/0/20147/coverbig.jpg?v=094d6dee3fe128eb23ca338f58cea767)
Seorang pria yang hampir menikah memutuskan untuk menjalani satu malam terakhir penuh kebebasan bersama teman-temannya. Namun, saat malam itu semakin dalam, rahasia lama yang tidak pernah dibicarakan mulai muncul, mengancam pernikahannya dan hubungannya dengan teman-teman terdekatnya.
Bar favorit mereka selalu dipenuhi lampu-lampu redup, suasana hangat yang dipenuhi tawa, dan dentingan gelas yang saling bersentuhan. Aroma bir bercampur dengan wangi kayu tua dari meja yang sudah tak lagi mulus. Ardi duduk di salah satu sudut bar itu, mengamati pemandangan malam yang terbentang di luar jendela besar. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Dalam waktu seminggu, dia akan menikah. Dan malam ini, adalah malam terakhir kebebasannya.
Di sebelahnya, sahabat terdekatnya sudah hadir untuk memberikan semangat terakhir. Reza, pria yang selalu tampak tenang dan bijaksana, adalah yang pertama tiba. Senyumnya hangat saat ia menepuk bahu Ardi. "Kamu siap, bro?" tanyanya sambil mengangkat segelas bir.
Ardi mengangguk sambil tersenyum tipis. "Sepertinya begitu. Tapi jujur saja, rasanya aneh. Malam terakhir ini... semacam simbol dari semua yang akan berubah, kan?"
Reza tertawa kecil. "Pernikahan memang mengubah banyak hal, tapi bukan berarti semuanya buruk."
Tidak lama setelah itu, Andi masuk, dengan penuh energi seperti biasa. "Si calon pengantin!" serunya sambil menjabat tangan Ardi dengan antusias. "Ayo kita buat malam ini tak terlupakan!"
Ardi tertawa, meskipun ada sedikit kegelisahan yang mulai merayap di dadanya. Andi selalu orang yang paling bersemangat, dan mungkin itu yang Ardi butuhkan malam ini-sedikit hiburan untuk melupakan semua tekanan yang datang dengan persiapan pernikahan.
Ketika malam semakin larut, Fira, satu-satunya perempuan dalam lingkaran pertemanan mereka, datang. Dengan gaya kasual dan senyum manis yang selalu bisa menghangatkan suasana, dia langsung bergabung dengan mereka di meja. "Maaf terlambat, macet tadi," katanya sambil meletakkan tas di kursi. Dia menatap Ardi dan tersenyum lembut. "Malam terakhir sebagai pria bebas, ya?"
Ardi tersenyum padanya, merasa sedikit lebih tenang. Fira selalu menjadi tempat yang aman baginya, seseorang yang selalu bisa dia andalkan. Mereka semua adalah bagian penting dari hidupnya, dan malam ini adalah pengingat betapa berharganya persahabatan mereka.
Mereka mengangkat gelas dan bersulang. "Untuk Ardi," kata Reza. "Untuk cinta, persahabatan, dan kebahagiaan yang abadi!"
Tawa memenuhi bar, dan untuk sesaat, Ardi merasa semua tekanan sirna. Dia tertawa bersama teman-temannya, mengenang masa-masa dulu ketika hidup terasa lebih sederhana. Mereka bercerita tentang masa-masa kuliah, petualangan liar, dan kesalahan bodoh yang pernah mereka buat. Malam yang seharusnya menjadi perayaan penuh kebahagiaan ini berlanjut dengan penuh tawa dan kegembiraan.
Namun, di balik senyum dan tawa itu, ada sesuatu yang terasa aneh. Ada keheningan di antara beberapa kalimat, tatapan yang tertahan terlalu lama, terutama dari Fira. Ardi merasakannya, tapi ia berusaha menepis. Ini adalah malam terakhirnya sebagai pria lajang, dan dia tidak ingin merusaknya dengan perasaan yang membingungkan.
Saat musik di bar semakin keras, Fira tiba-tiba menawarkan untuk berbicara empat mata dengan Ardi di luar. "Ayo, sebentar aja. Udara di luar lebih segar," ajaknya dengan senyum yang tampak sedikit gugup.
