Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Ada Cinta di Meja Hijau
Ada Cinta di Meja Hijau

Ada Cinta di Meja Hijau

5.0
75 Bab
1.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Anita Putri adalah pengacara hebat dengan penampilan sederhana dan bertubuh gendut. Dia jatuh cinta pada Adrian Hartono, pengacara muda tampan sekaligus anak pemilik Hartono Firm, yang selalu bergantung padanya untuk memenangkan kasus-kasus penting. Namun, hati Anita hancur saat menyadari Adrian hanya memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Dalam kekecewaan dan amarah, Anita bertekad mengubah penampilannya menjadi menarik. Transformasi ini bukan hanya untuk membalas dendam pada Adrian, tetapi juga untuk menemukan jati diri dan kekuatan sejatinya. "Ada Cinta di meja hijau" adalah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan penemuan diri yang akan membuat Anda terpikat hingga halaman terakhir. Apakah perubahan fisik mampu mengubah nasib dan perasaannya? Temukan jawabannya dalam perjalanan emosional yang penuh kejutan ini!

Bab 1 Wanita Gendut

Anita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia berdiri di lobby Hartono Firm, firma hukum ternama yang menjadi impiannya sejak lama. Tangannya yang berkeringat menggenggam erat map berisi lamaran pekerjaan sebagai pengacara junior.

"Kau bisa melakukannya, Anita," bisiknya pada diri sendiri, berusaha mengabaikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya.

Memang, penampilannya tidak seperti pengacara pada umumnya. Tubuhnya yang gempal dibalut blazer kusut, rambut keritingnya mencuat ke segala arah, dan kacamata tebalnya hampir menutupi separuh wajahnya. Tapi Anita tahu, yang terpenting adalah otaknya yang brilian.

Dia melangkah mantap menuju meja resepsionis, namun tiba-tiba...

BRUK!

"Astaga!" seru sebuah suara maskulin.

Anita terhuyung ke belakang, map di tangannya jatuh berhamburan. Matanya yang membelalak menatap ngeri pada noda coklat besar yang kini menghiasi jas putih pria di hadapannya.

"Ya Tuhan, maafkan saya! Saya tidak sengaja, sungguh!" Anita buru-buru memunguti berkasnya yang berserakan.

Pria itu, dengan rambut hitam yang ditata rapi dan mata setajam elang, menatapnya dengan murka. "Kau... Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?!"

Anita menelan ludah. "Sa-saya minta maaf, Tuan. Saya akan mengganti jas Anda, saya janji!"

Pria itu mendengus. "Mengganti? Dengan apa? Uang hasil mengemis?"

Kata-kata itu menohok Anita. Dia mendongak, menatap pria itu dengan campuran rasa terkejut dan terluka.

"Dengar, Nona..." pria itu melanjutkan, suaranya penuh ejekan, "Jas ini harganya mungkin lebih mahal dari seluruh isi lemarimu. Jadi sebaiknya kau..."

"Cukup." Anita berdiri, suaranya bergetar namun tegas. "Saya memang bukan orang kaya, tuan tapi saya punya harga diri. Dan saya tidak akan membiarkan siapapun untuk menginjak-injaknya, semahal apapun jas yang dia kenakan."

Pria itu terkesiap, jelas tidak menyangka akan mendapat perlawanan. Karena selama ini tidak ada seorang pun di kantor ini berani membatah apalagi berani melawannya. Dia baru akan membalas ketika sebuah suara menginterupsi.

"Adrian! Kita harus segera berangkat. Klien kita sudah menunggu."

Adrian – rupanya itu nama si pria arogan – menoleh ke arah rekannya dengan kesal. Dia kembali menatap Anita, matanya menyipit berbahaya.

"Ini belum selesai," desisnya. "Kau akan menyesal telah berurusan denganku."

Setelah mengatakan itu, Adrian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Anita yang masih berdiri kaku di tempatnya. Anita baru ingat kalau yang dia hadapi ini adalah putra mahkota dari pemilik Hartono Firm setelah orang itu memanggil nama pria itu dengan sebutan Adrian karena kemarin dia sempat membuka website perusahaan ini muncull wajah pria itu yang sama persis dengan Adrian sang pewaris tahta Hartono Firm.

Anita menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Hari pertamanya di Hartono Firm belum dimulai, tapi dia sudah membuat musuh. Dan bukan sembarang musuh – melainkan Adrian, yang ternyata adalah putra pemilik firma ini.

"Bodoh, bodoh, bodoh!" rutuknya dalam hati. "Bagaimana bisa aku tidak mengenali wajahnya? Padahal sudah berjam-jam menelusuri internet tentang firma ini."

Bayangan wajah Adrian yang tersenyum formal di website perusahaan berkelebat di benaknya. Anita menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan bersalah yang mulai menggerogoti.

"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur," gumamnya, menegakkan bahu. "Aku harus fokus pada tujuan awalku."

Dengan tekad yang diperbaharui, Anita melangkah menuju meja resepsionis. Di balik meja itu, duduk seorang wanita dengan dandanan mencolok – lipstik merah menyala dan rambut pirang yang disanggul tinggi.

"Selamat pagi," sapa Anita, berusaha terdengar profesional.

Resepsionis itu mendongak, matanya menyipit saat melihat penampilan Anita dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin bertemu dengan Pak Yanto," ujar Anita, berusaha mengabaikan tatapan menilai si resepsionis. "Untuk melamar sebagai pengacara."

Si resepsionis menaikkan alis, jelas-jelas terkejut. "Apakah Anda sudah membuat janji sebelumnya?"

Anita menggeleng. "Belum, tapi-"

"Maaf," potong si resepsionis dengan nada jengkel, "tapi Pak Yanto adalah manajer HRD yang sangat sibuk. Tanpa janji, Anda tidak bisa menemuinya."

"Bisakah Anda menghubunginya dulu? Katakan saja Anita ingin bertemu," Anita bersikeras.

Si resepsionis berdecak. "Memangnya Anda ini siapanya Pak Yanto?"

"Saya bukan siapa-siapanya," jawab Anita jujur.

"Kalau begitu, Anda harus membuat janji dulu," ujar si resepsionis dengan nada final. "Lagipula, firma kami sedang tidak membuka lowongan pengacara saat ini."

Anita mulai merasa frustasi. "Tapi saya-"

"Dan kalaupun ada," lanjut si resepsionis, matanya menyapu penampilan Anita sekali lagi, "kami tidak akan mempekerjakan pengacara dengan... penampilan seperti Anda."

Kata-kata itu menohok Anita tepat di ulu hati. Amarah yang tadinya sudah mereda kini kembali bergejolak.

"Dengar," kata Anita, suaranya rendah dan tegas. "Saya tahu penampilan saya mungkin tidak sesuai standar firma ini. Tapi saya di sini bukan karena kebetulan atau iseng."

Si resepsionis terlihat terkejut dengan perubahan sikap Anita.

"Saya datang ke sini," lanjut Anita, "atas permintaan langsung dari Bapak Hartono."

Mata si resepsionis melebar. "A-apa?"

"Ya, Anda tidak salah dengar," Anita menegaskan. "Bapak Hartono sendiri yang meminta saya untuk menemui Pak Yanto dan melamar sebagai pengacara junior di firma ini."

Suasana di lobby mendadak hening. Beberapa orang yang lewat bahkan berhenti untuk mendengarkan.

Si resepsionis tampak kebingungan. Dia menatap Anita dengan campuran ketidakpercayaan dan kecurigaan. "Tapi... bagaimana mungkin? Maksud saya, Anda..."

"Saya apa?" tantang Anita. "Terlalu gendut? Terlalu culun? Atau terlalu berani untuk datang ke sini dan mengklaim hal seperti itu?"

Si resepsionis tergagap, tidak mampu menjawab.

Anita menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Saya mengerti ketidakpercayaan Anda. Tapi saya bersumpah, saya tidak berbohong. Silakan hubungi Pak Hartono jika Anda ragu."

Keraguan terlihat jelas di wajah si resepsionis. Dia melirik telepon di mejanya, lalu kembali menatap Anita.

"Baiklah," akhirnya si resepsionis berkata. "Saya akan menghubungi Pak Yanto. Tapi jika ternyata Anda berbohong..."

"Saya siap menerima konsekuensinya," potong Anita tegas.

Dengan tangan sedikit gemetar, si resepsionis meraih gagang telepon dan mulai menekan nomor. Anita menunggu dengan jantung berdebar, menyadari bahwa inilah momen yang akan menentukan masa depannya.

Sementara si resepsionis berbicara pelan di telepon, Anita merasakan tatapan orang-orang di sekitarnya. Beberapa berbisik-bisik, yang lain menatap penuh rasa ingin tahu. Tapi Anita tetap berdiri tegak, menolak untuk terintimidasi.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, si resepsionis meletakkan gagang telepon. Wajahnya pucat pasi.

"Pak Yanto akan menemui Anda sekarang," ujarnya dengan suara bergetar. "Silakan tunggu di sana. Beliau akan turun sebentar lagi."

Anita mengangguk, berusaha menyembunyikan kelegaan yang membanjiri dirinya. Dia berbalik, bermaksud untuk duduk di area tunggu, ketika matanya menangkap sosok yang membuat darahnya membeku.

Di ujung lobby, berdiri Adrian dengan wajah terkejut... dan murka.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 75 Kebersamaan di tengah rasa sakit   Kemarin21:33
img
1 Bab 1 Wanita Gendut
20/07/2024
2 Bab 2 Diterima
20/07/2024
3 Bab 3 Keluarga Cemara
20/07/2024
4 Bab 4 Tim Baru
20/07/2024
7 Bab 7 Pelayan kopi
24/07/2024
10 Bab 10 Tunangan
25/07/2024
11 Bab 11 Lapis Legit
25/07/2024
13 Bab 13 Kasus Rumit
29/07/2024
14 Bab 14 Hinaan Thomas
30/07/2024
17 Bab 17 Kasus pertama
04/08/2024
18 Bab 18 Perdebatan
05/08/2024
20 Bab 20 Sarapan bersama
17/08/2024
21 Bab 21 Bertemu Clara
17/08/2024
23 Bab 23 b
19/08/2024
26 Bab 26 Misi rahasia
24/08/2024
33 Bab 33 Kesaksian Clara
31/08/2024
36 Bab 36 Sidang Putusan
05/09/2024
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY