/0/20771/coverbig.jpg?v=fecb49a24061f4e89eba9763628ad5e1)
Pasangan yang telah menikah bertahun-tahun saling mencurigai adanya perselingkuhan. Ketika kecurigaan tersebut terbukti benar, pernikahan mereka runtuh, memaksa mereka untuk menghadapi pertanyaan terbesar: apakah cinta masih ada di antara mereka?
Pasangan yang telah menikah bertahun-tahun saling mencurigai adanya perselingkuhan. Ketika kecurigaan tersebut terbukti benar, pernikahan mereka runtuh, memaksa mereka untuk menghadapi pertanyaan terbesar: apakah cinta masih ada di antara mereka?
Di sebuah apartemen yang nyaman di pinggiran kota, Rina duduk di sofa, memandangi layar ponselnya yang sepi. Suara detakan jam dinding menambah kesunyian malam itu. Dia melirik ke arah jam-sudah hampir tengah malam. Dika, suaminya, belum juga pulang. Rina mengerutkan dahi, mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka makan malam bersama. Rasanya sudah terlalu lama.
"Kenapa ya dia belum pulang?" gumam Rina, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.
Dika, kamu di mana?
Beberapa detik berlalu, dan dia melihat tanda centang biru muncul di layar. Pesannya sudah dibaca, tetapi tak ada balasan. Rina merasa gelisah. Dalam hatinya, benih kecurigaan mulai tumbuh. "Dia pasti sedang bekerja lembur," bisiknya mencoba meyakinkan diri sendiri, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin.
Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka, dan Dika melangkah masuk. Dia terlihat lelah, dengan jas yang sedikit kusut dan rambut berantakan.
"Maaf, sayang. Kerjaan menumpuk," katanya sambil menghapus keringat dari dahi.
Rina berusaha tersenyum meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan. "Kamu pulang lebih larut dari biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Dika menggelengkan kepala, terlihat tertekan. "Hanya tugas tambahan. Aku janji, ini bukan kebiasaan."
Rina menatapnya dengan skeptis. "Tapi ini sudah terjadi berulang kali, Dika. Aku mulai merasa... ada yang tidak beres."
Dika menahan napas, tampak bingung. "Rina, kamu tahu aku mencintaimu. Kenapa kamu harus berpikir negatif seperti itu?"
Rina berdiri, perasaannya campur aduk. "Aku hanya ingin kejujuran. Jika ada sesuatu yang kau sembunyikan, lebih baik katakan sekarang."
Dika mendekat, menatap matanya. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Kenapa kamu tidak percaya padaku?"
"Karena semua ini tidak wajar! Sejak kapan kamu mulai pulang larut malam seperti ini? Apakah ada orang lain?" Suara Rina mulai meninggi, emosinya tak tertahan.
Dika menunduk, terlihat bingung dan frustrasi. "Rina, cukup! Jangan menuduhku tanpa bukti."
Rina merasa hatinya hancur, tetapi dia berusaha bertahan. "Aku tidak mau seperti ini, Dika. Aku butuh kejelasan. Jika kamu terus bersembunyi, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan."
Suasana di antara mereka terasa tegang. Dika menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Baiklah, aku akan lebih terbuka. Tapi, aku juga butuh waktu. Jangan berasumsi tanpa dasar."
Rina mengangguk pelan, merasa hampa. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Sebelum semua ini..."
Dika meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Kita akan cari jalan keluarnya. Aku berjanji."
Namun, dalam hati Rina, keraguan masih membayangi. Dia tidak tahu apakah janji itu bisa mengembalikan kepercayaan yang mulai pudar di antara mereka.
Malam itu, Rina berbaring di ranjang, berpikir tentang kata-kata Dika. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya masih mencintainya, tetapi bayang-bayang kecurigaan terus mengintai.
Di luar jendela, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah mereka menantikan jawaban dari dua hati yang sedang berjuang.
Rina terbangun di tengah malam, terjaga oleh suara Dika yang berbicara pelan di telepon. Dia bisa mendengar desah napasnya yang dalam dan nada suara yang berbeda dari biasanya. Rina berusaha untuk tetap tenang, tetapi rasa ingin tahunya tidak bisa ditahan.
Rina memalingkan tubuhnya, berusaha mendengar lebih jelas. Dika berada di ruang tamu, berbicara dengan seseorang yang suaranya tak dapat dikenali. Ketika Rina mencoba memejamkan mata, pikirannya terus melayang. "Siapa yang dia ajak bicara? Kenapa dia harus berbicara di luar kamar?"
Rina mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, menatap ponsel Dika yang tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari tempat tidur dan merangkak perlahan menuju ruang tamu.
Setiba di ambang pintu, Rina melihat Dika sedang duduk di sofa, matanya tertuju pada layar ponsel. Rina merasakan keraguan dan kecurigaan yang semakin menggelayuti pikirannya.
"Maaf, aku akan segera selesai," Dika berbisik, menyadari kehadiran Rina.
Dengan keberanian yang tersisa, Rina melangkah masuk. "Siapa yang kamu ajak bicara?" tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Dika tertegun sejenak, sebelum menatap Rina dengan tatapan serius. "Hanya teman kerja. Kami membahas proyek yang mendesak."
"Teman kerja?" Rina mengulangi, merasa tidak puas. "Kenapa kamu tidak bisa bicara di dekatku? Apa yang kamu sembunyikan?"
Dika terlihat frustrasi, matanya menatap tajam. "Rina, aku tidak sedang melakukan apa-apa yang salah! Mengapa kamu terus memaksaku untuk memberi penjelasan?"
Rina menggelengkan kepala, merasa hatinya berdesir. "Karena aku merasa terasing, Dika. Kita seharusnya saling berbagi, tetapi aku merasa kamu menjauh dariku."
Dika menghela napas, ekspresinya melunak. "Aku tidak bermaksud menjauhkan diri. Ini hanya pekerjaan, sayang. Aku berjanji, aku akan lebih banyak di rumah."
"Janji? Kenapa rasanya semua itu hanya kata-kata?" Rina menantang, berusaha menahan air matanya.
Dika bangkit dari sofa, mendekat, dan meraih tangan Rina. "Aku tidak ingin kita berdebat lagi. Mari kita bicarakan ini dengan baik. Kita perlu menemukan solusi bersama."
Rina merasa hatinya bergetar saat melihat kerinduan dalam mata Dika. "Tapi bagaimana jika semua ini hanya permainan? Bagaimana jika kamu sudah jatuh cinta pada orang lain?"
Dika terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata. "Rina, kamu adalah segalanya bagiku. Tidak ada orang lain. Jika aku benar-benar mencintaimu, aku tidak akan membiarkan kecurigaan ini menghancurkan kita."
Rina menatap Dika, mencoba membaca kejujuran di matanya. Dalam hatinya, dia berharap bisa percaya. "Tapi aku merasa hancur. Semua ini membuatku bingung."
Dika menarik Rina ke pelukannya, seolah ingin melindunginya dari segala ketakutan. "Kita akan mencari jalan keluar. Aku berjanji akan melakukan apa saja untuk membuatmu merasa aman dan dicintai."
Tapi dalam pelukan Dika, Rina masih merasakan dinginnya keraguan. "Apakah kita masih bisa kembali seperti dulu?" tanyanya pelan, hampir berbisik.
Dika mengangguk, tetapi Rina bisa merasakan ketidakpastian dalam jawabannya. "Kita bisa. Hanya butuh waktu."
Malam itu, Rina dan Dika duduk di sofa dalam keheningan, membiarkan pikiran dan perasaan mereka mengalir. Namun, di dalam hati Rina, bayang-bayang kecurigaan terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.
Hari-hari berlalu setelah perdebatan malam itu, tetapi bayang-bayang kecurigaan masih membayangi Rina. Dia berusaha untuk mempercayai Dika, tetapi semakin dia mencoba, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Setiap kali Dika pulang terlambat atau menerima panggilan mendesak, hatinya kembali bergetar dalam ketidakpastian.
Suatu malam, Rina berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya, ketika ponselnya bergetar. Dia melihat nama yang tidak dikenalnya muncul di layar. Rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, dia menjawab panggilan.
"Halo?" suaranya sedikit ragu.
"Rina?" suara di seberang terdengar familiar, tetapi tidak bisa dia ingat dari mana. "Ini Gita, teman Dika dari kantor. Apa aku mengganggu?"
Rina terdiam sejenak, mengingat nama itu. "Oh, halo. Tidak, tidak mengganggu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, sebenarnya aku ingin memberitahumu. Dika sedang banyak bekerja belakangan ini, dan mungkin dia tidak memberitahumu semua detail proyeknya. Tapi aku rasa dia tidak ingin kamu khawatir," kata Gita, suaranya terdengar manis dan bersahabat.
"Terima kasih, Gita. Aku... aku hanya merasa sedikit bingung." Rina berusaha tersenyum meski perasaannya campur aduk.
