Unduh Aplikasi panas
Beranda / Horor / MENYUSUI TUYUL
MENYUSUI TUYUL

MENYUSUI TUYUL

5.0
61 Bab
8.8K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Isu pesugihan masih merupakan hal yang sering didengar dalam lingkungan pedesaan. Apalagi, jika orang itu memiliki apa yang tak bisa dimiliki oleh orang lain. Hal inilah yang dialami oleh pasangan suami-istri, Bintang dan Alisha. Keduanya baru saja pindah ke salah satu kota di Provinsi Jawa Timur karena surat tugas Bintang sebagai perwira pertama polisi. Sayangnya, tetangga mereka justru menuduh pasangan ini memelihara, bahkan menyusui tuyul. Hal ini dikarenakan beberapa kejadian aneh yang menimpa penduduk setempat sejak kehadiran Bintang dan Alisha. Terlebih, saat menemukan Bintang-Alisha membeli sebuah rumah baru di luar desa mereka. Sebenarnya apa yang terjadi? Mampukah keduanya lepas dari tuduhan ini?

Bab 1 Kecurigaan

"Iya, Kang, aku juga heran, kampung kita yang dulu adem ayem, kok sekarang sering ada yang ngeluh kehilangan uang."

"Apa mungkin, dugaan beberapa orang itu benar kalau Pak Bintang ngingu, (melihara) ya? Rasanya kok aneh. Padahal, setiap Jum'at dia rajin ke masjid kalau pas nggak dinas."

"Lha, Kang, ora kabeh ( tidak semua) orang yang melihara begituan nggak shalat, lah."

Kedua laki-laki yang tengah menyeruput kopi hitam dari cangkir keramik kecil itu mengangguk menanggapi pendapat temannya.

Begitulah, warung kopi di pojok gang Desa Karanglor itu selalu ramai pengunjung setiap malamnya. Beberapa laki-laki, seperti sudah menjadikan tradisi, selalu berkumpul di situ. Hanya sekadar minum secangkir kopi, menikmati sebatang rokok, dan sepiring gorengan sudah menjadi modal untuk membicarakan banyak hal hingga berjam-jam.

"Iya, kemarin Mbok Wedok (istriku) yo sambat (mengeluh) duitnya hilang lima puluh ribu. Katanya, mau buat arisan, malah amblas uangnya," celetuk seorang laki-laki bertubuh agak tambun sambil mengunyah tempe goreng.

"Barangkali, buat jajan anakmu, Kang? Kasihan tuyulnya kalau nggak ambil dituduh terus, fitnah itu!" sahut seorang pemuda dengan potongan rambut nyentrik berwarna biru, yang sedari tadi duduk di atas motor bersama beberapa teman sebayanya.

Laki-laki bertubuh tambun itu pun melemparkan sisa potongan tempe goreng ke arah pemuda yang hanya cengengesan.

"Hei, Farrel! Anakku nggak mungkin jajan, sehari habis lima puluh ribu," balasnya tak mau kalah.

Pemuda ganteng dengan tindikan di telinga kirinya itu hanya menggaruk pelipis.

"Ya, mana buktinya coba, duitnya Kang Sukir diambil tuyul? Nggak usah percaya begituan, Kang. Percaya tuh sama Allah dan Rasul-Nya."

Tak!

Sebuah jitakan mendarat di dahi pemuda yang sebenarnya berwajah tampan, yang sayangnya tengah tersesat itu.

Dia hanya meringis sambil melotot ke arah sahabatnya. "Celeng, sakit woi!" protesnya.

Temannya mencibir. "Lagian, sok agamis. Shalat saja cuma tiap Jum'at. Itu pun, karena malu kamu anaknya Pak Ustadz."

"Sialan, nggak usah bawa-bawa bapak aku, lah. Bapak ya Bapak, aku ya aku."

"Farrel, Farrel. Temanmu sudah pada gendong anak, lah kamu, masih saja menghabiskan malam keluyuran kayak gini tho, Le."

Farrel menoleh pada perempuan paruh baya berdaster batik, si pemilik warung yang membawa dua cangkir kopi di kedua tangannya.

"Iya, Budhe, nanti bikin anak dulu," sahut pemuda 24 tahun itu dengan asal yang membuat si pemilik warung malah memelototinya.

Suasana warung hening sejenak, ketika mendengar deru motor yang semakin mendekat. Beberapa lelaki berumur yang masih asyik membicarakan tuyul dan pesugihan atau sejenisnya, mendadak bungkam. Mereka saling melirik ke arah motor yang semakin mendekati teras warung.

Sedangkan, Farrel dan teman-temannya yang seperti umumnya anak muda, tak terpengaruh dengan isu mistis. Mereka memilih melanjutkan pembicaraan mengenai klub sepakbola favorit masing-masing yang tengah minim prestasi.

"Anjir, memang pelatihnya sampah, makanya jeblok."

"Begitulah, klub kalau berisi mafia," ejek salah satu dari mereka.

