/0/19715/coverbig.jpg?v=0fe2ff0e88fc764b18bcd2ad52090689)
Sedih dan terluka hati Raisa saat suami yang dicintainya meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya seorang bayi mungil yang ternyata anak kandung suaminya.
Sedih dan terluka hati Raisa saat suami yang dicintainya meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya seorang bayi mungil yang ternyata anak kandung suaminya.
"Kenapa ayah selalu bohongi kita Bu," tanya Wilma, mukanya ditekuk dan tampak kesal, gadis kecil berusia lima tahun itu kecewa karena ayahnya gagal pulang.
Raisa, wanita berusia 23 tahun itu menatap iba wajah putrinya. Azizur, suami Raisa semalam mengabarkan bahwa hari ini akan pulang dan berjanji akan mengajak mereka jalan-jalan, setelah seminggu suaminya itu keluar kota karena urusan pekerjaan dari kantornya.
Wilma yang ceria membayangkan berbagai macam mainan baru, pagi sudah bersiap menunggu kepulangan ayahnya harus kecewa untuk kesekian kalinya setelah mendengar obrolan orang tuanya yang mengabarkan bahwa ayahnya gagal pulang.
"Pekerjaan ayah belum selesai Nak, nanti kalau sudah selesai ayah pasti pulang," Raisa berusaha menjelaskan kepada Wilma.
"Ayah bohong! Ayah nggak sayang sama Wilma!" seru Wilma sambil menangis terisak-isak, gadis kecil itu berlari masuk kembali ke kamarnya tanpa memperdulikan ibunya yang sedang berusaha membujuknya.
"Sabar sayang, ayah pasti pulang kok, kita keluar jalan- jalan berdua yuk?" Raisa membujuk Wilma yang semakin keras tangisnya.
Ddrrtt-ddrrrttt.
Deringan telepon mengurungkan gerakan tangan Raisa untuk memeluk putrinya. Dalam hatinya berharap panggilan itu dari suaminya dan memberi kabar baik untuk dirinya dan Wilma.
"Hallo, selamat pagi, apakah benar ini keluarga pak Azizur?" sebuah panggilan yang ternyata dari salah satu rumah sakit di kotanya membuat seluruh sendi Raisa seakan terlepas, badannya lemas ketika mendengar kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan.
Raisa baru saja sampai di depan ruang UGD ketika pintu ruangan tersebut dibuka.
"Ada keluarga bapak Azizur di sini?" tanya suster yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
" Ya, saya Sus,saya ist..."
" Silakan masuk Bu, beliau ingin ketemu keluarganya, dan mengenai istrinya, satu jam yang lalu sudah melahirkan bayinya dengan selamat," ujar suster bernama Diva itu memotong kalimat Raisa.
"Mma-maksud suster, istrinya?" tanya Raisa terbata-bata, dia menatap suster itu dengan tatapan tajam dan minta penjelasan.
"Benar Bu, bapak Azizur mengalami kecelakaan karena terlalu laju mengemudikan mobilnya, mungkin setelah menerima panggilan dari kami, karena istrinya meminta kami untuk menghubunginya," jelas suster Diva, dan kemudian pamit pergi karena ada tugas lain.
Tubuh Raisa lemas mendengar penjelasan suster Diva, lantai yang dipijaknya seolah berputar, tubuhnya oleng dan untung saja ada seseorang dengan sigap menangkap tubuh kurus Raisa, lalu menuntun dan mendudukkannya di salah satu kursi yang berada di dekatnya.
"Minum dulu Mbak," ujar wanita paruh baya yang duduk di sebelah Raisa sambil menyodorkan sebuah botol kecil yang berisi air mineral. Raisa tak bergeming, pandangannya kosong.
"Mbak?" Raisa tersentak ketika wanita itu memegang pundaknya dengan lembut.
"Mbak kenapa, siapa yang sakit?" tanya wanita itu dengan ramah dan lembut.
"Su-suami saya Bu," jawab Raisa lirih, tangisnya pecah saat itu juga.
"Keluarga bapak Azizur, silakan masuk!" mendengar nama suaminya disebut Raisa baru sadar kalau dari tadi suaminya sudah menunggunya di dalam.
Raisa menghela nafas dalam-dalam, lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, dan sebelum pergi Raisa tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita paruh baya berjilbab biru yang menolongnya tadi.
Raisa terpaku di dekat tempat tidur, di mana suaminya terbaring tak berdaya. Kepalanya diperban, wajah penuh luka dan lebam membuat Raisa hampir tak mengenalinya.
Amarah yang meluap mendadak sirna, beberapa pertanyaan yang hendak dilontarkan dia singkirkan karena iba melihat keadaannya.
"Mas Aziz," Raisa memanggil suaminya dengan lirih. Air matanya tak terbendung lagi. Dia meraih tangan suaminya, diusapnya telapak tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya selama enam tahun itu dengan lembut.
"Ic-Ica," Raisa tersentak mendengar suara suaminya. Ica adalah nama panggilannya sejak kecil.
"Iya Mas, ini aku di sini," sahut Raisa pelan, dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya.
"Wil-Wilmma ma-na?" tanya Azizur terbata-bata. Tampak gurat kesedihan dan penyesalan di wajahnya karena rasa bersalah.
"Wilma aku titipkan di rumah mbak Salina," jawab Raisa, Salina adalah kakak sulung Azizur yang rumahnya tak jauh dari rumah sakit.
"Mma-maafkan maaass," ucap Azizur tersendat-sendat, air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Kata dokter jangan banyak bicara dulu, mas harus istirahat biar cepat pulih," tutur Raisa dengan lembut, diusapnya air mata yang mengalir di pipi suaminya dengan pelan.
"Tol- tolong ambil, am-mbil," dengan bibir bergetar Azizur berkata sambil menunjuk sesuatu di atas meja kecil yang terletak di sebelah tempatnya berbaring. Mata Raisa mengikuti arah yang ditunjuk suaminya, ada ponsel suaminya di atas meja kecil tersebut.
Dengan tangan gemetar Azizur memegang benda pipih berwarna hitam miliknya, dan gemetar jari-jemari tangannya semakin ketara ketika membuka sebuah aplikasi di benda pipihnya itu.
"Hes-Hesti," Azizur menunjukkan sebuah foto pernikahan dirinya dan seorang wanita dengan tangannya yang semakin gemetar. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, dan hanya kata HESTI yang mampu terkeluar dari bibirnya.
Raisa menatap foto-foto yang tersimpan di ponsel suaminya dengan pandangan nanar. Karena tak sanggup lagi untuk melihatnya, dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rasanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Beberapa saat Raisa menyembunyikan tangisnya di balik kedua telapak tangannya. Suasana hening, tak ada suara atau hembusan nafas Azizur, Raisa menurunkan telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya dengan perlahan.
Raisa terkesiap!
Suaminya diam, kedua matanya terpejam, ponsel yang tadi dalam genggamannya tergeletak di atas perut suaminya.
Raisa memegang tangan suaminya, terasa dingin, lalu digoncang-goncangkan tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya, suaminya tetap diam dan tak bergeming. Dengan panik ditekannya tombol yang berada di dekatnya.
"Innalillahiwainalilahi roji'un," ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Azizur, yang disahuti oleh dua suster yang menyertainya.
"Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Allah lebih sayang terhadap pak Azizur, kami turut berduka cita," ujar dokter itu dengan pelan, lalu mengarahkan apa-apa yang harus dilakukan oleh kedua suster tadi.
Dengan sigap dan cekatan kedua suster itu mengurus jenazah Azizur, mereka menutup seluruh tubuh Azizur dengan selimut.
Raisa diam terpaku, bergeming dari tempatnya berdiri. Pandangannya kosong. Dan ketika tempat tidur di mana jasad suaminya terbaring bergerak keluar, Raisa baru tersadar, ditatapnya jasad suaminya yang ditutup selimut itu semakin
menjauh dibawa oleh kedua suster dan petugas rumah sakit.
"Mas Aziiizz!" Raisa menangis dan menjerit memanggil suaminya. Dia tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, dia ingin berlari mengejar mereka yang membawa jasad suaminya, tapi kedua kakinya seolah terkunci di tempatnya berdiri.
"Ibu," seorang suster datang menghampiri Raisa, dalam dekapannya ada bayi perempuan mungil yang dibedong warna biru muda.
Raisa bergeming, pandangannya kosong menatap keluar ruangan. Lalu suster itu menyentuh pundaknya, hingga membuat Raisa terperanjat.
"Maaf Bu, kami turut berduka cita atas meninggalnya bapak Azizur, dan ini anaknya pak Azizur," ujar suster yang tag namanya bertuliskan Yulia.
Raisa mundur selangkah ketika suster Yulia mengangsurkan bayi mungil itu padanya. Dia menggelengkan kepalanya. Suster Yulia menatap bingung melihat sikap Raisa.
"Saya nggak mau, itu bukan anak saya," tolak Raisa, diliriknya bayi mungil itu. Mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan suaminya, timbul rasa benci melihat wajah mungil yang tak berdosa itu.
"Tolong kerja samanya Bu, ibu bayi ini pergi setelah melahirkan tanpa memberi tahu kami, beliau meninggalkan bayinya dan ini," ujar suster Yulia sambil menyodorkan selembar kertas berwarna putih.
Raisa menerima kertas itu dan membacanya dalam hati.
"Assallamualaikum Mas, maafkan saya karena tak bisa mewujudkan keinginanmu dan ibumu. Lahirnya Ziana mungkin mengecewakanmu, terutama ibumu. Oleh itu terpaksa saya pergi, tolong jaga dan sayangi Ziana walaupun kehadirannya tak di harapkan. Ziana darah dagingmu Mas. Saya doakan semoga mbak Raisa secepatnya hamil dan bisa menghadirkan seorang putra untukmu, dan membuat bahagia ibumu.
Terima kasih atas segalanya."
HESTI
Raisa menelan saliva setelah membaca surat tersebut. Kedua sudut matanya mengembun.
"Jadi perempuan bernama Hesti itu nggak tahu kalau mas Aziz meninggal," gumam Raisa sambil melipat kembali kertas itu dan memasukkannya dalam tas kecilnya.
"Ini bayinya Bu, dia cantik loh," ucap suster Yulia sambil menyerahkan balutan kain bedong berisi bayi mungil tersebut.
"Saya bilang nggak mau, ya nggak mau Sus! Ini bukan anak saya!" Raisa menolaknya dengan kasar.
Suster Yulia terkesiap, wanita yang dikenal orang sebagai suster cantik yang sabar itu tampak menghela nafas panjang, dia merasa kesal tapi berusaha mengendalikan emosinya.
"Baiklah Bu, kalau memang ibu nggak mau menerima dan merawat bayi cantik tak berdosa ini..." suster Yulia sengaja menggantung kalimatnya, dia sengaja menunggu reaksi dari Raisa.
Raisa melirik sekilas ke arah bayi mungil yang sudah diberi nama Ziana itu, dalam hatinya timbul perasaan iba, tapi di sisi lain hatinya merasa sangat sakit hati karena dikhianati oleh suami yang selama ini sangat dipercayai kesetiaannya.
"Kami, pihak rumah sakit akan menyerahkan bayi cantik tak berdosa ini ke panti asuhan," ucap suster Yulia dengan nada tegas, karena Raisa diam tak bergeming dan tak menanggapi apa yang disampaikannya.
"Terserah, itu bukan urusan saya Sus, karena itu bukan anak saya," sahut Raisa pelan, dalam diam dia mencuri pandang ke arah bayi mungil itu, dan saat itu juga kedua mata bayi itu terbuka seolah menatapnya dengan tatapan sayu.
Mendengar ucapan Raisa, suster Yulia merasa geram, bergegas dia pergi dari hadapan Raisa tanpa sepatah kata pun, sambil berjalan didekapnya bayi mungil itu dengan erat, tanpa sadar air matanya mengalir di pipinya.
"Kalau memang nggak ada yang mau merawatmu, biar ibu yang menjaga dan merawatmu Nak," ucap suster Yulia lirih sambil mencium pipi bayi mungil itu.
"Suster! Tunggu!"
Tentang Kirani, wanita muda yang bergelar istri yang terpaksa menjadi wanita malam demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga suaminya.
Tentang Farah, ibu rumah tangga muda yang terpaksa menumbalkan putrinya karena terjerat hutang rentenir.
