/0/20146/coverbig.jpg?v=22227eac7d3722763147f7c57913b15f)
Seorang wanita karier sukses memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah 20 tahun meninggalkannya. Kembali ke sana membuka luka lama tentang cinta pertamanya dan trauma masa kecil yang tidak pernah terselesaikan. Ia harus menghadapi mantan kekasihnya dan keputusan yang bisa mengubah hidupnya.
Karina memandang keluar jendela apartemennya di lantai 20, melihat gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur. Malam di Jakarta selalu sibuk, sama seperti hidupnya. Telepon di mejanya berdering, memecah keheningan sesaat yang jarang ia temui. Dengan enggan, ia meraih ponsel yang tergeletak di antara tumpukan dokumen kontrak yang harus ia selesaikan. Nama di layar membuat hatinya berdebar-Ibu.
"Ya, Bu?" suara Karina terdengar kaku. Ia sudah lama tidak berbicara dengan ibunya, percakapan mereka sering terasa formal, nyaris seperti orang asing yang tidak lagi saling mengenal.
"Karina... Ibu sakit," suara di seberang telepon terdengar rapuh, penuh dengan kerinduan dan keletihan. "Dokter bilang... mungkin waktunya tidak banyak lagi."
Seketika, ruang kerja yang penuh sesak dengan dokumen dan laptop terasa sempit. Kata-kata ibunya menggantung di udara seperti beban tak terlihat yang tiba-tiba menekan dadanya. Karina memejamkan mata, mencoba mengendalikan perasaannya. Sudah dua puluh tahun ia meninggalkan kampung halaman, dua puluh tahun sejak ia memutuskan untuk mengejar mimpi di kota besar dan tidak menengok ke belakang.
"Ibu... sakit apa?" tanya Karina setelah jeda yang panjang. Suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha tetap tenang.
"Kanker. Sudah stadium lanjut," jawab ibunya, kali ini lebih pelan, seolah-olah berbicara tentang penyakit itu membuatnya semakin lemah. "Kamu... kapan pulang?"
Kata-kata itu menusuk Karina. Pulang. Kata yang terasa begitu asing baginya. Sudah dua dekade berlalu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah lamanya di desa kecil itu. Desa yang penuh dengan kenangan yang ingin ia lupakan-tentang ayahnya yang keras, ibunya yang lemah, dan Arman... cinta pertamanya yang hilang tanpa jejak.
"Aku tidak tahu, Bu," Karina menjawab dengan suara datar. "Aku... banyak pekerjaan."
"Kamu harus pulang, Karina. Ibu ingin melihatmu sebelum...," suara ibunya terputus, hanya terdengar isak tangis yang ditahan. Karina menutup matanya erat, mencoba melawan perasaan bersalah yang mulai merayapi hatinya.
Setelah menutup telepon, Karina melemparkan ponselnya ke meja dengan frustrasi. Kepalanya penuh dengan pikiran yang saling bertabrakan. Bagaimana jika ibunya benar-benar tidak memiliki banyak waktu lagi? Namun, pulang berarti menghadapi semua yang selama ini ia coba lupakan-keluarga, kenangan buruk, dan Arman.
Langkah-langkah Karina terasa berat saat ia berjalan menuju balkon apartemennya. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, sejenak menenangkan pikirannya. Dari balkon, ia bisa melihat seluruh pemandangan kota Jakarta yang gemerlap di bawah sana. Kota yang telah memberinya segalanya-kesuksesan, karier, kekayaan-tetapi juga merampas satu hal yang paling mendasar: rumah.
Karina memejamkan matanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Selama bertahun-tahun, ia berhasil menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, dalam rutinitas yang tak pernah berhenti, seolah-olah semua itu bisa menghapus masa lalu. Tetapi, panggilan dari ibunya membangunkan sesuatu yang sudah lama ia coba kubur. Dan kini, ia dihadapkan pada keputusan yang sulit.
Apakah ia siap kembali ke tempat yang telah meninggalkan bekas luka di hatinya? Tempat di mana ia kehilangan banyak hal-dan mungkin, menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang?
Dengan napas panjang, Karina akhirnya membuka matanya. Mungkin, sudah waktunya untuk pulang.
Karina memandangi pemandangan kota yang gemerlap di hadapannya, mencoba meredakan gejolak perasaan di dalam hatinya. Ia tahu bahwa keputusan untuk kembali ke kampung halaman tidaklah mudah.
Jakarta telah menjadi rumahnya selama dua puluh tahun terakhir-kota ini adalah tempat di mana ia membangun karier gemilang sebagai salah satu eksekutif perempuan paling berpengaruh di perusahaannya. Setiap sudut kota ini menyimpan kenangan tentang ambisinya, kerja kerasnya, dan kesuksesannya. Namun, ada sesuatu yang tetap tidak terisi dalam dirinya.
Kenangan tentang masa lalu, terutama tentang Arman, muncul seiring dengan panggilan telepon dari ibunya tadi. Arman adalah cinta pertamanya, seseorang yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar hanya dengan satu senyuman. Mereka pernah merencanakan masa depan bersama, namun semua itu runtuh dengan tiba-tiba. Ia masih ingat hari ketika ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan Arman dan seluruh kehidupannya di kampung, untuk mengejar impian di kota besar. Ketika itu, Karina bertekad tidak akan menoleh ke belakang, tetapi sekarang ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa masa lalu selalu membayangi dirinya.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini bukan dari ibunya, melainkan dari Andi, asistennya yang setia.
"Karina, aku butuh konfirmasi untuk rapat besok pagi. Ada klien besar yang ingin bertemu," suara Andi terdengar terburu-buru di ujung sana.
Karina menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Selama bertahun-tahun, ia selalu mengutamakan pekerjaannya. Setiap jadwal rapat, presentasi, dan proyek besar adalah prioritas yang tidak bisa diganggu gugat. Namun sekarang, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak yakin. Haruskah ia tetap tinggal dan menjalankan rutinitas seperti biasa, atau... apakah sudah waktunya untuk memprioritaskan keluarganya yang selama ini ia abaikan?
"Karina? Kamu dengar aku?" tanya Andi, suaranya terdengar sedikit khawatir di ujung sana.
Karina menghela napas panjang sebelum menjawab. "Ya, Andi, aku dengar. Tapi... besok aku tidak bisa datang."
"Maaf?" tanya Andi terkejut. "Apa kamu bilang tidak bisa datang?"
"Ya, aku harus pulang ke kampung halamanku. Ibuku sakit," jawab Karina dengan tegas, meski ada perasaan aneh yang menyelubungi dirinya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Pulang-kata yang dulu terasa begitu asing kini mulai memiliki arti lain baginya.
"Apakah ada sesuatu yang bisa aku bantu?" tanya Andi dengan nada khawatir.
"Tidak, Andi. Aku hanya butuh waktu. Tolong urus semuanya di sini sementara aku pergi, ya?"
Setelah menutup telepon, Karina merasa berat di dadanya berkurang sedikit. Keputusan untuk pulang akhirnya diambil, meskipun perasaan campur aduk masih menggelayuti pikirannya. Ia menyadari bahwa kepulangannya bukan hanya tentang ibunya yang sakit, tetapi juga tentang menghadapi luka yang selama ini ia hindari.
Malam semakin larut, dan Karina tahu bahwa perjalanan pulangnya nanti akan jauh lebih dari sekadar fisik. Ini akan menjadi perjalanan batin yang panjang-mungkin bahkan lebih menantang daripada perjalanan kariernya yang selama ini ia jalani di Jakarta. Ia akan menghadapi kembali kampung kecil yang dulu ia tinggalkan, tempat di mana kenangan masa kecil dan trauma lama menunggu untuk dibuka kembali.
Ia tahu, tidak ada jalan mudah untuk menghadapi masa lalu. Tapi satu hal yang pasti: ia harus pulang.
Dengan keputusan itu, Karina mulai membereskan barang-barangnya. Setiap gerakan terasa lambat, seolah-olah ia sedang mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan kembali ke kampung halaman. Bagasi emosional yang ia bawa jauh lebih berat daripada koper yang nanti akan ia angkut ke bandara.
Ketika malam semakin larut, Karina berdiri di jendela, memandang lagi pemandangan kota yang selama ini menjadi dunianya. Sebuah pertanyaan terlintas di benaknya: apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi semua yang telah ia tinggalkan? Apakah ia siap untuk melihat Arman lagi, dan apakah ia mampu memaafkan dirinya sendiri atas keputusan yang pernah ia buat?
Besok pagi, Jakarta akan terbangun seperti biasa, tetapi Karina akan pergi. Dan ia tidak tahu apa yang menantinya di sana-di tempat yang dulu ia sebut rumah.
Bersambung...
Seorang pria harus memilih antara istri yang selama ini mendampinginya dan kekasih gelap yang membuatnya merasa hidup kembali. Saat keduanya mengetahui keberadaan satu sama lain, pria ini terjebak dalam konflik cinta yang berbahaya.
Seorang istri yang merasa diabaikan memulai hubungan dengan pria yang ia temui secara tidak sengaja. Namun, saat hubungan itu semakin dalam, ia harus menghadapi konsekuensi yang akan mengubah hidupnya dan keluarganya selamanya.
Dua rekan kerja yang sudah menikah diam-diam menjalani perselingkuhan. Namun, perasaan cemburu dan posesif mengancam hubungan mereka, membuat setiap hari penuh risiko untuk diketahui pasangan masing-masing.
Ketika seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabat terdekatnya, ia merencanakan balas dendam yang rumit. Namun, rencananya justru membawa lebih banyak luka daripada keadilan yang ia harapkan.
Seorang pria kaya yang tampak bahagia dengan keluarganya menjalani kehidupan ganda dengan seorang wanita yang lebih muda. Ketika hubungan mereka semakin dalam, kekasih gelapnya menuntut lebih, mengancam seluruh stabilitas hidupnya.
Seorang pria yang sering bepergian untuk bekerja mulai menjalin hubungan dengan wanita yang ia temui di perjalanan. Ketika istrinya mulai curiga, ia harus berhadapan dengan kebohongan yang telah ia ciptakan selama ini.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Ika adalah seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya yang sakit. Tiba-tiba bagai petir di siang bolong, Bapak Mertuanya memberikan penawaran untuk menggantikan posisi anaknya, menafkahi lahir dan batin.
Warning! Banyak adegan dewasa 21+++ Khusus untuk orang dewasa, bocil dilarang buka!
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Amanda merasa sedikit kesepian, meskipun ia menikmati momen-momen sendirinya. Ia memandang ke arah rumah tetangganya yang tampak sepi. Rumah itu milik keluarga Raka dan Laila. Raka adalah seorang pria yang tampan dan karismatik, sementara Laila adalah wanita yang cantik dan ramah. Mereka adalah pasangan yang sempurna di mata orang-orang di sekitar mereka.
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."