Ardi mengangguk. "Boleh," jawabnya sambil berdiri, meninggalkan Andi dan Reza yang masih tertawa dengan gelas mereka.
Di luar bar, malam terasa dingin, dan kota seakan bernapas dalam keheningan. Fira mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya, lalu menatap Ardi dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Ada apa?" tanya Ardi, merasa gelisah dengan perubahan suasana.
Fira tersenyum samar, tapi senyumnya tidak seperti biasanya. "Aku cuma mau bilang... aku senang untukmu, Ardi. Benar-benar. Tapi, ada hal yang selama ini aku pendam."
Ardi menatapnya, tiba-tiba merasa gugup. "Apa maksudmu?"
Fira menarik napas dalam-dalam. "Aku... Aku selalu punya perasaan untukmu, Ardi. Dari dulu."
Keheningan menyelimuti mereka. Ardi tidak tahu harus berkata apa. Perasaannya bergejolak, dan tiba-tiba malam terakhir ini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
"Fira, aku..." Ardi mulai bicara, tapi dia tidak tahu harus melanjutkan ke mana.
"Sudahlah," Fira memotong, sambil mengembuskan asap rokoknya. "Aku tahu ini malam terakhirmu sebelum menikah, dan aku tidak ingin merusaknya. Aku cuma... ingin kamu tahu. Itu saja."
Malam yang dimulai dengan penuh tawa tiba-tiba berubah menjadi kebingungan yang tak terduga.
Persahabatan, cinta, dan masa lalu berbaur menjadi satu. Ardi menatap Fira, bingung harus melangkah ke mana setelah pengakuan itu. Tapi satu hal yang pasti: malam terakhir ini baru saja berubah menjadi malam yang tidak akan pernah dia lupakan.
Ardi terdiam, merasakan beban yang tiba-tiba datang bersama angin malam yang menusuk. Suara hiruk-pikuk dari dalam bar terdengar samar di belakang mereka, seolah menggambarkan jarak yang semakin melebar antara dirinya dan Fira. Pengakuan itu datang begitu tak terduga, dan untuk sesaat, ia merasa tenggelam dalam pusaran perasaan yang tak ia mengerti.
Fira mengisap rokoknya sekali lagi, tatapannya teralihkan ke arah jalanan yang lengang. "Aku tahu ini salah waktu, Ardi. Dan aku nggak berharap apa-apa. Tapi aku pikir... aku akan menyesal selamanya kalau nggak pernah bilang."
Ardi masih berusaha mengatur pikirannya. Ia selalu menganggap Fira sebagai sahabat terbaik, seseorang yang selalu ada di sisinya sejak masa kuliah. Namun, perasaan Fira-perasaan cinta yang tak pernah ia ketahui-mengubah semua hal dalam sekejap. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya selama ini?
"Fira, aku..." Suaranya tertahan, berat. Kata-kata terasa kering di bibirnya, sulit untuk diungkapkan. "Aku nggak pernah tahu kamu merasa seperti itu."
Fira tertawa kecil, tapi tidak ada kegembiraan di matanya. "Ya, mungkin karena aku terlalu pintar menyembunyikannya. Aku tahu kamu bahagia dengan Citra, dan aku nggak ingin merusaknya. Aku senang untukmu, sungguh."
Ardi menatapnya dengan rasa bersalah. Dalam benaknya, Citra-calon istrinya-berkelebat seperti bayangan yang menjauh. Ini bukan sesuatu yang pernah ia siapkan, terlebih pada malam seperti ini. Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengembalikan fokusnya.
"Tapi kamu nggak harus bilang sekarang, Fir," kata Ardi akhirnya. "Kenapa malam ini? Kenapa nggak sebelumnya?"
Fira menoleh ke arahnya, tatapannya serius. "Karena kalau bukan malam ini, aku nggak akan pernah bisa bilang. Setelah kamu menikah, semuanya akan berubah. Dan aku nggak ingin menyimpan ini selamanya."
