/0/12671/coverbig.jpg?v=375c18c57597d6368c6fa370195bcc84)
Malam itu, Mbah Karso harus menerima kenyataan pahit bahwa Mawar, cucu semata wayangnya jatuh dari tebing dan meninggal tepat di depan matanya. Gadis bermata merah yang oleh warga LEDOKOMBO sering disebut sebagai Anak Iblis itu difitnah hingga dihabisi oleh beberapa warga. Mbah Karso yang sakit hati, berniat membalaskan perlakuan keji para warga terhadap cucunya. Dia akan membangkitkan dia yang telah lama lelap, wanita Iblis bernama Nyai Larapati untuk membantu aksi balas dendamnya. Raga Mawar yang telah mati dipaksa bangkit, kesumat ini harus dituntaskan, tak peduli dengan cara apapun itu.
Seorang gadis muda bermayang panjang berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sesekali, dia menggigit kukunya hanya demi menyalurkan kegusarannya. "Dimana Si Mbah? ini sudah hampir tengah malam, kenapa Si Mbah belum pulang juga?" gumamnya bermonolog.
Dia membuka jendela gedeknya lantas melongokkan kepalanya keluar. "Gerhana bulan merah?" gumamnya lagi seraya menatap langit malam. Angin berhembus kencang, membelai mesra wajah ayu serta rambut hitam legamnya yang tergerai. Dia memejamkan mata, merasakan kesejukan yang membawa kedamaian sejenak.
"Ah, ndak ilok (tak baik) buka jendela malam-malam, nanti yang ndak di undang malah datang," gumamnya lirih sembari menarik kembali daun jendelanya, lantas menutupnya rapat. Lelah menunggu, dia memasuki kamarnya, merebahkan tubuh rampingnya di atas amben.
Dia menatap langit-langit ruangan, cukup lama hingga akhirnya pasang matanya pejam. Dia, gadis yang paling dibenci di desa telah terlelap.
**Tok Tok Tok**
Suara ketukan terdengar sebanyak tiga kali pada daun pintu kayu di depan sana. Gadis yang baru saja terlelap itu lantas membuka mata. Dia menggelung rambut panjangnya sebelum menjejakkan pasang kaki mulusnya ke tanah.
"Ah, sudah datang toh?" Seru Mawar yang kemudian beranjak dari amben bambu beralaskan tikar di kamarnya, lalu berjalan cepat menuju pintu. Sejak tadi, dia memang cemas menunggu satu-satunya orang yang dia punya.
**Krieeeettt**
Suara deritan pintu lapuk itu terdengar nyaring, seiring dengan pintu yang terbuka semakin lebar. Dara berusia delapan belas tahun itu tersenyum lebar, namun senyumnya memudar cepat saat menyadari yang datang bukanlah Si Mbahnya, melainkan beberapa orang laki-laki yang kini berdiri angkuh menatapnya.
"A-ada apa ini? Apa sampean-sampean datang mencari Si Mbah?" Tanya Mawar terbata-bata. Para lelaki itu diam tak menyahut, sehingga Mawar kembali membuka suara.
"Si Mbah belum datang, tadi pamitnya mau ke desa sebelah," imbuhnya.
"Membersihkan rumah dan pekarangan Juragan Sutris, aku benar kan?" sambung lelaki jangkung yang sejak tadi menatap dengan tatapan tak suka.
"Be-benar," Mawar membenarkan semuanya.
"Kami tau itu, itu sebabnya kami datang sekarang," ujar yang lainnya sambil melangkah mendekat.
"Ma-mau apa kalian? Jangan dekat-dekat!" seru Mawar.
"Atau apa!? Koe mau mengutuk kami, hah!? Cuih! Doamu ndak akan pernah di dengar," sentak lelaki berwajah garang itu.
Mawar mulai merasa terancam, dia berbalik dan berlari masuk, tangan putih mulusnya secepat kilat meraih daun pintu lantas menutupnya. Namun belum juga pintu itu tertutup dengan benar, seseorang mendorongnya dengan kuat. Mawar jatuh terjengkang, namun segera menguasai diri dan merangkak menjauh.
Dia bangkit, berlari melalui pintu belakang, menghilang diantara tanaman singkong yang tumbuh subur di belakang rumah. Gadis ayu itu berlari sambil sesekali melihat ke belakang, memastikan mereka tak lagi mengejarnya.
"Mbah, sampean dimana? Tulung, aku wedi Mbah," lirih Mawar terisak. Dia terus berlari mengikuti kemana langkah kaki membawanya. Harapannya hanya satu, bertemu dengan Si Mbahnya di jalan nanti. Dia tak ingin pulang sendirian karena kali ini, dia mulai merasakan bahwa kebencian warga jadi semakin liar. Jika dulu mereka hanya sekedar membenci, tampaknya sekarang mereka mulai berani menyakiti.
Mawar merasakan nafasnya mulai terengah sesak, dia memutuskan untuk beristirahat sebentar di balik pohon besar. Sejenak, dia berusaha menetralkan degup jantung yang tak terkendali.
"Dimana perempuan Iblis itu!? Aku yakin tadi dia berlari ke arah sini! Cepat cari dia, mata merahnya itu pasti tak cukup baik saat melihat apalagi dalam gelap!" seru seorang pria berbadan tinggi besar sambil berkacak pinggang.
"Huft.. huft.. kami sudah kelelahan, Kang! Lebih baik istirahat dulu," Celetuk salah satu lelaki yang turut andil dalam pengejaran malam ini.
"Ojo membantah! Cepat cari, kalian berpencar saja! Kalian mau, apa yang diceritakan Eyang terulang lagi!? Wajahnya mirip dengan makhluk itu! Bisa jadi, dia sebenarnya bukan manusia!" Serunya lagi. Para lelaki itu menyebar, mencari kesana dan kemari dalam gelap, hanya berbekalkan obor di tangan masing-masing.
Mawar yang mendengar suara-suara itu lantas merangkak ke balik semak belukar. Gadis ayu bermata merah menyala itu bersembunyi dengan tangan membekap mulutnya. Degup jantungnya menggila hingga dia sendiri mampu mendengarnya dengan jelas.
"Gusti, selamatkan aku," batinnya Mawar, dara jelita berkulit putih pucat, dengan pasang mata berwarna merah menyala. Warga desa LEDOKOMBO seringkali menyebut Mawar dengan sebutan, "Anak Iblis".
**Ssssst.. Ssssst...** Suara desisan terdengar jelas dalam rungunya. Mata Mawar membelalak kala merasakan sesuatu meliuk melingkari betisnya. Dia menajamkan penglihatannya dalam remang. "Akhh!" Dia memekik tertahan tanpa sengaja. Tangannya meraih kepala ular yang sudah bersiap mematuknya, dia menarik lantas melemparkannya menjauh.
Pekikan tertahan Mawar sampai pada telinga mereka, para lelaki yang mencarinya itu lantas menghentikan langkah, menyeringai jahat lalu berbalik mendekati semak yang barusan luput dari pengawasan.
Mawar berusaha menetralkan degup jantungnya yang menggila, bagai genderang perang. "Syukurlah, sepertinya mereka sudah pergi," gumamnya. Baru saja dia merasa aman, sebuah tangan terjulur membekap mulutnya.
"Uhmmm! Uhmmm!" Mawar meronta-ronta saat tubuh rampingnya diseret keluar dari balik semak-semak.
"Krakk!"
"Aaaawwww! Perempuan setan!! beraninya menggigitku!" Umpat lelaki yang barusan membekap mulutnya. Mawar terlepas dari bekapan, dia kembali berlari dengan kaki telanjang. Jalanan yang gelap nan becek, akar-akar yang menjulur keluar dari tanah sama sekali tak mendukung pelariannya.
**Jleb!!** "Aaaakhhh! Bruagh!"
Sebuah pecahan beling menembus telapak kaki Mawar, membuatnya jatuh tersungkur. Dia meringis, mengaduh. "Ssssshhh.. Gusti Allah, ini sakit sekali," lirihnya. Dia duduk, lalu meraba telapak kakinya dengan tangan yang gemetaran. Bibir bawahnya dia gigit kuat, sementara tangannya menyentak kasar pecahan beling yang berhasil melukai kakinya.
"Uuuhhmpppp!!! Hiks hiks hiks!" Teriakannya tertahan, namun air matanya lolos tanpa bisa dihalau.
"Ketemu!" suara itu mengagetkan. Mawar menggerakkan lehernya yang terasa kaku, melihat siapa yang bicara. Dia kembali gemetaran, beringsut mundur, namun tangan itu segera menjambak rambut panjangnya.
"Langsung kita habisi, atau..." Tanya seorang yang kini sedang menyoroti wajah Mawar dengan obor. Para lelaki itu saling pandang dengan seringai yang mengerikan.
"Kita beruntung, mereka menyerahkan tugas ini pada kita! Jadi kita bisa bebas mau lakukan apa saja, iya toh?" seru si jangkung. Tangan-tangan kekar itu mulai menyeret Mawar dengan kasar, membawanya paksa ke balik semak lantas mulai menggagahinya secara bergantian. Mawar hanya bisa meronta, namun tenaganya tak cukup kuat melawan delapan orang itu.
Teriakan demi teriakan, umpatan demi umpatan, juga sumpah serapah dan kutukan lolos dari mulut Mawar. Hingga di akhir, saat rasa sakit sudah sampai di ubun-ubun, dendam menggelegak, Mawar menyumpahi dengan lantang.
"Lepas! Biadab!! Cuih!!" Mawar meronta sekuat tenaga, dia juga meludahi wajah pria bajingan itu.
"B*jingan koe! Setan!!" umpat Mawar lagi.
"Plakkkk!!! Menengo (diamlah) anak setan!" sebuah tamparan melayang di pipi mulus Mawar, membuatnya berkunang-kunang. Telinganya berdenging kuat.
Amarah Mawar kian membuncah, dia tak dapat lagi menahan dirinya untuk melayangkan kalimat kutukan. Dengan seluruh sisa tenaganya, dia berteriak nyaring sembari menatap langit.
**Seda!!!** seru Mawar melengking disela tubuhnya yang sedang dihentak-hentak.
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?