"Pasti sulit, ya. Kadang-kadang pekerjaan bisa sangat menekan. Jika kamu butuh berbicara, aku ada di sini. Dika sangat menghargai kamu," Gita menambahkan, tetapi Rina merasakan ada yang tidak biasa dari nada suaranya.
"Terima kasih," Rina menjawab, meskipun instingnya memberitahunya untuk berhati-hati. Dia menutup telepon dan berusaha menenangkan diri. Namun, percakapan itu malah menambah ketidakpastian dalam hatinya.
Ketika Dika pulang malam itu, Rina menunggu di meja makan dengan makanan yang telah disiapkannya. Dika tampak lelah, tetapi senyumnya seakan memberi sedikit harapan.
"Maaf, sayang. Lembur lagi," katanya sambil meraih piringnya.
"Gita meneleponku," Rina mengawali percakapan dengan hati-hati.
Dika mendongak, ekspresinya langsung berubah. "Oh, iya? Dia bilang apa?"
"Dia bilang kamu sedang bekerja keras dan tidak ingin aku khawatir," jawab Rina, mengamati reaksi Dika.
"Dia baik. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rina. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku," Dika berkata, tetapi Rina menangkap sedikit keanehan dalam suara Dika.
"Dika, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kenapa kamu tidak bisa memberi tahu aku lebih banyak?" Rina menatap Dika dengan mata penuh harapan.
Dika meletakkan sendoknya dan menatap Rina dalam-dalam. "Rina, aku sudah menjelaskan semua ini. Pekerjaanku tidak mudah. Jika aku memberitahumu setiap detail, itu hanya akan membuatmu semakin khawatir."
Rina menghela napas, merasa frustrasi. "Tapi, Dika! Kita sudah menikah, seharusnya kita saling berbagi, bukan? Kenapa kamu tidak bisa terbuka padaku?"
Dika terlihat bingung. "Aku berusaha, tetapi ini bukanlah tentang kita. Ini tentang pekerjaanku dan bagaimana aku bisa memberi yang terbaik untuk kita."
"Apakah itu benar-benar alasanmu? Atau ada yang lain?" tanya Rina, matanya mulai berkaca-kaca.
Dika mengusap wajahnya dengan tangan, tampak lelah. "Rina, tolong. Jangan terus mengulang pertanyaan yang sama. Aku mencintaimu, dan aku tidak ingin kita bertengkar."
"Jika kamu mencintaiku, maka buktikan! Beri aku kejelasan, Dika. Jika ada yang tidak beres, katakanlah!" suara Rina mulai meninggi, penuh emosi.
Dika beranjak dari meja, berjalan ke jendela, dan melihat ke luar. "Aku tidak tahu harus bilang apa. Kadang-kadang aku merasa tertekan dengan semua ini. Semua kecurigaan dan tekanan dari luar..."
Rina mendekat, berusaha meraih tangannya. "Aku hanya ingin mengerti, Dika. Jika kita terus bersembunyi di balik ketidakpastian ini, kita tidak akan bisa maju."
Setelah beberapa saat, Dika berbalik, matanya penuh dengan kelelahan. "Mungkin kita perlu mencari bantuan. Mungkin konsultasi dengan orang ketiga..."
Rina terkejut. "Orang ketiga? Apakah itu berarti kita sudah sampai di titik itu?"
Dika mengangguk pelan. "Jika kita ingin bertahan, kita harus berani menghadapi masalah ini bersama."
Rina merasa hatinya hancur. "Tapi itu artinya kita sudah gagal, kan? Apakah kita sudah tidak bisa mempercayai satu sama lain?"
Dika meraih bahu Rina, menatapnya dengan serius. "Tidak, kita tidak gagal. Kita hanya perlu mengakui bahwa kita butuh bantuan untuk menemukan jalan kembali."
Rina merasa jiwanya bergetar. Dalam hatinya, dia tahu Dika benar. Tetapi, rasa sakit dan keraguan itu sulit dihilangkan. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Dika. Aku tidak ingin pernikahan kita menjadi sebuah kebohongan."
"Dan aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Mari kita hadapi bersama. Kita bisa melakukan ini," Dika berusaha meyakinkan Rina.
Di tengah malam yang sunyi, mereka berdua berdiri dalam keheningan, menimbang kata-kata yang baru saja diucapkan. Rina tahu mereka sedang berada di persimpangan yang penting, dan keputusan yang mereka buat selanjutnya akan menentukan masa depan cinta mereka. Bayang-bayang kecurigaan masih mengintai, tetapi ada harapan kecil bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.
Dalam hati Rina, satu pertanyaan tetap menggantung: Apakah mereka cukup kuat untuk menemukan kembali cinta yang telah hilang?
Bersambung...
Seorang pria yang selalu merasa dirinya setia ternyata menjalin hubungan rahasia dengan wanita lain. Perselingkuhan ini membuatnya merasakan cinta sejati untuk pertama kalinya, tetapi di sisi lain, ia harus menghancurkan hati istrinya.
Seorang wanita yang bahagia dalam pernikahannya merasa tersesat ketika bertemu dengan pria yang mengguncang hatinya. Saat hubungan ini mulai berjalan, ia dihadapkan pada pilihan antara mengikuti gairahnya atau mempertahankan apa yang telah ia bangun.
Seorang pria yang hidup dengan dua identitas, sebagai suami yang setia dan sebagai kekasih rahasia, mencoba menyeimbangkan dua dunia. Ketika kedua wanita itu mengetahui satu sama lain, hidupnya berubah menjadi kekacauan.
Seorang istri yang tampak bahagia menemukan bahwa suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Perselingkuhan ini memaksanya menghadapi pilihan sulit antara memaafkan atau memulai hidup baru.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
"Usir wanita ini keluar!" "Lempar wanita ini ke laut!" Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan"Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, "Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
21+ Alena Adriani Quensyah, harus menerima kenyataan pahit, ketika hidupnya hancur dalam semalam. Bayangan akan masa lalunya pun tidak pernah hilang dalam benaknya. Lagi-lagi Alena harus mengetahui kedua orang tua nya yang pergi begitu saja dan menjadikan nya sebagai jaminan pada seorang Mafia, membuat hidup Alena seperti didalam penjara. Akankah Alena bisa bertemu dengan orang tuanya kembali? Dan apa penyebab mereka meninggalkannya?
Dua tahun lalu, Nina menikah dengan pria yang belum pernah ditemuinya. Dia tidak tahu namanya atau usianya; dia tidak tahu apa-apa tentang orang yang dinikahinya ini. Pernikahan mereka tidak lebih dari sebuah kontrak dengan kondisi, dan salah satu klausulnya adalah bahwa dia tidak boleh tidur dengan pria lain. Namun, Nina kehilangan keperawanannya kepada orang asing ketika dia mengetuk pintu yang salah pada suatu malam. Dengan kompensasi yang harus dia bayar membebaninya, dia memutuskan untuk membuat perjanjian perceraian sendiri. Ketika dia akhirnya bertemu suaminya untuk menyerahkan surat-surat itu, dia terkejut menemukan bahwa suaminya tidak lain adalah pria yang telah "selingkuh" dengannya!
Megan dipaksa menggantikan kakak tirinya untuk menikah dengan seorang pria yang tanpa uang. Mengingat bahwa suaminya hanyalah seorang pria miskin, dia pikir dia harus menjalani sisa hidupnya dengan rendah hati. Dia tidak tahu bahwa suaminya, Zayden Wilgunadi, sebenarnya adalah taipan bisnis yang paling berkuasa dan misterius di kota. Begitu dia mendengar desas-desus tentang hal ini, Meagan berlari ke apartemen sewaannya dan melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya. "Mereka semua bilang kamu adalah Tuan Fabrizio yang berkuasa. Apakah itu benar?" Sang pria membelai rambutnya dengan lembut. "Orang-orang hanya berbicara omong kosong. Pria itu hanya memiliki penampilan yang mirip denganku." Megan menggerutu, "Tapi pria itu brengsek! Dia bahkan memanggilku istrinya! Sayang, kamu harus memberinya pelajaran!" Keesokan harinya, Tuan Fabrizio muncul di perusahaannya dengan memar-memar di wajahnya. Semua orang tercengang. Apa yang telah terjadi pada CEO mereka? Sang CEO tersenyum. "Istriku yang memerintahkannya, aku tidak punya pilihan lain selain mematuhinya."
Samuel, pedagang senjata top dunia, mengejutkan semua orang dengan jatuh cinta pada Marsha-gadis tak berguna yang tak dihormati siapa pun. Orang-orang mencemoohnya. Untuk apa mengejar wajah cantik yang tak berguna? Namun, saat para elit berkuasa mulai berkumpul di sekitarnya, semua orang tercengang. "Dia bahkan belum menikah dengannya-tapi sudah memanfaatkan kekuasaannya?" asumsi mereka. Mata yang penasaran menyelidiki masa lalu Marsha ... hanya untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang genius ilmiah, ahli medis terkenal di dunia, dan pewaris organisasi dunia bawah tanah. Kemudian, Samuel mengunggah postingan daring. "Istriku memperlakukanku seperti musuh. Ada saran?"
© 2018-now Bakisah
TOP