"Kok loe berubah gini sih, Ci? Loe bukan Suci yang gue kenal tahu nggak!" ujar Ricko tiba-tiba, seolah Suci lah yang telah berubah, bukan dirinya. Masih konsisten pada ekspresi wajah datar. "Bukan gue yang berubah di sini, Ric. Tapi loe! Loe yang berubah semenjak kita nikah, Ric!" kata Suci. Menunjuk wajah Ricko dengan jari telunjuknya. "Loe udah tahu kenapa gue bisa berubah, Ci. Jadi, nggak perlu gue jelasin lagi sama loe kenapa gue bisa berubah gini sama loe," ucap Ricko. "Kak Lona lagi. Semuanya hanya satu nama perempuan itu. Hebat dia bisa buat loe kayak gini," kata Suci. Tanpa disadari oleh Suci, air mata sudah menetes dari sudut matanya. Mungkin karena terlalu sering mengetahui bahwa Lona lah asal semua ini terjadi.
Joelle mengira dia bisa mengubah hati Adrian setelah tiga tahun menikah, tetapi dia terlambat menyadari bahwa hati itu sudah menjadi milik wanita lain. "Beri aku seorang bayi, dan aku akan membebaskanmu." Pada hari Joelle melahirkan, Adrian bepergian dengan wanita simpanannya dengan jet pribadi. "Aku tidak peduli siapa yang kamu cintai. Utangku sudah terbayar. Mulai sekarang, kita tidak ada hubungannya satu sama lain." Tidak lama setelah Joelle pergi, Adrian mendapati dirinya berlutut memohon. "Tolong, kembalilah padaku."
Untuk membayar hutang, dia menggantikan pengantin wanita dan menikahi pria itu, iblis yang ditakuti dan dihormati semua orang. Sang wanita putus asa dan kehabisan pilihan. Sang pria kejam dan tidak sabaran. Pria itu mencicipi manisnya sang wanita, dan secara bertahap tunduk pada nafsu adiktif. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah tidak dapat melepaskan diri dari wanita tersebut. Nafsu memicu kisah mereka, tetapi bagaimana cinta bersyarat ini akan berlanjut?
Bagi Sella Wisara, pernikahan terasa seperti sangkar yang penuh duri. Setelah menikah, dia dengan bodoh menjalani kebidupan yang menyedihkan selama enam tahun. Suatu hari, Wildan Bramantio, suaminya yang keras hati, berkata kepadanya, "Aisha akan kembali, kamu harus pindah besok." "Ayo, bercerailah," jawab Sella. Dia pergi tanpa meneteskan air mata atau mencoba melunakkan hati Wildan. Beberapa hari setelah perceraian itu, mereka bertemu lagi dan Sella sudah berada di pelukan pria lain. Darah Wildan mendidih saat melihat mantan isrtinya tersenyum begitu ceria. "Kenapa kamu begitu tidak sabar untuk melemparkan dirimu ke dalam pelukan pria lain?" tanyanya dengan jijik. "Kamu pikir kamu siapa untuk mempertanyakan keputusanku? Aku yang memutuskan hidupku, menjauhlah dariku!" Sella menoleh untuk melihat pria di sebelahnya, dan matanya dipenuhi dengan kelembutan. Wildan langsung kehilangan masuk akal.
Brenna tinggal bersama orang tua angkatnya selama dua puluh tahun, menanggung eksploitasi mereka. Ketika putri kandung mereka muncul, mereka mengirim Brenna kembali ke orang tua kandungnya, mengira mereka miskin. Pada kenyataannya, orang tua kandungnya termasuk dalam kalangan atas yang tidak pernah bisa dijangkau oleh keluarga angkatnya. Berharap Brenna akan gagal, mereka terkesiap melihat statusnya: seorang ahli keuangan global, seorang insinyur berbakat, pembalap tercepat .... Apakah ada akhir bagi identitas yang dia sembunyikan? Setelah tunangannya mengakhiri pertunangan mereka, Brenna bertemu dengan saudara kembarnya. Tanpa diduga, mantan tunangannya muncul, menyatakan cintanya ....
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
© 2018-now Bakisah
TOP