/0/16383/coverbig.jpg?v=48f19583495716405ff6084aa3ca3b79)
"Jangan pernah menaruh perasaan pada anakku yang ada dalam perutmu, dengan begitu tidak akan sulit bagimu saat pernikahan kita usai. Jangan cemas, saat dia lahir kau takkan melihat wajahnya, kami akan langsung membawanya. Nanti seolah-olah kami tidak pernah ada dalam hidupmu."
"Hanya sampai kau memiliki anak, Jihan. Itu tidak akan lama. Satu tahun lagi kau akan kembali lagi ke sini."
Satu tahun. Itu akan menjadi waktu yang sangat panjang. Bagaimana mereka katakan itu takkan lama? Kupandangi wajak Mak Tuah dan Tek Ida bergantian, sudah nyaris satu bulan ini mereka membujukku.
"Aku ...."
"Dengar, orang itu akan datang esok pagi. Kau harus bersiap. Mamak tidak ingin kau membantah."
"Hanya satu tahun, lalu semua akan baik-baik saja." Tek Ida mengusap rambutku perlahan, kepura-puraan begitu kentara ketika tangan itu menyentuh rambutku.
"Untuk apa uang seratus juta itu?" Aku menatap hampa ke luar jendela rumah, yang menampilkan pesona alam nan memukau.
"Untuk menebus semua harta yang telah tergadai akibat membesarkanmu." Suara Tek Ida berubah ketus. Benar, wanita paruh baya yang terpaksa merawatku dari kecil ini sangat pandai berpura-pura.
Harta, entah harta yang mana yang telah kuhabiskan. Bisa dikatakan aku besar dari belas kasihan orang. Selalu saja ada orang yang datang tiap minggu, entah itu mengantar beras atau kebutuhan lainnya, dan kini mereka mengkambing hitamkanku atas semua harta yang tergadai.
"Aku akan bekerja, akan kubayar uang Mamak dan Etek yang sudah terpakai olehku, tapi bukan cara seperti ini."
"Jangan bertingkah, Jihan! Apa pekerjaan yang akan kau dapatkan, kau hanya menamatkan SMP! Bekerja di mana, menjual diri!" gertakan Mila membuatku semakin beku, aku sudah sangat biasa dengan suara keras dan makiannya. Anak sulung Mak Tuah ini, lebih tega dari siapapun di rumah ini.
"Aku akan bekerja," desisku menggigit bibir, memutar otak mencari pekerjaan apa saja.
"Sudah, tidak ada pertengkaran atau penolakan lagi. Besok orang itu akan datang. Kau harus bersiap!"
Aku memejamkan mata, memeluk lutut erat, suara Mak Tuah adalah final. Terdengar langkah kaki meninggalkan kamarku lalu pintu yang ditutup keras.
Air mataku jatuh, tidak menyesal. Aku tidak pernah menyesali apa pun. Bagiku semua yang terjadi adalah jalan takdir yang telah tertulis. Hanya saja kadang aku tak bisa menahan sesuatu yang pedih di dalam dada, menyesakkan. Hingga aku harus meneteskan air mata.
Baiklah, kuceritakan awal ide buruk ini menghampiri Mak Tuah. Beberapa minggu lalu, seorang laki-laki bertubuh subur datang ke rumah, dan menawarkan sesuatu yang sangat buruk pada Mak Tuah.
Aku tidak terlalu terkejut kenapa Mak Tuah langsung menawarkanku. Dari dulu, semenjak Ibu meninggal dia selalu mencari celah untuk mencampakkanku. Namun, tidak berhasil. Aku cukup diperhatikan di kampung ini, anak yatim yang malang. Sehingga Mak Tuah tak pernah berhasil dengan semua rencana jahatnya.
Tetapi kali ini rencana mereka untuk menyingkirkan akan terlaksana. Beliau akan mengumumkan bahwa aku akan bekerja di kota. Lalu aku menghilang, entah sampai kapan.
Aku tidak punya seseorang untuk berbagi, aku memang tidak suka bercerita pada siapapun. Jadi, kali ini mereka akan berhasil.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa orang itu. Apakah sudah tua atau cacat? Sehingga harus mencari wanita lugu di perkampungan untuk melahirkan anaknya.
Tetapi siapapun, mungkin kami bisa berteman. Mengingat melahirkan seorang anak berarti harus menikah dulu, dan aku akan menikah dengan orang asing.
Di usia delapan belas tahun, aku belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Apa lagi membayangkan menikah. Almarhum Ibu pernah memberi petuah tentang pernikahan saat itu aku berumur enam tahun, beberapa bulan sebelum dia meninggal, tentang tanggung jawab besar menjadi seorang istri. Dan itu tidaklah mudah.
Aku menenggadahkan kepala, menatap langit-langit kamar. Benarkah malam ini malam terakhir aku di sini? Benarkah waktu itu hanya satu tahun dan semua akan selesai?
Azan magrib berkumandang dari masjid dekat rumah, aku bergegas menutup jendela kamar. Melangkah ke kamar mandi dan berwudhu. Satu-satunya tempat pulang adalah padaNya. Hanya padaNya aku menceritakan semua.
Setelah memakai mukena aku kembali mengintip di celah jendela. Memperhatikan teman-teman sebaya shalat berjamaah di masjid. Aku rindu ingin ke sana juga, tapi tidak boleh. Mak Tuah melarang, mungkin beliau takut aku memiliki teman. Seperti dicerita-cerita dongeng, aku tidak pernah membantah Mak Tuah. Entahlah, aku memang tak menyukai pertentangan.
Selesai shalat dan bermunajat, aku ke luar kamar. Menuju meja makan, menikmati makanan sisa yang telah disediakan. Aku tak pernah diizinkan makan satu meja dengan keluarga Mak Tuah, kecuali jika ada tamu. Ya, Mak Tuah selalu kelihatan menyayangiku di depan orang-orang, meskipun itu tidak tapi aku tak berniat menceritakan cerita sedih ini pada siapapun.
Selesai makan aku membereskan piring dan langsung mencucinya. Lalu melangkah ke ruang keluarga. Pemandangan seperti biasa terlihat, keluarga bahagia. Lengkap, sepasang anak yang sudah hampir menginjak dewasa, dengan orang tua yang begitu menyayangi. Hanya ini yang membuatku iri. Hanya ini yang mampu mengusik keikhlasan betapa cepatnya Ayah dan Ibu dipanggil yang maha kuasa.
"Ada apa, tidur sana!" Mila yang pertama menyadari kehadiranku dia menatap sinis.
"Ingin gabung? Susul ayah dan ibumu ke dalam kubur," potong Rudi terbahak.
Aku menelan ludah yang terasa pahit. Aku mengerjapkan mata, berusaha mengusir kabut yang hendak mengalami pandangan. Kalau saja bunuh diri itu sah dalam agama, sudah kususul Ayah dan Ibj jauh-jauh hari.
"Kapan orang itu akan menikahiku, Mak?" Suaraku yang serang terdengar nyaring, membuat semua orang itu menatap ke arahku dengan keterkejutan yang nyata. Kemudian tawa mengejek Mila dan Rudi memenuhi ruangan keluarga.
"Nikah? Mimpi!" Rudi memegangi perutnya dan terus tertawa.
"Tidak akan ada pernikahan, Jihan." Suara Mak Tuah menghentikan tawa Mila dan Rudi. Mak Tuah menatap ke arahku tajam.
"Tapi ...."
"Orang itu hanya membutuhkan anak, bukan istri. Kau mengerti maksudku?"
Aku menggeleng, bagaimana memiliki anak tanpa menikah. Astaga, apakah orang itu akan mengajakku berzina? Bisa kurasakan darah surut dari wajahku, menggelengkan kepala cepat. Aku takkan memasuki lobang dosa itu.
"Ya, kau akan melahirkan anaknya tanpa menikah. Tidak akan ada orang yang tahu ...."
"Tuhan tahu, Mak! Tuhan tahu segalanya! Aku takkan melakukan dosa itu!" jeritku.
Ayah dan Ibu akan masuk neraka karena dosaku. Mereka berdua akan menyesal memiliki anak sepertiku. Jadi, aku takkan melakukan itu, tidak tanpa pernikahan.
"Kamu jangan aneh-aneh, Jihan. Mana ada orang kota kaya raya yang mau menikahi wanita kampung sepertimu. Meskipun dia bandot tua itu takkan terjadi. Sudahlah terima saja takdirmu," tekan Tek Ida.
"Aku tidak akan berzina untuk memberikan siapapun anak," geramku memutar tubuh dan melangkah masuk kamar. Rasanya tenaga tercabut habis dari ragaku, kenapa kenyataan begitu semengerikan ini?
"Jangan coba-coba bertingkah, atau aku akan kujual kau ke rumah kuning kampung sebelah!" Tek Ida menyentakkan tanganku hingga kembali menghadap padanya. Mataku membulat tak percaya dengan apa yang dia katakan. Rumah kuning adalah tempat wanita yang menjajakan dirinya secara diam-diam. Penghuninya rata-rata janda genit. Tidak tersentuh hukum, kabarnya rumah itu milik seseorang yang berpengaruh.
"Etek takkan berani," tantangku.
"Jangan mengujiku, akan kuantar kau ke sana malam ini." Lalu tangannya menyeretku.
"Lepaskan!"
"Jangan membantahku, Ayo, Pak. Kita antar saja dia ke rumah kuning itu!" Tek Ida berseru pada Mak Tuah dengan terus menyeretku ke luar.
"Tidak! Tidak!" Aku mencoba melepaskan diri ketika dipaksa naik mobil Avanza yang baru saja dibeli Mak Tuah dari hasil penjualan tanah tapi tak berhasil.
Tak berapa lama kemudian mobil sudah meluncur melewati jalan desa. Dari kejauhan rumah kuning itu sudah jelas, lampu temaram terasnya membuatku merinding. Tel Ida tak main-main, dia ingin menjualku. Ke mana semua orang malam ini, kenapa tak ada yang melihatku. Ya Allah ....
"Baik, baik! Aku akan memberikan anak pada orang itu, bawa aku pulang!"
Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian, dia punya kekasih begitu juga dengan aku. Tetapi entah siapa yang memasukkan obat ke dalam minuman ku, sehingga benar-benar lepas kendali.
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
Warning 21+ mengandung konten dewasa, harap bijak dalam memilih bacaan. Winda Anita Sari merupakan istri dari Andre Wijaya. Ia harus rela tinggal dengan orang tua suaminya akibat sang ibu mertua mengalami stroke, ia harus pindah setelah dua tahun pernikahannya dengan Andre. Tinggal dengan ayah suaminya yang bersikap aneh, dan suatu ketika Anita tau bahwa ayah mertuanya yang bernama Wijaya itu adalah orang yang mengidap hiperseks. Adik iparnya Lola juga menjadi korban pelecehan oleh ayahnya sendiri, dikala sang ibu tak berdaya dan tak bisa melindungi putrinya. Anita selalu merasa was-was karna sang ayah mertua selalu menatapnya dengan tatapan penuh nafsu bahkan tak jarang Wijaya sering masuk ke kamarnya saat ia sedang tidur. Akankah Anita mampu bertahan tinggal bersama Ayah mertuanya yang hiperseks? Atau malah menjadi salah satu korban dari ayah mertuanya sendiri?
ADULT HOT STORY 🔞🔞 Kumpulan cerpen un·ho·ly /ˌənˈhōlē/ adjective sinful; wicked. *** ***
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."