Terlihat pintu rumahnya tertutup rapat. Satu jendela yang berada di kiri pintu, sedikit terbuka kacanya. Tangan Shaka terlepas dari genggaman Dara. Dia berlari-lari sambil menengok ke arah samping rumah. Sedangkan sang kakak, tetap mengeratkan genggaman tangannya.
Hari ini Dara datang menjelang tengah hari. Dan itu membuat keadaan sekitarnya sepi. Andai datangnya lebih pagi atau sedikit sore pasti para tetangga julid akan ikut memenuhi rumah Bu Maisaroh, ibunda Dara.
"Wa'alaikumussalam," jawab sang pemilik rumah dari dalam. Terlihat handle pintu bergerak dan perlahan pintu terbuka.
"Ya Allah, Nduk," ucap Bu Maisaroh seketika melihat putrinya di depan rumah. Di elapnya tangan yang sedikit basah tadi di daster yang beliau kenakan. Setelah itu beliau menerima uluran tangan sang putri. Dicium punggung tangan ibunda, setelah itu dipeluknya erat-erat tubuh ibunya yang mulai renta.
Ibu Maisaroh sungguh terkejut melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba. Karena kemarin saat video call pun Dara tidak mengatakan kalau akan pulang. Biasanya Dara akan pulang saat hari raya Idul Fitri saja selepas itu dia tidak pernah pulang mengunjungi kedua orang tuanya.
"Kakak, adik, ayo salim dulu sama Mbah," titahnya pada anak yang dari tadi menemaninya.
Anin segera meraih tangan Bu Maisaroh dan mencium punggung tangannya. Sedangkan Shaka terlihat berlari mendekat saat bundanya memanggil.
"Anak siapa ini, Nduk?" tanya ibunya sambil menerima uluran tangan pria kecil itu.
"Izinkan kami masuk dulu ya Bu. Sepertinya mereka sangat lelah," pinta Dara.
"Astaghfirullah ... Ibu lupa Nduk," ucap Bu Maisaroh sambil menepuk keningnya.
Bu Maisaroh sedikit menepi dan memberikan jalan agar ketiga tamunya bisa masuk. Setelah memasuki ruangan, Nindy dan Shaka segera duduk di kursi kayu dengan model lawas dengan anyaman rotan di bagian bawah dan sandarannya.
Kursi yang bagian punggung dan tempat duduknya terbuat dari anyaman rotan. Setelah duduk Nindy terdiam sedangkan Shaka mengelilingi seluruh ruangan itu melalui pandangannya.
Setelah masuk rumah tadi, Dara melangkah ke kamarnya. Dia hanya meletakkan tas yang berisi beberapa potong pakaian untuk mereka bertiga. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu tempat dua bocah itu menunggu.
"Ini tempat tinggal bunda waktu kecil dulu," katanya seraya mendaratkan pantatnya ke kursi di hadapan Shaka.
"Jadi kita akan liburan di sini?" tanya sang pria kecil.
"Iya," jawab Dara sambil mengangguk. "Shaka tidak suka?"
Belum sempat adik Nindy menjawab, Bu Maisaroh datang sambil membawa nampan yang diatasnya terdapat tiga gelas teh hangat.
"Siapa nama anak-anak lucu ini?" tanya Bu Maisaroh seraya meletakkan gelas-gelas tadi di hadapan mereka.
Shaka melirik Dara seolah bertanya tentang wanita paruh baya itu.
"Ini ibunya bunda. Kalian bisa panggil Mbah," seolah mengerti lirikan Shaka.
"Ayo di jawab pertanyaan Mbah tadi. Mulai dari kakak dulu ya,". perintah Dara. Nindy langsung berdiri.
"Hallo Mbah. Nama saya Nindy, Anindya Wardhani. Umur saya 7 tahun. Saya kelas 2."
Melihat kakaknya memperkenalkan diri, Shaka pun langsung bangkit dari duduknya.
"Saya Shaka, Abishaka Syailendra, Mbah. Saya sudah sekolah PAUD," katanya penuh semangat.
Bu Maisaroh gemas dengan tingkah Shaka. Dia tersenyum sambil mengacak rambut si kecil. Setelahnya Bu Maisaroh duduk di samping sang putri.
"Diminum dulu tehnya," kata Bu Maisaroh. "Kalian pasti capek kan? Ayo sekalian makan siang," tawar wanita tua itu.
Lagi-lagi dua bocah itu memandang Dara seraya meminta persetujuan. Melihat Dara mengangguk, keduanya langsung mengambil gelas yang ada didepannya. Mereka meniup gelas yang berisi teh. Kemudian perlahan mereka menyesapnya.
"Assalamualaikum."
Terdengar ucapan salam dari luar. Bu Maisaroh segera bangkit dan berjalan mendekati pintu.
Pintu terbuka dengan dorongan pelan dari arah luar.
"Nduk," ucap orang yang baru datang itu. Sama halnya dengan sang istri, Pak Abdullah juga terkejut dengan kehadiran putri tunggalnya.
Dara berdiri dan menghampiri sang ayah. Diraihnya tangan tua itu dan mencium punggung tangannya.
"Sini Nak, salim dulu sama Mbah," ucap Dara pada Nindy dan Shaka. Dua bocah itu segera meletakkan gelas yang sedari tadi mereka genggam. Setelah itu mereka berjalan menghampiri Dara.
Pak Abdul, panggilan ayah Dara, langsung menoleh ke arah anak kecil yang di panggil putrinya tadi.
Pertama Shaka dulu yang salim dengan Pak Abdul karena posisi Shaka lebih dekat dari sang kakak.
"Hallo Mbah, nama saya Shaka," sapa Shaka dengan nada menggemaskan.
Setelah memperkenalkan diri, Shaka bergeser dan Nindy melangkah mendekat. Dia segera mencium punggung tangan Pak Abdul.
"Saya Anin, Mbah."
Pak Abdullah tersenyum. Dia sangat senang. Dia berharap kalau mereka benar-benar cucu yang sangat dia nantikan.
Pak Abdullah dan Bu Maisaroh sudah sangat lama mendambakan seorang cucu. Tapi sang putri tidak mau menikah. Dia juga sudah sering mengatakan kalau dia tidak akan pernah menikah.
Bukan tidak ada sebab Dara mengatakan hal itu. Ada kejadian naas yang membuat Dara memutuskan untuk tidak menikah.
Kedua orang tuanya pun tahu hal itu. Mereka juga paham bagaimana kejadian naas itu membuat hidup anaknya menjadi hancur.
Mereka bertiga sudah berusaha untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu memang tidak bisa mereka lupakan. Apalagi untuk Dara. Dia mengalami trauma sampai saat ini. Dulu bahkan dia sempat depresi dan ingin mengakhiri hidupnya.
Dara dulu pernah menjadi korban pemerko**** saat dirinya baru merayakan kelulusan. Dia diculik dan dilecehkan hingga tak sadarkan diri. Dia ditemukan warga di rumah kosong di ujung desa.
Saat itu Dara menangis histeris hingga membuat warga penasaran. Rumah tempat kejadian perkara telah lama ditinggal pemiliknya dan tiba-tiba terdengar suara wanita menangis.
Beberapa warga sekitar mencoba memasuki rumah itu. Ada yang menduga kalau itu suara makhluk halus karena suara itu terdengar saat malam.
Tidak hanya itu nasib buruk yang Dara alami. Dia juga mengandung setelah kejadian itu. Kejiwaannya semakin terguncang. Dia tidak mau bertemu dengan siapa pun kecuali ayah ibunya. Sering kali dia mencoba mengakhiri hidupnya. Terakhir kali dia mencoba bunuh diri malah membuat nyawa janin dalam kandungannya meninggal.
Mulai saat itu dia menyadari kesalahannya. Dia berusaha keras melawan traumanya. Dia belajar bangkit dari keterpurukannya. Dukungan dari orang tuanya membuat wanita itu lebih semangat berjuang, berubah menjadi diri yang lebih baik. Dia mengambil keputusan untuk meninggalkan desa tempat kelahirannya. Dia akan menjadi diri yang baru di tempat yang baru pula.