Sedih dan terluka hati Raisa saat suami yang dicintainya meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya seorang bayi mungil yang ternyata anak kandung suaminya.
Sedih dan terluka hati Raisa saat suami yang dicintainya meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya seorang bayi mungil yang ternyata anak kandung suaminya.
"Kenapa ayah selalu bohongi kita Bu," tanya Wilma, mukanya ditekuk dan tampak kesal, gadis kecil berusia lima tahun itu kecewa karena ayahnya gagal pulang.
Raisa, wanita berusia 23 tahun itu menatap iba wajah putrinya. Azizur, suami Raisa semalam mengabarkan bahwa hari ini akan pulang dan berjanji akan mengajak mereka jalan-jalan, setelah seminggu suaminya itu keluar kota karena urusan pekerjaan dari kantornya.
Wilma yang ceria membayangkan berbagai macam mainan baru, pagi sudah bersiap menunggu kepulangan ayahnya harus kecewa untuk kesekian kalinya setelah mendengar obrolan orang tuanya yang mengabarkan bahwa ayahnya gagal pulang.
"Pekerjaan ayah belum selesai Nak, nanti kalau sudah selesai ayah pasti pulang," Raisa berusaha menjelaskan kepada Wilma.
"Ayah bohong! Ayah nggak sayang sama Wilma!" seru Wilma sambil menangis terisak-isak, gadis kecil itu berlari masuk kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan ibunya yang sedang berusaha membujuknya.
"Sabar sayang, ayah pasti pulang kok, kita keluar jalan- jalan berdua yuk?" Raisa membujuk Wilma yang semakin keras tangisnya.
Ddrrtt-ddrrrttt.
Deringan telepon mengurungkan gerakan tangan Raisa untuk memeluk putrinya. Dalam hatinya berharap panggilan itu dari suaminya dan memberi kabar baik untuk dirinya dan Wilma.
"Hallo, selamat pagi, apakah benar ini keluarga pak Azizur?" sebuah panggilan yang ternyata dari salah satu rumah sakit di kotanya membuat seluruh sendi Raisa seakan terlepas, badannya lemas ketika mendengar kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan.
Raisa baru saja sampai di depan ruang UGD ketika pintu ruangan tersebut dibuka.
"Ada keluarga bapak Azizur di sini?" tanya suster yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
" Ya, saya Sus,saya ist..."
" Silakan masuk Bu, beliau ingin ketemu keluarganya, dan mengenai istrinya, satu jam yang lalu sudah melahirkan bayinya dengan selamat," ujar suster bernama Diva itu memotong kalimat Raisa.
"Mma-maksud suster, istrinya?" tanya Raisa terbata-bata, dia menatap suster itu dengan tatapan tajam dan minta penjelasan.
"Benar Bu, bapak Azizur mengalami kecelakaan karena terlalu laju mengemudikan mobilnya, mungkin setelah menerima panggilan dari kami, karena istrinya meminta kami untuk menghubunginya," jelas suster Diva, dan kemudian pamit pergi karena ada tugas lain.
Tubuh Raisa lemas mendengar penjelasan suster Diva, lantai yang dipijaknya seolah berputar, tubuhnya oleng dan untung saja ada seseorang dengan sigap menangkap tubuh kurus Raisa, lalu menuntun dan mendudukkannya di salah satu kursi yang berada di dekatnya.
"Minum dulu Mbak," ujar wanita paruh baya yang duduk di sebelah Raisa sambil menyodorkan sebuah botol kecil yang berisi air mineral. Raisa tak bergeming, pandangannya kosong.
"Mbak?" Raisa tersentak ketika wanita itu memegang pundaknya dengan lembut.
"Mbak kenapa, siapa yang sakit?" tanya wanita itu dengan ramah dan lembut.
"Su-suami saya Bu," jawab Raisa lirih, tangisnya pecah saat itu juga.
"Keluarga bapak Azizur, silakan masuk!" mendengar nama suaminya disebut Raisa baru sadar kalau dari tadi suaminya sudah menunggunya di dalam.
Raisa menghela nafas dalam-dalam, lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, dan sebelum pergi Raisa tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita paruh baya berjilbab biru yang menolongnya tadi.
Raisa terpaku di dekat tempat tidur, di mana suaminya terbaring tak berdaya. Kepalanya diperban, wajah penuh luka dan lebam membuat Raisa hampir tak mengenalinya.
Amarah yang meluap mendadak sirna, beberapa pertanyaan yang hendak dilontarkan dia singkirkan karena iba melihat keadaannya.
"Mas Aziz," Raisa memanggil suaminya dengan lirih. Air matanya tak terbendung lagi. Dia meraih tangan suaminya, diusapnya telapak tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya selama enam tahun itu dengan lembut.
"Ic-Ica," Raisa tersentak mendengar suara suaminya. Ica adalah nama panggilannya sejak kecil.
"Iya Mas, ini aku di sini," sahut Raisa pelan, dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya.
"Wil-Wilmma ma-na?" tanya Azizur terbata-bata. Tampak gurat kesedihan dan penyesalan di wajahnya karena rasa bersalah.
"Wilma aku titipkan di rumah mbak Salina," jawab Raisa, Salina adalah kakak sulung Azizur yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit.
"Mma-maafkan maaass," ucap Azizur tersendat-sendat, air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Kata dokter jangan banyak bicara dulu, mas harus istirahat biar cepat pulih," tutur Raisa dengan lembut, diusapnya air mata yang mengalir di pipi suaminya dengan pelan.
"Tol- tolong ambil, am-mbil," dengan bibir bergetar Azizur berkata sambil menunjuk sesuatu di atas meja kecil yang terletak di sebelah tempatnya berbaring. Mata Raisa mengikuti arah yang ditunjuk suaminya, ada ponsel suaminya di atas meja kecil tersebut.
Dengan tangan gemetar Azizur memegang benda pipih berwarna hitam miliknya, dan gemetar jari-jemari tangannya semakin ketara ketika membuka sebuah aplikasi di benda pipihnya itu.
"Hes-Hesti," Azizur menunjukkan sebuah foto pernikahan dirinya dan seorang wanita dengan tangannya yang semakin gemetar. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, dan hanya kata HESTI yang mampu terkeluar dari bibirnya.
Raisa menatap foto-foto yang tersimpan di ponsel suaminya dengan pandangan nanar. Karena tak sanggup lagi untuk melihatnya, dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rasanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Beberapa saat Raisa menyembunyikan tangisnya di balik kedua telapak tangannya. Suasana hening, tak ada suara atau hembusan nafas Azizur, Raisa menurunkan telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya dengan perlahan.
Raisa terkesiap!
Suaminya diam, kedua matanya terpejam, ponsel yang tadi dalam genggamannya tergeletak di atas perut suaminya.
Raisa memegang tangan suaminya, terasa dingin, lalu digoncang-goncangkan tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya, suaminya tetap diam dan tak bergeming. Dengan panik ditekannya tombol yang berada di dekatnya.
"Innalillahiwainalilahi roji'un," ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Azizur, yang disahuti oleh dua suster yang menyertainya.
"Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Allah lebih sayang terhadap pak Azizur, kami turut berduka cita," ujar dokter itu dengan pelan, lalu mengarahkan apa-apa yang harus dilakukan oleh kedua suster tadi.
Dengan sigap dan cekatan kedua suster itu mengurus jenazah Azizur, mereka menutup seluruh tubuh Azizur dengan selimut.
Raisa diam terpaku, bergeming dari tempatnya berdiri. Pandangannya kosong. Dan ketika tempat tidur di mana jasad suaminya terbaring bergerak keluar, Raisa baru tersadar, ditatapnya jasad suaminya yang ditutup selimut itu semakin
menjauh dibawa oleh kedua suster dan petugas rumah sakit.
"Mas Aziiizz!" Raisa menangis dan menjerit memanggil suaminya. Dia tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, dia ingin berlari mengejar mereka yang membawa jasad suaminya, tapi kedua kakinya seolah terkunci di tempatnya berdiri.
"Ibu," seorang suster datang menghampiri Raisa, dalam dekapannya ada bayi perempuan mungil yang dibedong warna biru muda.
Raisa bergeming, pandangannya kosong menatap keluar ruangan. Lalu suster itu menyentuh pundaknya, hingga membuat Raisa terperanjat.
"Maaf Bu, kami turut berduka cita atas meninggalnya bapak Azizur, dan ini anaknya pak Azizur," ujar suster yang tag namanya bertuliskan Yulia.
Raisa mundur selangkah ketika suster Yulia mengangsurkan bayi mungil itu padanya. Dia menggelengkan kepalanya. Suster Yulia menatap bingung melihat sikap Raisa.
"Saya nggak mau, itu bukan anak saya," tolak Raisa, diliriknya bayi mungil itu. Mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan suaminya, timbul rasa benci melihat wajah mungil yang tak berdosa itu.
"Tolong kerja samanya Bu, ibu bayi ini pergi setelah melahirkan tanpa memberi tahu kami, beliau meninggalkan bayinya dan ini," ujar suster Yulia sambil menyodorkan selembar kertas berwarna putih.
Raisa menerima kertas itu dan membacanya dalam hati.
