Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, pribadi pemilik surai lurus dengan panjang sepinggang itu berjalan perlahan, menghampiri ranjang, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut.
"Uncle!" Reva menyeru pelan.
Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan kekar milik pria tampan yang ada di hadapan.
Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Reva membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah pria tampan tersebut.
"Uncle!" Reva kembali menyeru seraya melabuhkan sentuhan di permukaan bahu sebelah kanan Sebastian Alvero Abraham, tak lupa memberi sedikit guncangan berarti juga di sana.
"Eummm?" Vero - begitu singkatnya pria berusia dua puluh delapan tahun itu biasa disapa, mengerang pelan tanpa membuka pelupuk mata yang sedari tadi memang sudah memejam.
Mendapati Vero memberi respon begitu acuh, Reva membuang napas kasar, lantas menegakan kembali tubuhnya, duduk dengan posisi sempurna.
"Kok udah tidur? Gak nungguin aku?"
"Saya capek, Rev. Ngantuk juga," tutur Vero bernada gumaman yang nyaris terdengar ayalnya sebuah rengekan.
Reva mendengkus, kemudian mengedarkan pandangannya, sekilas. "Ini malem pertama kita loh, Uncle."
Hening. Vero diam lagi, tidak merespon perkataan Reva, karena kesadarannya sudah benar-benar hampir terkikis habis oleh rasa lelah juga kantuk.
"Uncle ....!" Reva merengek sembari kembali mengguncang bahu Vero, berharap tindakan yang dilakukan bisa membuat suami tampannya itu terbangun, lantas bersedia berbincang dengannya, meskipun hanya sebentar.
Kenyataan bahwa ini adalah malam pertamanya bersama Vero sebagai sepasang suami istri, membuat Reva jadi tidak bisa tenang.
Terlebih, wanita cantik pemilik senyum manis berlesung pipi itu, kini tengah berada di kamar yang ada di unit apartemen milik Vero.
"Uncle! Bangun dulu bentar." Reva kembali merengek sambil terus mengguncang bahu Vero, mengganggu tidur pria tampan yang telah resmi mempersunting dirinya siang tadi itu.
Vero mendengkus kesal, lantas menolehkan kepala, jadi tidur dalam posisi memunggungi Reva seutuhnya.
Agaknya pribadi tampan pemilik surai lembut berwarna hitam legam itu memang tidak sedikit pun memiliki niatan untuk meladeni rengekan sang istri.
Melihat Vero tak kunjung mengindahkan rengekan yang telah dilakukan, Reva mulai merasa kesal sendiri.
"Uncle bangun dulu, bisa gak sih?!"
Vero melenguh pelan. "Apa sih, Rev?" tanyanya, sembari menolehkan kepala ke arah Reva, tapi masih tak kunjung membuka mata.
Mendengkus kesal, Reva mengatupkan bibirnya cukup rapat, sedang kedua pipinya menyembul, menekuk hidung kecilnya hingga terlihat sedikit mengernyit dan tenggelam.
Menggerakan manik matanya dengan bimbang, sejurus kemudian, senyum nakal tertoreh di permukaan bibir wanita cantik itu, saat sebuah ide cemerlang datang menghinggapi benak.
Melabuhkan sentuhan lembut, lebih pada menggoda secara berkala di area bahu hingga dada bidang Vero, Reva membungkuk, mencondongkan tubuhnya lagi ke arah Vero seperti sebelumnya.
"Uncle gak mau unboxing aku dulu, gitu?" Bisikan itu menguar, terdengar cukup sensual, membersamai embusan napas bersuhu agak hangat yang berhambur, menyentuh daun telinga sebelah kanan Vero.
Vero kaget, meski sempat ada jeda tiga detik, selanjutnya pribadi tampan itu serta merta membuka pelupuk mata dengan pergerakan cepat.
Reva tersenyum senang, penuh kemenangan, kemudian menegakan posisi duduk, tanpa mengalihkan sedikitpun atensi dari Vero.
"Bangun dulu, Uncle."
Vero memejam lagi sembari membuang napas kasar, merasa sangat terganggu atas tindakan Reva, ia beringsut, mendudukan diri dengan wajah suram penuh marah.
"Mau apa?" Vero bertanya dengan begitu dinginnya.
Bibir Reva refleks mencebik, membersamai hati yang agak perih seperti habis dicubit, sebab merasa mendapat bentakan untuk kali pertama dari Vero.
Menyadari ada perubahan suasana, Vero mengusap kasar permukaan wajahnya menggunakan telapak tangan sebelah kiri, lantas tersenyum lembut sembari menatap Reva, hangat. "Mau apa, hemmm?"
Pria tampan itu sengaja sekali merubah nada juga intonasi suara yang digunakan, berikut dengan tatapannya yang seketika meluruh, setelah menyadari Reva sempat terkejut, tadi.
Manik hazel indah Reva gemetar, menatap Vero, takut-takut. "Uncle gak boleh tidur duluan."
"Kenapa?"
"Ya soalnya, aku jadi bingung."
Vero mengernyitkan kening, sedang matanya agak memicing, menatap Reva, nanar. "Bingung kenapa?"
"Ya pokoknya bingung."
"Iya, bingung kenapa?"
"Bingung harus tidur di mana," cicit Reva, begitu pelan, nyaris saja tidak terdengar, sebab begitu bertutur, ia menundukan kepala, memutuskan kontak mata dengan Vero.
Vero sampai melongo, mulai merasa tidak habis pikir, mendapati alasan tidurnya diganggu oleh Reva, hanya karena sebuah alasan sederhana.
"Kan bisa tidur di sini. Gak harus berisik, Rev. Kamu ganggu tidur saya, kamu tahu?"
Vero kesal, jadinya sampai tidak sadar meninggikian intonasi pada kalimat kedua yang dilontarkan, memberi kesan seperti sedang membentak, membuat Reva sedikit terkesiap.
Menghela napas panjang dan mengembuskannya secara pelan, Vero berusaha untuk mensugestikan dirinya agar kembali tenang, kendati keadaan lelah juga mengantuk yang diganggu, membuatnya merasa cukup emosi.
"Ya udah." Reva menengadah secara perlahan, mencuri-curi pendang ke arah Vero, lantas menunjuk sisi lain dari tempat tidur yang kosong. "Uncle geser ke sana. Aku mau tidur sebelah sini."
Ada keinginan untuk setidaknya melabuhkan cubitan di kedua sisi pipi Reva, untuk sekadar melampiaskan kekesalan yang dirasa, tapi Vero memilih untuk menahannya.
Membuang napas kasar, pria tampan bersurai hitam legam itu lantas menuruti keinginan istri rewelnya, bergeser, menempati sisi kosong tempat tidur yang sebenarnya, sengaja ia sediakan untuk Reva, begitu wanitanya itu selesai membersihkan diri.
"Udah. Kamu puas sekarang?"
Reva melirik Vero. Bibirnya mencebik lagi, mengetahui jika dirinya sudah membuat suasana hati sang suami jadi tidak baik.
Memposisikan diri untuk bersiap berbaring, menarik selimut, Reva memunggungi Vero sembari meremat erat tepian selimut yang berlabuh di area dadanya.
Merasakan tempat tidur agak sedikit bergoyang, Reva memejam, sesaat.
"Uncle?"
"Hemmm?"
Tidak tahu mau bicara apa, toh sebenarnya Reva hanya ingin memastikan, jika suami tampannya itu belum kembali terlelap, hanya sudah memposisikan diri untuk berbaring, seperti dirinya.
Vero menunggu Reva kembali angkat suara, ketika mendapati sang istri hanya diam bergeming, ia menoleh. "Kamu mau ngomong apa?"
Mendengar Vero bertanya dengan nada lembut, tidak ada indikasi membentak atau kesal sama sekali, Reva lantas memberanikan diri untuk berbalik, menghadap ke arah Vero.
Saling bersitatap tanpa berucap selama beberapa detik, Reva menelan ludahnya dengan kepayahan. "Uncle."
"Hemmm?"
"Cerai yuk?"