Fabian Gabrilio seorang bos yang terkenal pelit sudah bosan melajang, ia terus memaksa sang sekretaris untuk mencarikan istri untuknya kalau tidak dirinya akan menikahi perempuan itu.
Fabian Gabrilio seorang bos yang terkenal pelit sudah bosan melajang, ia terus memaksa sang sekretaris untuk mencarikan istri untuknya kalau tidak dirinya akan menikahi perempuan itu.
-Kepelitan adalah sumber kekayaan yang hakiki untuk bos super duper perhitungan-
"Bang, gimana nih, motornya kok enggak hidup-hidup?" tanya Indira dengan raut wajah lesu, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.48. Dirinya takut terlambat dan mendapat omelan Fabian.
"Aduh, Mbak ... sepertinya ini butuh waktu lama. Mbak cari taksi atau pesan gojek lain aja," kata Abang gojek itu dengan ragu, takut Indira marah-marah.
"Ya udahlah," Indira langsung berjalan dengan raut wajah kesal, ia terus menggerutu.
Di dekat taman, Indira melepas hak tingginya, buru-buru ia ganti dengan sepatu kets yang dibawanya dalam tote bag yang ia jinjing. Perempuan ini memang suka membawa sepatu kesayangannya karena tidak nyaman menggunakan hak tinggi. Lalu, ia berlari--tidak peduli kalau ada yang memperhatikannya.
Suara lagu "Cinta Suci" mengalun dari ponsel jadulnya. Ia langsung berhenti untuk membuka tasnya yang ternyata ada panggilan dari bosnya. Belum sempat ia menjawab, sambungan telepon itu terputus. Dan, pesan singkat menyusul.
Bos Pelit š£
Saya tadi WA kamu tapi kok ā, saya telepon kok enggak diangkat. Kamu niat kerja enggak, sih?
Dihubungin kok sulit. Kakek saya yang dokter aja enggak sesibuk kamu. Ayah saya yang direktur utama aja selalu bisa saya hubungi.
Kalau kamu enggak niat kerja, resign aja, biar saya enggak perlu ngasih pesangon.
Indira memelototkan matanya, ia sangat kesal dengan Fabian yang tidak ada basa-basi, langsung mengatakan kalau dirinya lebih baik resign. Bukannya sok sibuk, tapi ponsel androidnya tertinggal di kontrakannya tadi. Dirinya hanya membawa ponsel biasa yang tidak ada aplikasi internet--hanya menelpon dan sms.
"Kok ada ya bos sebawel dan sepelit ini. Kirain mau kasih tahu hal penting cuma ngomel kenapa enggak bisa dihubungi," Indira berkacak pinggang.
"Ya saya mau nghubungin kamu, pastinya ada urusan penting," Fabian menatap Indira dingin.
Indira meneguk salivanya, begitu mendengar suara yang familier. Jantungnya berdegup dengan kencang seketika. Untungnya, ia tidak menyumpah serapahi Fabian kalau tidak habislah sudah riwayatnya.
Indira langsung memasang senyum, begitu membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok Fabian yang tengah memasukkan kedua tangannya dalam saku.
"Eh, Bapak," Indira mengulurkan tangan kanannya yang membuat Fabian mengernyit.
"Mau ngapain?"
"Salaman, Pak."
Fabian mengerti maksud Indira, tapi ia bingung kenapa Indira mau melakukan hal itu. Meski ragu Fabian tetap mengulurkan tangan kanannya.
Indira langsung menjabat tangan Fabian, "Mohon maaf ya, Pak. Maaf sering nyusahin."
"Emang kamu ngelakuin kesalahan apa lagi?"
"Lah menurut Bapak kan setiap hari saya nyusahin Bapak mulu. Padahal minggu saya enggak ketemu Bapak, tapi Bapak bilang saya nyusahin Bapak."
"Itu mah fakta. Ya udah lupain aja. Ayo berangkat, keburu macet jalannya," ajak Fabian seraya mengandeng Indira menuju mobilnya. Indira hanya mengikuti intruksi atasannya seraya memasang raut wajah berseri-seri, padahal dalan hati ia sibuk mengumpat.
Fabian langsung membuka pintu di samping setir yang membuat Indira terheran-heran. Bukan seperti film di televisi yang biasanya si pria membukakan pintu untuk wanitanya, ini tidak. Fabian membuka pintu untuk dirinya sendiri yang membuat Indira mematung. Pasalnya kalau Fabian di kursi sebelah kemudi, berarti dia yang harus menyetir.
"Pak, ini saya yang nyetir?" tanya Indira seraya mencondongkan kepalanya menghadap ke arah Fabian yang sudah duduk di kursi.
Fabian tersenyum, "Iya, makanya tadi saya wa sama nelpon kamu berulang-ulang buat nganterin saya ke kantor. Sopir saya kan cuti, jadi kamu yang harus nyetiran mobil saya ke kantor."
Indira meringis, "Bapak bisa aja, tapi gaji saya naik, kan?"
"Enak aja, kamu aja telat mulu. Masih untung enggak saya potong gaji."
"Dasar perhitungan, pelit," cibir Indira dengan suara lembut seraya menutup pintu yang masih didengar Fabian.
"Kalau saya enggak pelit, saya enggak kaya dong."
Tbc...
Uji coba dulu
-Kepelitan adalah sumber kekayaan yang hakiki untuk bos super duper perhitungan-
"Bang, gimana nih, motornya kok enggak hidup-hidup?" tanya Indira dengan raut wajah lesu, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.48. Dirinya takut terlambat dan mendapat omelan Fabian.
"Aduh, Mbak ... sepertinya ini butuh waktu lama. Mbak cari taksi atau pesan gojek lain aja," kata Abang gojek itu dengan ragu, takut Indira marah-marah.
"Ya udahlah," Indira langsung berjalan dengan raut wajah kesal, ia terus menggerutu.
Di dekat taman, Indira melepas hak tingginya, buru-buru ia ganti dengan sepatu kets yang dibawanya dalam tote bag yang ia jinjing. Perempuan ini memang suka membawa sepatu kesayangannya karena tidak nyaman menggunakan hak tinggi. Lalu, ia berlari--tidak peduli kalau ada yang memperhatikannya.
Suara lagu "Cinta Suci" mengalun dari ponsel jadulnya. Ia langsung berhenti untuk membuka tasnya yang ternyata ada panggilan dari bosnya. Belum sempat ia menjawab, sambungan telepon itu terputus. Dan, pesan singkat menyusul.
Bos Pelit š£
Saya tadi WA kamu tapi kok ā, saya telepon kok enggak diangkat. Kamu niat kerja enggak, sih?
Dihubungin kok sulit. Kakek saya yang dokter aja enggak sesibuk kamu. Ayah saya yang direktur utama aja selalu bisa saya hubungi.
Kalau kamu enggak niat kerja, resign aja, biar saya enggak perlu ngasih pesangon.
Indira memelototkan matanya, ia sangat kesal dengan Fabian yang tidak ada basa-basi, langsung mengatakan kalau dirinya lebih baik resign. Bukannya sok sibuk, tapi ponsel androidnya tertinggal di kontrakannya tadi. Dirinya hanya membawa ponsel biasa yang tidak ada aplikasi internet--hanya menelpon dan sms.
"Kok ada ya bos sebawel dan sepelit ini. Kirain mau kasih tahu hal penting cuma ngomel kenapa enggak bisa dihubungi," Indira berkacak pinggang.
"Ya saya mau nghubungin kamu, pastinya ada urusan penting," Fabian menatap Indira dingin.
Indira meneguk salivanya, begitu mendengar suara yang familier. Jantungnya berdegup dengan kencang seketika. Untungnya, ia tidak menyumpah serapahi Fabian kalau tidak habislah sudah riwayatnya.
Indira langsung memasang senyum, begitu membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok Fabian yang tengah memasukkan kedua tangannya dalam saku.
"Eh, Bapak," Indira mengulurkan tangan kanannya yang membuat Fabian mengernyit.
"Mau ngapain?"
"Salaman, Pak."
Fabian mengerti maksud Indira, tapi ia bingung kenapa Indira mau melakukan hal itu. Meski ragu Fabian tetap mengulurkan tangan kanannya.
Indira langsung menjabat tangan Fabian, "Mohon maaf ya, Pak. Maaf sering nyusahin."
"Emang kamu ngelakuin kesalahan apa lagi?"
"Lah menurut Bapak kan setiap hari saya nyusahin Bapak mulu. Padahal minggu saya enggak ketemu Bapak, tapi Bapak bilang saya nyusahin Bapak."
"Itu mah fakta. Ya udah lupain aja. Ayo berangkat, keburu macet jalannya," ajak Fabian seraya mengandeng Indira menuju mobilnya. Indira hanya mengikuti intruksi atasannya seraya memasang raut wajah berseri-seri, padahal dalan hati ia sibuk mengumpat.
Fabian langsung membuka pintu di samping setir yang membuat Indira terheran-heran. Bukan seperti film di televisi yang biasanya si pria membukakan pintu untuk wanitanya, ini tidak. Fabian membuka pintu untuk dirinya sendiri yang membuat Indira mematung. Pasalnya kalau Fabian di kursi sebelah kemudi, berarti dia yang harus menyetir.
"Pak, ini saya yang nyetir?" tanya Indira seraya mencondongkan kepalanya menghadap ke arah Fabian yang sudah duduk di kursi.
Fabian tersenyum, "Iya, makanya tadi saya wa sama nelpon kamu berulang-ulang buat nganterin saya ke kantor. Sopir saya kan cuti, jadi kamu yang harus nyetiran mobil saya ke kantor."
Indira meringis, "Bapak bisa aja, tapi gaji saya naik, kan?"
"Enak aja, kamu aja telat mulu. Masih untung enggak saya potong gaji."
"Dasar perhitungan, pelit," cibir Indira dengan suara lembut seraya menutup pintu yang masih didengar Fabian.
"Kalau saya enggak pelit, saya enggak kaya dong."
Tbc...
Fransisca atau yang akrab dipanggil Caca ini kebingungan mencari calon suami setelah dirinya telah mengemborkan rencana pernikahannya dengan seorang pembisnis berdarah barat namun ternyata malah kandas. Suatu ketika di sebuah pesta para rekan Caca mendesaknya untuk menunjukkan calon suaminya membuat gadis itu kebingungan. Malu jika dirinya mengatakan hal yang sejujurnya. Ide gila terbesit di otaknya. Secara acak wanita itu menunjuk seorang pemuda dan mengatakan itu calon suaminya.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Lima tahun lalu, aku menyelamatkan nyawa tunanganku di sebuah gunung di Puncak. Insiden itu membuatku cacat penglihatan permanenāsebuah pengingat yang berkilauan, yang terus-menerus ada, tentang hari di mana aku memilihnya di atas penglihatanku yang sempurna. Dia membalasku dengan diam-diam mengubah rencana pernikahan kami di Puncak menjadi di Bali, hanya karena sahabatnya, Amara, mengeluh di sana terlalu dingin. Aku mendengarnya menyebut pengorbananku sebagai "drama murahan" dan melihatnya membelikan Amara gaun seharga delapan ratus juta rupiah, sementara gaunku sendiri ia cibir. Di hari pernikahan kami, dia meninggalkanku menunggu di altar untuk bergegas ke sisi Amara yangāsangat kebetulanāmengalami "serangan panik". Dia begitu yakin aku akan memaafkannya. Dia selalu begitu. Dia tidak melihat pengorbananku sebagai hadiah, tetapi sebagai kontrak yang menjamin kepatuhanku. Jadi, ketika dia akhirnya menelepon ke lokasi pernikahan di Bali yang kosong melompong, aku membiarkannya mendengar deru angin gunung dan lonceng kapel sebelum aku berbicara. "Pernikahanku akan dimulai," kataku. "Tapi bukan denganmu."
Setelah menyelesaikan misi rahasia untuk pemerintah, saya menerima telepon dari putri saya, Michelle Harper. "Ibu! Aku mendapat tawaran dari Departemen Sekretariat PBB sebagai magang! Aku telah berusaha keras mendaftar selama setahun penuh!" Suaranya di ujung sana bergetar karena kegembiraan. Dia segera mulai menyiapkan dokumen visanya dan mengirimkan tiga pesan suara kepada saya, menanyakan apa yang harus dipersiapkan. Namun, seminggu kemudian, lokasi jam tangannya tetap berada di lantai tiga gedung administrasi kampus mereka. Saya diam-diam pergi ke kampusnya, hanya untuk menemukan dia diikat di sudut ruangan secara kasar. Pelakunya, Lacey Palmer, berkata dengan sinis, "Berani-beraninya kamu, orang biasa, mengambil posisi di Departemen Sekretariat PBB yang ayahku bantu dapatkan? Apakah kamu cari gara-gara?" Bahkan pembimbingnya ikut campur dengan nada merendah, "Ayah Lacey adalah orang terkaya di negeri ini, dan ibunya adalah pakar terkemuka. Posisi itu memang untuk Lacey." Saya tertegun. Posisi di Departemen Sekretariat PBB? Itu adalah posisi yang Michelle perjuangkan dengan susah payah. Padahal, ayah Lacey yang mereka sebutkan adalah suami saya. Kenapa dia bisa menjadi pakar terkemuka dan orang terkaya? Saya segera menelepon nomor suami saya, "Apakah kamu punya anak yang tidak sah? Apakah kamu menyembunyikan rahasia dariku?"
(Cerita mengandung FULL adegan dewasa tiap Babnya Rated 21++) Bertemu di kapal pesiar membuat dua pasangan muda mudi memiliki ketertarikan satu sama lain. Marc dan Valerie menemukan sosok yang berbeda pada pasangan suami istri yang mereka temui secara tidak sengaja di kapal pesiar. Begitu pula dengan Dylan dan Laura merasakan hal yang sama kepada Marc dan Valerie. Hingga sebuah ide tercetus di pikiran mereka karena rasa penasaran yang begitu besar. āSayang, hanya satu hari, haruskah kita bertukar pasangan dengan Valerie dan Marc?ā ucap Dylan menatap sang istri. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Apakah perselingkuhan ini akan berakhir atau membawa sebuah misteri kehidupan baru bagi kedua pasangan ini...
Bella menggeliat di bawah tubuh Bram, kedua tangannya mencengkeram erat sprei yang sudah kusut. Nafasnya terengah, bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. "Ahh... Bram... ahhh... lebih dalam..." suara itu pecah, bercampur antara kenikmatan dan keputusasaan. Tubuhnya bergetar setiap kali Bram menghantam, membuatnya semakin terhanyut. "Ahh... enak sekali... jangan berhenti..." rintih Bella, matanya terpejam, wajahnya memerah diliputi panas yang semakin membakar. Bram hanya terkekeh rendah, melihat bagaimana istrinya tenggelam dalam permainan mereka. Semakin Bella mendesah, semakin cepat gerakannya, membuat kamar itu penuh dengan suara ranjang yang berderit, bercampur dengan panggilan dan rintihan Bella yang semakin tak terkendali.
Ā© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY