sangat keras hingga tubuh penyerang kami terdorong keras ke belakang dan menghantam dinding kayu, lalu jatuh dan tak bergerak.
Tubuhku bergetar hebat, mulutku terkatup rapat karena terlalu shock untuk berteriak. Apakah ini mimpi. Karena aku bersumpah telah melihat Arman menjatuhkan laki-laki penyerang kami itu hanya dengan mengayunkan kedua tangannya dari jarak jauh. Aku tak pernah mengira jika ayahku memiliki kekuatan terpendam sehebat itu.
"TETAP DI SITU CALISTAA!!" perintah Arman dan bergegas hendak menghampiriku yang masih gemetar ketakutan.
BLARR !!
Suara ledakan keras diiringi angin kencang yang menderu melambungkan tubuh besar Arman hingga berputar-putar dan menembus langit-langit kayu. Mengempaskannya dengan keras kembali ke lantai kayu yang kotor dan penuh serpihan kayu bercampur dengan bahan makanan yang berserakan.
Tubuh Arman seketika tak bergerak. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya.
"AYAAAH!!" Jeritan panjang terlontar dari mulutku.
Dengan segenap kekuatan, aku menghambur ke arah tubuh kaku ayahku yang sangat kusayang itu dan memeluknya erat-erat.
"Bangun, Ayah," isakku hingga airmata membasahi seluruh wajahku.
Mimpi burukku semalam ternyata adalah pertanda. Dan sekarang menjadi kenyataan.
Seorang laki-laki seumuran Arman berdiri dengan kepala tegak menatap bengis ke arah tubuh Arman yang tak bergerak dalam pelukanku.
Laki-laki itu mengenakan pakaian serba hitam dengan jubah panjang berwarna hitam. Di lehernya tergantung kalung perak berinisial huruf capital R. Rambutnya yang berwarna hitam keperakan terlihat mengkilap dengan bentuk wajahnya yang terlihat aneh karena terlalu tirus dengan hidung panjangnya yang agak bengkok.
Kedua matanya menyipit menatapku yang tengah menangisi jasad ayahku.
"BANGUNN!" bentaknya kasar. Nada suaranya sedikit bernada berat.
Aku tak mempedulikannya karena tubuhku terasa lemas dan tak berdaya.
"Kubilang bangun!!" gelegarnya marah seraya menyeret tanganku dengan kasar.
Kupandangi si hidung bengkok tersebut dengan penuh amarah dan kebencian lalu meludahinya.
Dia menamparku dengan keras.
"Biar aku saja yang mengurusnya Rufus," tawar laki-laki misterius bermata ungu tua tadi mencoba menenangkan suasana dengan menarik tanganku lalu menggenggam tanganku erat. Seolah ingin melindungiku dari kekesalan laki-laki yang dipanggil Rufus tadi.
Kulirik si mata ungu dengan rambut hitam lurusnya yang sebahu itu dengan bingung karena berusaha melindungiku. Garis wajahnya terlihat tegas dan tampan, sayangnya sorot mata ungu tuanya terlihat sedih dan muram.
Rufus menatap si mata ungu lalu mengalihkan pandangannya ke arahku dengan raut muka merendahkan. "Jangan biarkan wajah cantiknya menipumu, Readick!"
Si mata ungu terlihat canggung.
"Aku tidak butuh pertolonganmu!!" ucapku marah pada si mata ungu yang dipanggil Readick.
"Sebaiknya kau tutup mulutmu jika kau masih ingin hidup. Kau akan menyesal jika membuatnya benar-benar murka," bisiknya kaku setengah membujukku.
Kudorong tubuh Readick dengan sekuat tenaga bagai kucing liar yang terluka.
"PEMBUNUH!" teriakku marah pada Rufus dan menatapnya dengan garang.
Kedua tangan Readick dengan cepat kembali menarik tubuh rapuhku dan mencengkram dengan kasar. "Gadis bodoh! Aku berusaha menyelamatkan nasibmu, ok!" ujarnya kesal seraya menatapku jengkel.
Rufus menoleh sinis padaku. "Kekuatan ayahmu sudah berkarat karena sibuk mengurus anak tak berguna sepertimu. Kaulah yang membunuh ayahmu sendiri!" kekehnya senang seraya menggoyangkan kaki kanannya yang tengah menginjak tubuh Arman yang terbaring kaku di lantai.
"Jangan sentuh dia!" raungku marah.
Tawa Rufus semakin kencang dan tak mempedulikan ucapanku.
Tiba-tiba saja hawa dingin datang bersamaan dengan kabut tipis yang perlahan mulai memenuhi ruangan ini. Tubuhku menggigil kedinginan.
Rufus menyipitkan pandangannya. Hidungnya yang bengkok tertarik ke atas mengikuti keningnya yang berkerut. Kali ini wajahnya terlihat sangat terganggu.
"Sepertinya, kita kedatangan teman dari Lembah Crystal, Tristan."
Si mata ungu yang memegangiku ternyata bernama Tristan Readick. Dan raut wajah Tristan kini terlihat waspada.
"LEPASKAN DIA RUFUS!!" suara merdu seorang wanita terdengar lantang dalam kabut yang mulai memenuhi ruangan. Kedua mataku berusaha mencari sumber suara. Namun, sia-sia karena kabut tebal telah menutupi pandanganku.
"Menyedihkan sekali! Ternyata kalian masih saja menggunakan cara-cara pengecut seperti ini dalam pertarungan!" teriak Rufus meremehkan.
Seorang wanita berambut ikal panjang yang berwarna pirang berdiri tegak di depan kami dan menatap lurus ke arah Rufus. Sorot matanya terlihat galak tanpa kompromi.
"Brisa ...," desis Tristan pada Rufus.
Rufus menoleh ke arah Brisa lalu menyeringai bengis.
"FLASHFLARE!" teriak Rufus seraya melontarkan lidah api yang berkobar keluar tiba-tiba dari kedua tangannya, menerjang Brisa.
Dengan lincah Brisa menghindar sambil meneriakkan mantra balasan.
"ICESSENDRIOS!!" teriak Brisa mengarahkan gundukan es yang tinggi dari kedua tangannya sebagai benteng pertahanan diri.
"TRISTANN!" teriak Rufus geram ke arah si mata ungu yang tengah memegangiku.
"Bawa anak itu!" perintahnya seraya mengibaskan jubah panjangnya hingga membuat pusaran angin yang besar lalu menghilang dalam pusaran angin kencang tersebut dan membuat barang-barang di sekelilingnya ikut beterbangan.
"Jangan takut," bisik Tristan seraya menarik tanganku untuk memasuki pusaran lubang hitam yang dibuat Rufus.
"TIDAK SECEPAT ITU, TEMAN!" teriak sosok tinggi langsing yang melompat dengan lincah di hadapanku dan Tristan seraya mengepalkan lengan kanannya tepat ke arah wajah Tristan.
Tristan terhuyung. Pegangan tangannya terlepas dariku lalu kami berdua kehilangan keseimbangan dan jatuh bersamaan.
Samar-samar kulihat kilau anting perak di kuping kiri wajah si penolongku di kencangnya arus pusaran angin yang membuat semua barang-barang di sekeliling kami melayang-layang.
Wajah yang sempurna itu tersenyum puas begitu melihat Tristan yang terjatuh di sampingku. Lalu pusaran angin buatan Rufus itu perlahan-lahan menutup dan menghilang.
Laki-laki beranting perak mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Namun, dengan cepat Tristan bangkit dan menatap marah padanya.
"DIZZANTE!!" erang Tristan marah seraya menyerang balik.
Dari kedua telapak tangannya keluar asap hitam yang menggulung tubuh pangeran penolongku itu hingga tubuhnya melayang dan berputar-putar.
Wajah tampan laki-laki beranting perak menjadi pucat. Kedua matanya menatap kosong seolah terbius.
"NESS!" teriak Brisa cemas.
Lalu Brisa berlari mendekati laki-laki beranting perak yang dipanggil Ness itu.
"DARREN! Tangkap Ness!" perintah Brisa pada teman satunya yang berambut hitam dengan tubuhnya yang berotot.
"ICESSENDRIOS!" seru Brisa marah pada Tristan sambil melontarkan hujaman batu es yang keluar dari telapak tangannya.
Tubuh Tristan terpelanting menghantam jendela kaca hingga pecah berantakan terkena serangan balasan dari Brisa.
Lalu Darren menadahkan kedua tangan kekarnya untuk menangkap Ness yang nyaris terempas ke lantai.
Dengan cepat meski sedikit payah Tristan berbisik merapalkan mantra.
Dalam sekelebat mata tubuh kokoh Tristan berputar dan menghilang bersamaan dengan kepulan asap hitam yang keluar dari sekujur tubuhnya.
Brisa segera melompat mencari perlindungan di balik rak-rak yang letaknya sudah tak karuan.
Tiba-tiba kepalaku menjadi pusing. Ruangan terasa berputar. Dan aku pun jatuh tak sadarkan diri.