/0/16668/coverbig.jpg?v=3a0f34e9c14140d83d17bf0f11ec80a9)
Sebastian Alvero Abraham, terjebak dalam sebuah ikatan suci pernikahan dengan Latasha Revalina Mahendra - gadis cantik yang memiliki usia delapan tahun lebih muda dari dirinya. "Nikah sama kamu, berasa lagi cosplay jadi pengasuh bocil." - Alvero "Bocil-bocil gini juga, gak kalah menggoda. Kayak mantan Uncle yang semok." - Revalina Vero tidak pernah mengira, jika menikah dengan Reva yang acap kali bersikap seperti anak kecil, membawa kebahagiaan tersendiri dalam hidupnya. Kebahagiaan yang selama ini tidak pernah ia rasakan, sebelumnya. "Uncle mau punya anak berapa sama aku?" - Revalina "Kalo ngomong kayak yang iya aja. Sok-sok'an nanya mau punya anak berapa, baru dicium aja udah panik setengah mati. Boro-boro unboxing, praktek bikin dedek bayi." - Alvero Saat sedang bahagia-bahagianya menikmati biduk rumah tangga, alasan Reva bersedia menikah dengan Vero, akhirnya terungkap ke permukaan. Bagaimana jika alasan tersebut membuat Vero kecewa? Lantas, akan seperti apa nasib pernikahan seumur jagung mereka ke depannya?
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis milik Latasha Revalina Mahendra yang berjarak, begitu wanita cantik berusia dua puluh tahun itu memasuki kamar.
Menggeleng tak habis pikir, kedua lengan Reva spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap sesosok pria tampan yang terbaring di permukaan ranjang.
Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, pribadi pemilik surai lurus dengan panjang sepinggang itu berjalan perlahan, menghampiri ranjang, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut.
"Uncle!" Reva menyeru pelan.
Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan kekar milik pria tampan yang ada di hadapan.
Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Reva membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah pria tampan tersebut.
"Uncle!" Reva kembali menyeru seraya melabuhkan sentuhan di permukaan bahu sebelah kanan Sebastian Alvero Abraham, tak lupa memberi sedikit guncangan berarti juga di sana.
"Eummm?" Vero - begitu singkatnya pria berusia dua puluh delapan tahun itu biasa disapa, mengerang pelan tanpa membuka pelupuk mata yang sedari tadi memang sudah memejam.
Mendapati Vero memberi respon begitu acuh, Reva membuang napas kasar, lantas menegakan kembali tubuhnya, duduk dengan posisi sempurna.
"Kok udah tidur? Gak nungguin aku?"
"Saya capek, Rev. Ngantuk juga," tutur Vero bernada gumaman yang nyaris terdengar ayalnya sebuah rengekan.
Reva mendengkus, kemudian mengedarkan pandangannya, sekilas. "Ini malem pertama kita loh, Uncle."
Hening. Vero diam lagi, tidak merespon perkataan Reva, karena kesadarannya sudah benar-benar hampir terkikis habis oleh rasa lelah juga kantuk.
"Uncle ....!" Reva merengek sembari kembali mengguncang bahu Vero, berharap tindakan yang dilakukan bisa membuat suami tampannya itu terbangun, lantas bersedia berbincang dengannya, meskipun hanya sebentar.
Kenyataan bahwa ini adalah malam pertamanya bersama Vero sebagai sepasang suami istri, membuat Reva jadi tidak bisa tenang.
Terlebih, wanita cantik pemilik senyum manis berlesung pipi itu, kini tengah berada di kamar yang ada di unit apartemen milik Vero.
"Uncle! Bangun dulu bentar." Reva kembali merengek sambil terus mengguncang bahu Vero, mengganggu tidur pria tampan yang telah resmi mempersunting dirinya siang tadi itu.
Vero mendengkus kesal, lantas menolehkan kepala, jadi tidur dalam posisi memunggungi Reva seutuhnya.
Agaknya pribadi tampan pemilik surai lembut berwarna hitam legam itu memang tidak sedikit pun memiliki niatan untuk meladeni rengekan sang istri.
Melihat Vero tak kunjung mengindahkan rengekan yang telah dilakukan, Reva mulai merasa kesal sendiri.
"Uncle bangun dulu, bisa gak sih?!"
Vero melenguh pelan. "Apa sih, Rev?" tanyanya, sembari menolehkan kepala ke arah Reva, tapi masih tak kunjung membuka mata.