"Assallamualaikum Mas, maafkan saya karena tak bisa mewujudkan keinginanmu dan ibumu. Lahirnya Ziana mungkin mengecewakanmu, terutama ibumu. Oleh itu terpaksa saya pergi, tolong jaga dan sayangi Ziana walaupun kehadirannya tak di harapkan. Ziana darah dagingmu Mas. Saya doakan semoga mbak Raisa secepatnya hamil dan bisa menghadirkan seorang putra untukmu, dan membuat bahagia ibumu.
Terima kasih atas segalanya."
HESTI
Raisa menelan saliva setelah membaca surat tersebut. Kedua sudut matanya mengembun.
"Jadi perempuan bernama Hesti itu nggak tahu kalau mas Aziz meninggal," gumam Raisa sambil melipat kembali kertas itu dan memasukkannya dalam tas kecilnya.
"Ini bayinya Bu, dia cantik loh," ucap suster Yulia sambil menyerahkan balutan kain bedong berisi bayi mungil tersebut.
"Saya bilang nggak mau, ya nggak mau Sus! Ini bukan anak saya!" Raisa menolaknya dengan kasar.
Suster Yulia terkesiap, wanita yang dikenal orang sebagai suster cantik yang sabar itu tampak menghela nafas panjang, dia merasa kesal tapi berusaha mengendalikan emosinya.
"Baiklah Bu, kalau memang ibu nggak mau menerima dan merawat bayi cantik tak berdosa ini..." suster Yulia sengaja menggantung kalimatnya, dia sengaja menunggu reaksi dari Raisa.
Raisa melirik sekilas ke arah bayi mungil yang sudah diberi nama Ziana itu, dalam hatinya timbul perasaan iba, tapi di sisi lain hatinya merasa sangat sakit hati karena dikhianati oleh suami yang selama ini sangat dipercayai kesetiaannya.
"Kami, pihak rumah sakit akan menyerahkan bayi cantik tak berdosa ini ke panti asuhan," ucap suster Yulia dengan nada tegas, karena Raisa diam tak bergeming dan tak menanggapi apa yang disampaikannya.
"Terserah, itu bukan urusan saya Sus, karena itu bukan anak saya," sahut Raisa pelan, dalam diam dia mencuri pandang ke arah bayi mungil itu, dan saat itu juga kedua mata bayi itu terbuka seolah menatapnya dengan tatapan sayu.
Mendengar ucapan Raisa, suster Yulia merasa geram, bergegas dia pergi dari hadapan Raisa tanpa sepatah kata pun, sambil berjalan didekapnya bayi mungil itu dengan erat, tanpa sadar air matanya mengalir di pipinya.
"Kalau memang nggak ada yang mau merawatmu, biar ibu yang menjaga dan merawatmu Nak," ucap suster Yulia lirih sambil mencium pipi bayi mungil itu.
"Suster! Tunggu!"
Tentang Kirani, wanita muda yang bergelar istri yang terpaksa menjadi wanita malam demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga suaminya.
Tentang Farah, ibu rumah tangga muda yang terpaksa menumbalkan putrinya karena terjerat hutang rentenir.
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
Alea Marisa Herlambang adalah gadis 19 tahun yang cantik dan cerdas. Gadis yang selalu patuh pada orang tua dan tidak pernah macam-macam. Setelah ayahnya terlibat kasus korupsi besar yang banyak merugikan negara, Alea bukan hanya ikut menjadi bahan bully semua orang di penjuru negeri, dia juga harus terpaksa berhenti dari kuliahnya dan kehilangan masa depan. Harta keluarganya dibekukan negara, ibunya mendadak struk karena suaminya yang tertangkap bersama wanita muda di sebuah hotel. Alea sudah tidak memiliki apa-apa dan tidak mungkin dia mengharap belas kasihan keluarga paman serta bibinya terus-menerus. Selain itu juga tidak ada yang mau memperkerjakan anak seorang koruptor, semua orang mencaci dan membencinya, bahkan memberi doa buruk untuk mereka. Untuk bisa mengurus ibunya Alea terpaksa menikah dengan seorang duda beranak satu yang anak laki-lakinya juga merupakan teman Alea di kampus. Apakah Alea akan tahan menjalani pernikahan dengan pria yang terlihat lebih pantas menjadi ayahnya? sementara anak laki-laki dari suaminya itu juga mencintai Alea sejak lama dan tidak pernah berhenti mengganggunya.
PEMUAS TANPA BATAS (21+) Tak pernah ada kata mundur untuk tigas mulia yang sangat menikmatkan ini.
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Jika hasrat bagaikan sebilah pedang, pertemuan mereka sudah membuatnya terluka dalam keheningan. Dia menjalani hidup yang penuh dengan bahaya dan kenikmatan-tak pernah menyangka adanya seorang wanita yang bisa membuatnya lengah.
© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY