/0/15393/coverbig.jpg?v=cba4edbd6cfa54cd5a811e92547d87e2)
Ini bermula ketika Alena melakukan kesalahan yang sangat besar. Kesalahan tersebut ternyata ada hubungannya dengan hilangnya Sely. Revan, sebagai pacarnya Sely mencurigai jika Alena melakukan sesuatu pada Sely hingga pacarnya tersebut hilang beberapa hari lamanya. Di sisi lain, semenjak hilangnya Sely, Alena terus diganggu oleh makhluk halus yang wajahnya menyerupai dengan Sely. Bahkan hari-harinya juga harus dirundung ketakutan dikarenakan ada seseorang yang terus mengejarnya. Alena dituntut untuk bertanggung jawab atas hilangnya Sely. Bintang, salah satu teman Alena juga turut membantunya menyelesaikan misteri yang ada di kehidupan Alena. Dengan keistimewaan yang dimilikinya, Bintang dengan mudahnya mencari jalan keluar. Namun, ada sesuatu yang masih menghantuinya. Ini bukan tentang Alena saja, ini juga tentang kakaknya. Ferdian. Dia juga diganggu oleh arwah Ayu karena ingin balas dendam.
Aku terbangun di tempat yang gelap. Perlahan aku berdiri dan berusaha mencari benda apa pun asal bisa dipegang. Aku tersenyum lega ketika menemukan seberkas cahaya yang tak jauh dariku. Ternyata aku hanya menemukan sebuah bangku panjang di mana cahaya itu berada. Tanpa ragu, aku duduk di bangku tersebut. Tak bosan-bosan, aku kembali melihat ke sana ke mari. Semuanya hitam dan kosong. Kecuali bangku yang kududuki, di sampingnya terdapat lampu kecil yang terpasang di tiang.
Apakah aku sudah mati?
Itulah yang terlintas di benakku. Pasalnya aku sama sekali tidak mengetahui tempat apa ini. Bahkan aku sama sekali tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya. Semua isi kepalaku seakan menghilang begitu saja. Seperti sobekan kertas yang terhempas oleh angin. Jika aku benar-benar mati, ampunilah segala kesalahanku semasa hidup.
Tak terasa air mata menetes di pipiku. Takut berada di tempat asing seorang diri. Selalu saja, hatiku menjerit-jerit meminta tolong kepada siapa pun. Jika aku benar-benar berteriak, apakah mungkin ada yang menolongku? Aku kira tidak. Tak ada seorang pun yang lalu lalang melewatiku. Hanya ada diriku yang tengah duduk dengan kaki gemetar. Mataku tak sengaja melihat seekor serangga hinggap di bajuku. Saat itu juga aku terkejut.
Pakaian apa yang kupakai?
Bukannya mengusir serangga yang hinggap. Malah aku ngeri melihat pakaian yang
kukenakan. Baju terusan putih sampai menutupi kaki. Atau jangan-jangan aku tidak mempunyai anggota gerak bawah? Kusingkap pakaian putihku itu dengan hati berdebar.
Lega, ternyata aku masih mempunyai kaki.
Tiba-tiba saja aku mencium bau harum bunga melati, dan saat itu juga angin berembus sangat kencang. Tidak sengaja aku melihat sekelebat bayangan hitam mendekat ke arahku.
Mengulurkan kedua tangannya ke depan. Seperti hendak mencekik seseorang. Aku pun
mencoba menutup mata. Takut dengan apa yang baru saja kulihat. Semoga saja, dia tidak
berniat jahat kepadaku. Disaat aku mencoba membuka mata, dari celah-celah jariku aku
melihat bayangan itu semakin mendekat dan berdiri tepat di sampingku.
"Akhirnya dendamku terbalas sudah."
Suara itu terdengar lembut dari sampingku. Anehnya, bayangan tersebut sudah hilang entah ke mana.
"ke mana dia?"
Seberkas cahaya membuat silau mataku. Brukkk ... Bukan tubuhku yang jatuh, melainkan
benda yang berada di dekatku. Mataku membulat, mendapati tubuhku sudah tidak berada di tempat yang gelap dan menyeramkan itu lagi. Sekarang aku berada di depan rumah bercat kuning. Aku sangat kenal dengan rumah ini. Rumah yang memberiku suka duka bersama keluarga.
Aku mengerjap mata sebentar. Merasa aneh, ketika aku mengingat semuanya. Padahal
sebelumnya, aku sama sekali tidak mengingat apa pun. Aku pun telah mengingat apa yang
kulakukan sebelum terjebak di tempat yang asing. Seseorang yang seumuranku terus
menerorku.
Aku berdiri dan menyaksikan keadaan rumahku. Ada yang aneh, kenapa rumahku didatangi banyak orang? Berpakaian serba hitam semua lagi. Orang-orang yang berkunjung ke rumahku tersebut menitikkan air mata dan selalu menatap ke satu arah. Yaitu dalam rumah. Dilihat dari ciri-ciri mereka, sudah dipastikan ada yang meninggal dunia. Tapi siapa yang meninggal?
Lamat-lamat aku melihat temanku, Rani. Dia duduk bersandar pada bahu seseorang, yang
tidak lain ialah pacarnya. Tapi ada yang berbeda dengannya. Rani menangis? Untuk siapa?
Tanpa ragu, kuhampiri Rani yang duduk di kursi halaman rumah. Berulang kali kupanggil
namanya. Bahkan aku berteriak kencang. Namun, tidak ada sahutan dari Rani. Seakan dia
tidak menyadari keberadaanku. Padahal jelas-jelas aku berdiri di dekatnya. Dia malah asyik menangis di sandaran Bayu. Aku menghembuskan napas kasar. Geram karena Rani tidak merespons panggilanku.
Terpaksa kupegang bahunya. Bukan. Aku bukan memegangnya, melainkan menembusnya.
Ini tidak mungkin. Apa aku sudah mati? Mataku menyapu sekeliling hingga berakhir di ruang tamu. Aku segera berlari ke sana. Sungguh terkejutnya diriku mendapati keadaan yang berada di dalam rumahku. Menurutku kejadian ini lebih menyeramkan dari pada sebelumnya.
Kulihat mamaku tengah menangis di pelukan sang papa. Bukan itu yang membuatku terkejut. Aku merinding ketika mendapati tubuhku sendiri terbaring kaku di lantai yang tertutup kain putih. Jadi benar aku sudah mati. Aku terduduk, menangis sekencang-kencangnya yang tak mungkin akan didengar oleh orang lain. Sungguh menyedihkan.
Bahkan aku masih berumur enam belas tahun, akan merasakan hal seperti ini?
Selama meratapi nasibku, aku baru menyadari ada seseorang yang menatapku dengan senang. Dia yang tengah duduk di paling pojok kiri. Anehnya, orang-orang yang berada di dekatnya seperti tidak menyadari orang itu. Sekarang aku baru menyadarinya kalau dia memang benar-benar sudah tidak ada atau bukan manusia lagi.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"