Ardi merasakan dadanya semakin berat. Ia menatap Fira dalam keheningan, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Tapi semakin lama ia berpikir, semakin sedikit yang bisa ia katakan. Ini bukan hanya tentang Fira; ini juga tentang dirinya sendiri. Apakah selama ini ia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri, tanpa pernah benar-benar memahami orang-orang terdekatnya?
"Saya minta maaf, Fir. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu merasa kayak gini." Ardi berkata dengan jujur. "Tapi kamu tahu aku mencintai Citra. Kami akan menikah, dan... aku nggak bisa mengubah itu."
Fira mengangguk, seolah sudah tahu jawaban itu akan keluar. "Aku tahu, Ardi. Dan aku nggak berharap kamu berubah. Aku cuma ingin keluarin perasaan ini, biar aku nggak lagi membohongi diri sendiri."
Ardi melihat Fira membuang rokoknya, memadamkannya di trotoar dengan ujung sepatunya. Mereka kembali terdiam. Di dalam bar, suara Andi dan Reza yang tertawa terdengar samar, tak tersentuh oleh kebingungan yang kini melingkupi mereka.
"Jadi... gimana sekarang?" tanya Ardi, mencoba menembus keheningan yang tak nyaman.
Fira tersenyum kecil, kali ini dengan kehangatan yang lebih tulus. "Sekarang, kita kembali ke dalam, minum, dan nikmati malam ini. Bukan begitu?"
Ardi tersenyum lemah, merasa lega karena Fira tidak berusaha memaksakan apa pun. Ia tahu, malam ini akan berbeda sekarang. Namun, setidaknya Fira memberinya ruang untuk tetap melanjutkan malam tanpa beban besar di pundaknya. "Ya... ayo kita nikmati malam terakhir ini."
Mereka kembali masuk ke bar, di mana Andi dan Reza masih tertawa tanpa tahu apa yang baru saja terjadi di luar. Suasana kembali hangat dan penuh tawa, tapi di benak Ardi, ada sesuatu yang telah berubah. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang baru saja Fira katakan, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada malam itu.
Saat mereka mengangkat gelas untuk bersulang lagi, Ardi menyadari bahwa malam terakhir ini, malam yang seharusnya menjadi perayaan sebelum ia menikah, telah menjadi malam yang jauh lebih rumit dari yang ia kira. Rahasia yang muncul tak hanya dari Fira, tapi juga dari dirinya sendiri, memaksanya untuk memikirkan kembali apa arti cinta, persahabatan, dan kebebasan.
Dan meski tawa masih mengisi ruangan itu, Ardi tahu bahwa malam ini hanyalah permulaan dari perubahan besar yang akan datang.
Bersambung...
Seorang pria harus memilih antara istri yang selama ini mendampinginya dan kekasih gelap yang membuatnya merasa hidup kembali. Saat keduanya mengetahui keberadaan satu sama lain, pria ini terjebak dalam konflik cinta yang berbahaya.
Seorang istri yang merasa diabaikan memulai hubungan dengan pria yang ia temui secara tidak sengaja. Namun, saat hubungan itu semakin dalam, ia harus menghadapi konsekuensi yang akan mengubah hidupnya dan keluarganya selamanya.
Dua rekan kerja yang sudah menikah diam-diam menjalani perselingkuhan. Namun, perasaan cemburu dan posesif mengancam hubungan mereka, membuat setiap hari penuh risiko untuk diketahui pasangan masing-masing.
Ketika seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabat terdekatnya, ia merencanakan balas dendam yang rumit. Namun, rencananya justru membawa lebih banyak luka daripada keadilan yang ia harapkan.
Seorang pria kaya yang tampak bahagia dengan keluarganya menjalani kehidupan ganda dengan seorang wanita yang lebih muda. Ketika hubungan mereka semakin dalam, kekasih gelapnya menuntut lebih, mengancam seluruh stabilitas hidupnya.
Seorang pria yang sering bepergian untuk bekerja mulai menjalin hubungan dengan wanita yang ia temui di perjalanan. Ketika istrinya mulai curiga, ia harus berhadapan dengan kebohongan yang telah ia ciptakan selama ini.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..