Mendengkus kesal, Reva mengatupkan bibirnya cukup rapat, sedang kedua pipinya menyembul, menekuk hidung kecilnya hingga terlihat sedikit mengernyit dan tenggelam.
Menggerakan manik matanya dengan bimbang, sejurus kemudian, senyum nakal tertoreh di permukaan bibir wanita cantik itu, saat sebuah ide cemerlang datang menghinggapi benak.
Melabuhkan sentuhan lembut, lebih pada menggoda secara berkala di area bahu hingga dada bidang Vero, Reva membungkuk, mencondongkan tubuhnya lagi ke arah Vero seperti sebelumnya.
"Uncle gak mau unboxing aku dulu, gitu?" Bisikan itu menguar, terdengar cukup sensual, membersamai embusan napas bersuhu agak hangat yang berhambur, menyentuh daun telinga sebelah kanan Vero.
Vero kaget, meski sempat ada jeda tiga detik, selanjutnya pribadi tampan itu serta merta membuka pelupuk mata dengan pergerakan cepat.
Reva tersenyum senang, penuh kemenangan, kemudian menegakan posisi duduk, tanpa mengalihkan sedikitpun atensi dari Vero.
"Bangun dulu, Uncle."
Vero memejam lagi sembari membuang napas kasar, merasa sangat terganggu atas tindakan Reva, ia beringsut, mendudukan diri dengan wajah suram penuh marah.
"Mau apa?" Vero bertanya dengan begitu dinginnya.
Bibir Reva refleks mencebik, membersamai hati yang agak perih seperti habis dicubit, sebab merasa mendapat bentakan untuk kali pertama dari Vero.
Menyadari ada perubahan suasana, Vero mengusap kasar permukaan wajahnya menggunakan telapak tangan sebelah kiri, lantas tersenyum lembut sembari menatap Reva, hangat. "Mau apa, hemmm?"
Pria tampan itu sengaja sekali merubah nada juga intonasi suara yang digunakan, berikut dengan tatapannya yang seketika meluruh, setelah menyadari Reva sempat terkejut, tadi.
Manik hazel indah Reva gemetar, menatap Vero, takut-takut. "Uncle gak boleh tidur duluan."
"Kenapa?"
"Ya soalnya, aku jadi bingung."
Vero mengernyitkan kening, sedang matanya agak memicing, menatap Reva, nanar. "Bingung kenapa?"
"Ya pokoknya bingung."
"Iya, bingung kenapa?"
"Bingung harus tidur di mana," cicit Reva, begitu pelan, nyaris saja tidak terdengar, sebab begitu bertutur, ia menundukan kepala, memutuskan kontak mata dengan Vero.
Vero sampai melongo, mulai merasa tidak habis pikir, mendapati alasan tidurnya diganggu oleh Reva, hanya karena sebuah alasan sederhana.
"Kan bisa tidur di sini. Gak harus berisik, Rev. Kamu ganggu tidur saya, kamu tahu?"
Vero kesal, jadinya sampai tidak sadar meninggikian intonasi pada kalimat kedua yang dilontarkan, memberi kesan seperti sedang membentak, membuat Reva sedikit terkesiap.
Menghela napas panjang dan mengembuskannya secara pelan, Vero berusaha untuk mensugestikan dirinya agar kembali tenang, kendati keadaan lelah juga mengantuk yang diganggu, membuatnya merasa cukup emosi.
"Ya udah." Reva menengadah secara perlahan, mencuri-curi pendang ke arah Vero, lantas menunjuk sisi lain dari tempat tidur yang kosong. "Uncle geser ke sana. Aku mau tidur sebelah sini."
Ada keinginan untuk setidaknya melabuhkan cubitan di kedua sisi pipi Reva, untuk sekadar melampiaskan kekesalan yang dirasa, tapi Vero memilih untuk menahannya.
Membuang napas kasar, pria tampan bersurai hitam legam itu lantas menuruti keinginan istri rewelnya, bergeser, menempati sisi kosong tempat tidur yang sebenarnya, sengaja ia sediakan untuk Reva, begitu wanitanya itu selesai membersihkan diri.
"Udah. Kamu puas sekarang?"
Reva melirik Vero. Bibirnya mencebik lagi, mengetahui jika dirinya sudah membuat suasana hati sang suami jadi tidak baik.
Memposisikan diri untuk bersiap berbaring, menarik selimut, Reva memunggungi Vero sembari meremat erat tepian selimut yang berlabuh di area dadanya.
Merasakan tempat tidur agak sedikit bergoyang, Reva memejam, sesaat.
"Uncle?"
"Hemmm?"
Tidak tahu mau bicara apa, toh sebenarnya Reva hanya ingin memastikan, jika suami tampannya itu belum kembali terlelap, hanya sudah memposisikan diri untuk berbaring, seperti dirinya.
Vero menunggu Reva kembali angkat suara, ketika mendapati sang istri hanya diam bergeming, ia menoleh. "Kamu mau ngomong apa?"
Mendengar Vero bertanya dengan nada lembut, tidak ada indikasi membentak atau kesal sama sekali, Reva lantas memberanikan diri untuk berbalik, menghadap ke arah Vero.
Saling bersitatap tanpa berucap selama beberapa detik, Reva menelan ludahnya dengan kepayahan. "Uncle."
"Hemmm?"
"Cerai yuk?"
Sagara Tyson Murphy sangat mencintai Janessa Kennedy Jordan, sampai ia memantapkan hati untuk menikahi gadis yang sudah ia kencani cukup lama itu. Mendapati kenyataan pahit bahwa Jane mengalami kecelakaan sampai meninggal dunia, bahkan sebelum ia bisa menjadikan sang kekasih sebagai miliknya secara utuh, tentu Saga merasa dunianya hancur. Mengetahui Aluna Jaylee Morris yang dijadikan tersangka dari kecelakaan yang membuat sang kekasih meregang nyawa masih bisa hidup bebas, Saga amat sangat murka hingga menaruh dendam yang begitu membara pada gadis itu. "Aku akan membuat hidupmu menderita, layaknya dalam sebuah neraka!" - Saga "Lakukan apapun padaku. Kau ingin aku menderita? Silakan! Tapi jangan pernah kau sakiti satupun orang terdekatku!" - Aluna Urung untuk membatalkan rencana pernikahan yang sudah tersusun begitu rapi, Saga memutuskan untuk menjadikan Luna sebagai pengantin pengganti dengan tujuan, agar ia bisa lebih leluasa membuat hidup Luna berada di bawah kendalinya. Luna hanya bisa parsah, meskipun hidupnya dihancurkan dengan cara sedemikian rupa oleh Saga. Akankah selamanya dendam itu membara dalam hati Saga, meskipun seiring berjalannya waktu kebenaran di balik kecelakaan yang menimpa Jane terkuak?
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Jatuh cinta bisa terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali pada istri orang. Itulah yang terjadi pada Alex Spencer, pria pengangguran yang hidup menumpang pada istrinya, Tracy. Pesona Tessa membuatnya jatuh cinta teramat jauh. Sedang, Tessa merupakan istri Kapten Pasukan Elit Angakat Darat Salvador, Leo Willborwn. Jika dibandingkan dengannya, jelas Leo jauh lebih baik dari segi apa pun. Hanya saja, Tessa sering kesepian saat suaminya pergi bertugas. Kesempatan itu pun Alex gunakan untuk menjerat Tessa dalam hasrat gilanya. Mampukah Tessa menahan derasnya godaan birahi?
Tessa Willson dan Leonil Scoth telah menikah hampir dua tahun lamanya. Kesibukan Leo membuat Tessa merasa kesepian. Apa lagi akhir-akhir ini Leo tak pernah membuatnya puas di atas ranjang. Akibatnya Tessa sangat kecewa. Sampai akhirnya Arnold Caldwell datang di kehidupan Tessa dan Leo. Arnold adalah ayah sambung Leo. Arnold datang ke kota New York tadinya untuk urusan bisnis. Namun siapa sangka justru Arnold malah tertarik pada pesona Tessa. Keduanya pun berselingkuh di belakang Leo. Arnold memberikan apa yang tidak Tessa dapatkan dari Leo. Tessa merasakan gairahnya lagi bersama Arnold. Namun di saat Tessa ingin mengakhiri semuanya, dirinya justru malah terjebak dalam permainan licik Arnold. Mampukah Tessa terlepas dari cengkeraman gairah Arnold, dan mempertahankan pernikahannya dengan Leo?
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.
Harap bijak dalam membaca... Bisa mengantar dalam halusinasi untuk berhubungan badan!
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.