"Sok tahu!" seru Farrel tak terima.

"Ngomongin apa to Mas Din, Mas Farrel, serius banget?" tanya laki-laki yang turun dari motor maticnya sambil melepaskan helm.

"He he he biasa, Pak Bin, si Farrel lagi PMS," jawab Dino yang dibalas tinjuan gemas dari Farrel.

"Sialan, mulutmu!"

Laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu pun, melangkah menuju ke pintu warung setelah menepuk pelan pundak Farrel yang mengangguk sopan padanya.Tatapan beberapa orang yang tadi membicarakan pesugihan dan sejenisnya, langsung tertuju pada laki-laki berwajah rupawan bernama Bintang yang berdiri di pintu warung.

"Assalamu'alaikum, Budhe. Masih ada gorengannya?" tanyanya santun.

"Waalaikumsalam, masih Mas. Mau apa ya, Mas?"

"Bakwan sama pisang goreng saja, Budhe."

"Ngopi, Pak Bin."

"Monggo, Pak."

Setelah membayar gorengan yang dibelinya, laki-laki itu pun pergi diiringi tatapan curiga beberapa pengunjung warung. Bahkan, ada yang mencebikkan bibir dan mengayunkan telapak tangan pada pemilik warung, yang hendak meletakkan uang dari Bintang ke dalam kaleng.

"Mbak, diludahi dulu uangnya biar nggak diambil lagi sama tuyulnya," bisiknya sambil melirik ke arah motor Bintang yang menjauh.

"Budhe aku bayar, tuh sama kopinya monyet-monyet tiga. Iih, tapi kembaliannya jangan uang itu kena air liur!" seru Farrel tanpa basa-basi.

Pemilik warung yang kepergok meludahi uang dari Bintang hanya bisa salah tingkah menghadapi ucapan Farrel. Sedangkan laki-laki bertubuh kurus yang memberikan saran pada pemilik warung menatap tak suka pada sikap Farrel.

Tetapi, bukan Farrel si ketua geng desa namanya kalau tidak bersikap tak acuh.

**

Bintang memelankan laju motornya, ketika memasuki gang menuju ke rumahnya. Mata lelaki itu menyipit, saat melihat seorang perempuan paruh baya bertubuh agak tambun mondar-mandir di halaman rumah.

Bintang membunyikan klakson lirih sambil mengangguk sopan, yang dibalas dengan anggukan kepala dari perempuan tersebut.

"Baru pulang, Mas Bin?"

"Nggih Bu, olahraga to, Bu?"

"Iya Mas, di dalam gerah."

"Oh iya, monggo, Bu.

"Mari, Mas Bin."

Bintang hanya menggeleng samar. Udara di desa ini memang terkadang cukup panas jika di saat musim kemarau atau mendekati musim penghujan. Tetapi, untuk malam ini, udara di Desa Karanglor tidaklah dikategorikan panas. Justru cenderung dingin karena seharian tadi diguyur hujan deras.

"Assalamu'alaikum," ucap Bintang sambil membuka pintu depan rumahnya setelah mencabut kembali kunci cadangan yang selalu dia bawa.

"Waalaikumsalam, Mas."

"Belum tidur, Dik?" tanyanya sambil menatap wajah ayu di depannya.

Wanita itu menggeleng pelan kemudian meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan laki-laki bertubuh tegap itu. Bintang membalasnya dengan mencium kening sang istri.

Setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, Bintang mendekat ke arah Alisha, istrinya. Tatapan mata lelaki itu tertuju ke layar laptop yang masih menyala di atas meja ruang keluarga.

"Sudah malam jangan begadang, dilanjutkan besok saja."

"Besok katanya mau ajak aku jalan-jalan, Mas," sahutnya sambil menyiapkan makan malam sang suami.

Bintang hanya tersenyum dan mengangguk. Rasanya, memenuhi keinginan istrinya untuk jalan-jalan, merupakan hal yang sangat menyenangkan. Walaupun hanya ke danau atau makan nasi pecel di pinggir danau. Mengingat kesibukannya, menjadi abdi negara yang tidak mempunyai waktu libur tetap.

Alisha mengambil sepotong pisang goreng kesukaannya dan mengunyah sambil kembali menatap layar laptop. Sedangkan Bintang duduk di sampingnya tengah menikmati makan malam sederhana buatan sang istri.

"Tadi sewaktu arisan di rumah Bu RT, ramai bicara duit ilang, duit ilang begitu, Mas."

Bintang menghentikan kunyahannya. Perhatian laki-laki itu dari layar televisi kini berganti pada Alisha yang masih fokus ke layar laptop.

"Duit ilang?" tanyanya dengan kening berkerut.

Alisha mengangguk lemah. "Hmm, katanya di desa ini ada yang melihara pesugihan, Mas. Dan sepertinya, mereka ada yang curiga sama kita," jawab Alisha dengan raut wajah sedih.

****

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY