Ketika Cinta Mati, Dendam Dimulai
Di hari mereka menguburkan putraku yang berusia empat tahun, Leo, yang tewas karena tabrak lari, si pengemudi, Karin Gunawan, muncul di makamnya. Dia tersenyum, menjatuhkan mainan favorit Leo ke dalam peti matinya yang terbuka, dan menyebutnya "anak kecil yang ceroboh."
Suamiku, David Adiwijaya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta, pilar kekuatan kota ini, hanya berdiri di sana. Diam. Aku, seorang jurnalis investigasi, tahu aku akan menemukan keadilan. Aku punya bukti, saksi, dan rekam jejak pemenang Anugerah Adinegoro.
Tapi Karin Gunawan berbeda. Hakim, yang berutang budi pada ayahnya yang berkuasa, menolak semuanya. Dia bebas. Lalu, petugas pengadilan memanggil namaku. "Eva Anindita, Anda ditahan." Suamiku sendiri, ayah Leo, menuntutku atas kelalaian kriminal. Dia memutarbalikkan dukaku, pencarianku yang panik akan kebenaran, menjadi obsesi paranoid.
Sahabatku, Shinta, bersaksi melawanku, mengklaim aku tidak stabil. Juri menyatakan aku bersalah. Tiga tahun di penjara dengan keamanan maksimum. Karena menjadi seorang ibu yang berduka. Karena kehilangan putraku. Aku kehilangan satu anak lagi di penjara, sebuah rahasia yang kukubur dalam-dalam.
Kenapa? Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia mengkhianatiku?
Di hari aku dibebaskan, aku menemukannya di makam Leo, bersama Karin dan putra mereka. "Papa, apa kita bisa beli es krim sekarang?" Karin berkata manja, "Kita harus menyapa kakakmu dulu." Duniaku hancur berkeping-keping. Dia tidak hanya menjebakku; dia telah menggantikanku. Dia telah menggantikan putra kami.