Bibirnya sempat menyentuh bibirku, cepat, dingin, tanpa rasa. Tangannya menjelajah tubuhku seperti sedang menyelesaikan sesuatu, bukan menikmati. Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam, mencoba bertahan. Hatiku kosong, tapi aku tahu harus tetap terlihat hidup. Aku harus membuatnya merasa bahwa ia masih laki-laki yang hebat.
Tanganku naik ke punggungnya, menggeliat sedikit untuk mendukung sandiwara ini.
"Ahh... iya... Leo... pelan sedikit..." desahku lembut, membuat diriku terdengar lemas.
"Uhh... ahhh... di situ... iya..." ucapku lagi, mencoba seolah menikmati, padahal pikiranku entah di mana.
Gerakannya makin cepat, makin kasar, tanpa irama, hanya nafsu yang meledak-ledak. Napasnya menghantam telingaku, berat dan memaksa. Aku tahu itu tanda-tandanya. Dia akan selesai sebentar lagi. Dan benar saja, hanya butuh beberapa hentakan terakhir, tubuhnya menegang, dan semuanya selesai. Begitu saja.
Aku masih menahan napas pura-pura ketika dia sudah menarik tubuhnya dariku. Aku tetap terbaring, tubuhku masih terbuka sebagian, kehangatan itu pun menguap lebih cepat dari yang kuduga. Saat kubuka mata, yang kulihat hanya punggung Leo yang menjauh dalam diam.
"Leo... kamu mau ke mana?" tanyaku pelan. Suaraku hampir tak terdengar, seolah hanya satu hela napas yang putus di udara. Sebagian dari diriku masih berharap dia menoleh, walau hanya sebentar.
Namun dia tetap diam. Ia meraih celananya dari kursi, berdiri, lalu menjawab tanpa menatapku.
"Wanita mandul tidak perlu tahu."
Aku tak bisa berkata apa-apa. Kata-kata itu menghantam dadaku seperti batu yang dilempar keras-keras ke kaca rapuh. Tangan yang tadi kugunakan untuk menggenggam selimut kini jatuh lemas. Semua desahan yang baru saja kulontarkan, semua rintihan yang kupaksakan, mendadak terasa kotor.
Aku menunduk, menggigit bibir bawahku, menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata. Tubuhku masih basah, bukan karena kenikmatan, tapi karena terlalu sering dipaksa percaya bahwa kebohongan ini harus dinikmati.
Aku menarik selimut dan membungkus tubuhku rapat-rapat, hanya ingin menyembunyikan apa pun yang tersisa dariku malam ini. Leo sudah keluar dari kamar tanpa menoleh sedikit pun. Yang tertinggal hanyalah sisa napas yang berat, bukan karena gairah, tapi karena luka yang kembali terbuka.
Tempat tidur ini masih hangat, tapi bagiku rasanya semakin dingin.
Aku menatap langit-langit kamar, membiarkan sepi mengendap di dalam tubuhku. Di balik selimut yang menutupi tubuh telanjangku, suara detik jam terdengar pelan, mengisi ruang yang kosong dalam hatiku. Dalam diam, aku bicara pada diriku sendiri. Ini bukan cinta. Ini hanya sisa.
Namaku Ayu Setianingrum. Usia dua puluh tiga tahun. Aku menikah dengan Leo, pria yang tiga tahun lebih tua dariku. Kami menikah tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku yakin cinta cukup untuk menjaga segalanya tetap utuh.
Leo dulu adalah pria yang hangat. Ia mencium keningku setiap pagi, memelukku diam-diam dari belakang saat aku memasak, dan selalu menanyakan kabarku meski hari sedang sibuk. Pelukannya pernah menjadi tempat paling aman di dunia. Senyumnya mampu meredakan semua yang gelisah dalam hidupku.
Tapi semuanya berubah perlahan, bukan karena orang ketiga, bukan pula karena uang. Sumbernya lebih sunyi dari itu, lebih menyakitkan, karena semua berawal dari satu hal yang tak bisa kusembunyikan darinya. Aku belum juga hamil.
Tahun pertama kami masih bisa tertawa. Setiap hasil test pack yang menunjukkan satu garis, Leo memelukku dan berkata, belum rezeki. Tapi lama-kelamaan, kalimat itu tidak pernah terdengar lagi. Yang tersisa hanya diam, jarak, dan tatapan kosong.
Kini, aku tahu. Di matanya, aku bukan lagi seorang istri. Aku hanya beban, sesuatu yang menghalangi keinginannya untuk menjadi ayah. Ia menyebutku wanita mandul, dan aku tak bisa membantah, karena nyatanya memang belum ada kehidupan yang tumbuh dari rahimku.
Tapi yang paling menyakitkan bukan ucapan itu. Yang menghancurkan adalah kenyataan bahwa aku tak tahu kapan tepatnya Leo berhenti mencintaiku. Atau mungkin, aku hanya terlalu lambat menyadari bahwa cintanya sudah lebih dulu pergi.
Aku tetap duduk di atas ranjang, memeluk lutut dalam diam. Keheningan menelanku bulat-bulat. Lama-kelamaan, selimut ini terasa seperti perangkap, bukan pelindung.
Akhirnya aku berdiri. Tubuhku dingin, meski udara kamar tak sedingin hati yang kutahan. Aku mengenakan daster tipis dari kursi tanpa repot memakai dalaman. Tak ada yang peduli pada bentuk tubuhku lagi, bahkan aku sendiri.
Dengan langkah pelan, aku berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga satu demi satu. Rumah ini terlalu sepi, hanya diterangi cahaya remang dari ruang tengah dan sedikit nyala lampu dapur yang belum dipadamkan. Tenggorokanku kering. Aku butuh air. Mungkin seteguk bisa sedikit meringankan isi kepala yang kacau.
Tapi saat aku sampai di ambang pintu dapur, langkahku terhenti.
Di sana, berdiri seorang pria membelakangiku. Tubuhnya tinggi dan kekar, hanya mengenakan celana panjang tanpa atasan. Punggungnya lebar, otot-ototnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu dapur yang kuning pucat. Ia sedang meneguk air langsung dari botol, tanpa menyadari bahwa aku ada di belakangnya.
Aku terpaku. Jantungku langsung berdetak lebih cepat.
Siapa dia? Kenapa ada pria asing di rumahku? Tengah malam, tanpa baju, dan seolah begitu nyaman di tempat ini.
Tanganku refleks menggenggam ujung dasterku. Aku tidak tahu harus merasa takut, marah, atau justru... penasaran. Aku hanya berdiri diam, memperhatikan punggungnya yang lebar dan tubuhnya yang berotot, seperti seseorang yang terbiasa menjaga fisiknya dengan serius.
Lalu pria itu menurunkan botol air dari mulutnya. Ia menghela napas pelan, lalu menoleh.
Saat wajahnya terlihat, aku hanya bisa mematung. Tidak terkejut. Tidak panik. Hanya diam. Dan dalam kepala yang tiba-tiba hening, aku bergumam pada diriku sendiri.
Pria bertubuh indah itu... ayah mertuaku.