Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Lorong Hitam Kenikmatan
Lorong Hitam Kenikmatan

Lorong Hitam Kenikmatan

5.0
225 Bab
48.5K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”

Bab 1 Part 1. Awall Mula

“Horeeeee,,, akhirnyaaaaa…”

Seorang pemuda melompat kegirangan sambil berteriak, membuat orang-orang yang ada di sekitarnya terkejut. Dia bahkan membuat kursi yang tadi dia duduki terjatuh ke belakang. Tapi sesaat kemudian, pemuda itu seperti sadar akan sesuatu, dan ekspresi wajahnya langsung berubah.

“Jancuk. Wong edan. Ngapain kamu teriak gitu?” gerutu seseorang yang duduk di samping pemuda itu.

Tak langsung menjawab, pemuda itu menarik kursinya yang tadi terjatuh, meletakkan lagi di posisinya, kemudian dia duduk.

“Hehe, sorry Gas, nggak sadar. Aku lagi seneng soalnya.”

“Seneng sih seneng, tapi nggak usah sampai kayak gitu juga kali.”

Orang yang merupakan sahabat dari pemuda itu masih terus menggerutu. Dia juga merasa malu karena dilihat orang-orang yang ada di kafe ini. Suasana kafe yang tadinya tenang tiba-tiba heboh karena teriakan dan lompatan dari pemuda itu. Bukan cuma pengunjung saja, tapi para karyawan kafe juga terkejut dan ikut-ikutan melihat ke arah mereka.

“Emang ada apa sih Ris? Sampai kamu teriak gitu?”

“Ini lho Gas, aku baru dapat email dari PT Dwiputra, aku keterima kerja disana.”

Pemuda yang tadi berteriak, Haris, menunjukkan handphonenya kepada sahabatnya yang sempat kesal, Bagas.

“Serius? Dwiputra? Wah mantap Ris, selamat ya.”

“Hehe iya Gas, makasih ya. Beruntung banget aku bisa keterima disana.”

Haris sebenarnya merasa kurang enak memberitahukan ini kepada Bagas. Karena pada awalnya, justru Bagas yang sangat ingin masuk ke perusahaan itu. Haris tadinya sudah mau memilih perusahaan lain, karena kebetulan tes yang diikuti sudah masuk tahap akhir, dan dia mau fokus, tidak mau mendaftar ke tempat lain lagi. Tapi kemudian Bagas yang memaksanya untuk mendaftar.

Pada akhirnya nasib berkata lain. Haris gagal dalam tes akhir yang diikutinya, tapi malah lolos di tes perusahaan ini. Sedangkan Bagas, yang dari awal mengajak Haris, malah sudah gagal di tes tahap awal. Tadinya karena Bagas sudah gagal, Haris juga sudah malas melanjutkan tesnya, tapi lagi-lagi Bagas memaksanya, dan akhirnya sekarang dia benar-benar diterima di perusahaan itu. Apalagi Haris tadi sempat melihat ekspresi lain dari Bagas, mungkin rasa kecewa, atau iri, tapi setelah itu Bagas bersikap wajar saja.

“Terus, kapan mulai kerjanya Ris?”

“Minggu depan sih berangkatnya, tanda tangan kontrak. Tapi mungkin juga langsung masuk masa training.”

“Oh gitu. Trainingnya berapa lama?”

“Katanya sih paling cepet 6 bulan, tapi bisa lebih juga, tergantung sama progresnya.”

“Ya bagus deh kalau gitu. Moga-moga kamu cukup 6 bulan aja trainingnya, terus langsung diangkat jadi karyawan tetap.”

“Amiiin. Makasih ya Gas. Sayang kita nggak bisa lolos bareng-bareng.”

“Iya sih, aku udah gagal di psikotes awal. Tapi nggak papa, aku ikut seneng kok kalau kamu lolos.”

Haris tersenyum mendengar ucapan Bagas. Dia tahu, meskipun berkata seperti itu, Bagas pasti menyimpan kekecewaan.

“Lha terus, tesmu sendiri gimana Gas yang sekarang?”

“Ini masih nunggu pengumuman, kalau lolos tinggal tes kesehatan aja sih.”

“Ya moga-moga kamu juga lolos Gas.”

“Iya, amiin..”

“Ya udah, kalau gitu kita cabut yuk.”

“Lah, mau kemana? Baru juga bentar disini.”

“Kita ke sport center.”

“Weh, mau ngapain Ris?”

“Mau beli jersey sama sepatu bola nih.”

“Lah, tumben amat? Kamu bukannya nggak suka bola ya?”

“Lha ya emang bukan buat aku. Buat kamu.”

“Kok buat aku?”

“Lha kan aku udah janji waktu itu, masak lupa?”

“Oh iya. Itu beneran ya? Kirain cuma bercanda doang, haha.”

“Yaa beneran lah, udah kadung janji. Yuk cabut.”

“Hayuk dah, lumayan dapet jersey sama sepatu gratis, haha.”

Sekarang giliran Bagas yang kegirangan. Haris memang pernah bilang, kalau dia lolos dan diterima kerja di PT Dwiputra, dia akan membelikan Bagas jersey bola tim kesayangannya, juga sepatu bola atau futsal. Saat itu Bagas menganggap Haris hanya bercanda. Harispun sebenarnya tak terlalu serius dengan ucapannya, karena dia pikir tidak akan diterima di perusahaan besar itu, tapi nyatanya dia diterima, jadi harus memenuhi janjinya.

+++

===

+++​

Sudah seminggu berlalu sejak Haris membuat kehebohan di kafe saat dia bersama Bagas. Sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, kota tempat kantor pusat dari perusahaan yang sudah menerimanya. Masih terlalu pagi, matahari juga belum terbit, tapi Haris sudah tak bisa lagi memejamkan matanya. Dari kaca jendela kereta ekonomi yang dinaiki, Haris hanya bisa melihat kegelapan di luar. Sesekali cahaya lampu dari kejauhan nampak dari pemukiman yang dilewati kereta itu.

Rasa kantuk Haris sudah hilang, padahal sejak berangkat tadi dia juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan karena kondisinya yang kurang nyaman, tapi karena dia terlalu bersemangat, perasaannya sedang sangat bahagia. Dia ingin cepat-cepat sampai di Jakarta, kota yang untuk beberapa bulan kedepan akan dia tinggali. Kalau sebelumnya dia ke Jakarta hanya untuk main-main atau liburan saja, kali ini untuk bekerja.

Haris memang sudah beberapa kali ke Jakarta. Yang paling sering adalah untuk mengunjungi seseorang. Seseorang yang dulu pernah mengisi hatinya, tapi sejak setahun belakangan ini menghilang begitu saja, seperti ditelan bumi. Orang yang pernah begitu dominan mengisi hari-harinya, lalu meninggalkan ruang hampa di dalam hatinya, bahkan sampai sekarang.

‘Huft, apa nanti di Jakarta bakal ketemu dia ya? Gimana kabarnya dia sekarang? Kalau misal nanti ketemu, aku harus gimana ya?’

Ingatannya kepada seorang gadis yang dulu pernah mengisi hari dan hatinya itu, tiba-tiba membuat kegembiraannya hilang. Dia jadi teringat lagi, saat pertemuan terakhir dengan gadis itu. Waktu itu, dia mengunjunginya di Jakarta, karena kebetulan gadis itu sudah bekerja disana. Seperti sebelum-sebelumnya, setiap Haris mengunjunginya, mereka selalu menginap di hotel. Gadis itu tak pernah mau membawa Haris ke kostnya, karena katanya tidak boleh membawa cowok masuk. Padahal Haris hanya ingin tahu saja, tapi gadis itu tetap menolak. Akhirnya Haris tak lagi mempermasalahkan, karena yang penting buatnya bisa bertemu dan melepas kangen dengan gadis itu.

Tapi setelah pertemuan terakhirnya itu, saat Haris pulang, itulah saat terakhir mereka bertemu. Gadis itu masih sempat mengantarnya ke stasiun. Haris juga sempat mengabari saat keretanya mulai berjalan, dan gadis itu membalasnya. Tapi itulah pesan terakhir yang didapat oleh Haris. Setelah itu, Haris mengabarinya kalau dia sudah sampai, tapi pesannya tidak terkirim. Haris mencoba menelpon, tapi nomernya tidak aktif. Awalnya Haris masih berpikiran positif, mungkin memang handphone gadis itu sedang mati. Tapi setelah beberapa jam kemudian, Haris mencoba menghubungi lagi, tetap tidak bisa. Haris mulai khawatir, jangan-jangan terjadi sesuatu kepada gadis itu. Diapun mencoba mengecek media sosial gadis itu, dan betapa terkejutnya Haris, ternyata semua media sosialnya sudah tidak ada, dinonaktifkan semuanya.

Sejak saat itulah, Haris tak tahu lagi kabar gadis itu. Dia pernah mencoba mencari gadis itu ke Jakarta, tapi begitu sampai di Jakarta, Haris menyadari sesuatu. Dia tak tahu dimana kost tempat gadis itu tinggal. Haris mencoba mencari ke kantor gadis itu, tapi ternyata gadis itu sudah lebih dari sebulan mengundurkan diri. Itu artinya, saat pertemuan terakhir mereka, sebenarnya gadis itu sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Haris makin kebingungan, karena dia tak tahu lagi harus mencari kemana.

‘Ah sudahlah, kalau jodoh pasti ketemu lagi.’

Cukup lama Haris melamun, tanpa disadarinya kondisi di luar kereta sudah mulai terang. Dia melihat jam tangannya, sebentar lagi kereta yang dia naiki akan sampai di stasiun yang menjadi tujuannya. Hari ini dia akan dijemput oleh salah satu saudara jauhnya. Mereka sudah lama tidak bertemu, tapi untung Haris masih menyimpan nomer kontak saudaranya itu. Haris melihat orang-orang juga sudah mulai bersiap, diapun ikut mempersiapkan dirinya.

Sekitar 20 menit kemudian, kereta itu mulai masuk ke area stasiun. Haris sudah berdiri membawa tasnya, bersama dengan para penumpang lainnya. Begitu kereta berhenti, mereka turun dengan tertib. Begitu turun, Haris dan para penumpang lainnya langsung diserbu para porter yang menawarkan jasa mereka. Karena Haris hanya membawa sebuah koper yang tidak terlalu besar, dan juga tas ransel yang dipanggulnya, diapun menolak dengan sopan.

Haris langsung menuju ke pintu keluar. Dia harus berdesak-desakan dengan para penumpang yang berebut keluar. Saat itu juga dia langsung diserbu para tukang ojek dan supir taksi, tapi lagi-lagi Haris menolaknya. Tak lama kemudian dilihatnya seorang pria sedang berdiri agak jauh dari pintu keluar, tapi melihat ke arahnya juga. Pria itu melambaikan tangan, dibalas oleh Haris. Harispun segera menghampiri pria itu.

“Wueeeh, akhirnya datang juga. Selamat datang di Jakarta Ris,” sambut pria itu.

“Hehe makasih mas. Maaf lho udah bikin mas Aldo repot-repot jemput aku.”

“Halah santai aja lagi, nggak usah sungkan. Bawaanmu ini aja?”

“Iya mas.”

“Lha kok cuma dikit?”

“Iya ini yang penting-penting aja dulu, kan belum pasti ditempatin disini, repot kalau bawa banyak sekalian. Lagian, entar mas Aldo juga repot kan bawanya, hehe.”

“Lah repot kenapa? Aku kan bawa mobil.”

“Loh, kirain masih pake motor mas? Tau gitu kan aku bawanya banyak sekalian, hahaha.”

“Hahaha. Ya udah, yuk cabut. Mau kemana dulu? Mau makan apa langsung ke tempatku?”

“Ke tempat mas Aldo dulu aja deh, makan entar gampang.”

“Oke.”

Bersambung

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY