/0/20844/coverbig.jpg?v=d7e5adbb06f9681aaa0cd8eabd362249)
Seorang anak laki-laki yang suka menulis puisi membuatkan puisi cinta pertama untuk teman sekelasnya yang cantik. Namun, saat ia membacakannya di depan kelas sebagai tugas sekolah, ia tak menyangka teman-temannya akan tertawa. Kini ia harus memilih antara merasa malu atau mencoba lagi.
Sore itu, langit memancarkan warna jingga lembut saat Budi duduk di sudut lapangan sekolah, mengamati teman-temannya bermain bola. Dia mengenakan kemeja biru muda yang sedikit kebesaran, rambutnya rapi meski tampak sedikit berantakan. Di tangannya, selembar kertas putih dan pensilnya siap untuk menuliskan sesuatu yang sangat berarti baginya.
"Budi!" suara Rudi, sahabatnya yang ceria, memecah keheningan. "Kenapa kamu di sini sendirian? Ayo ikut main!"
Budi menggelengkan kepala. "Aku lagi ada ide untuk puisi baru."
"Puisi lagi? Kamu selalu saja terjebak dengan kata-kata. Kenapa tidak coba main bola saja?" Rudi bertanya, sambil mengalihkan pandangannya ke lapangan.
Budi tersenyum tipis. "Kamu tahu, aku lebih suka bermain dengan kata-kata. Lagipula, aku punya seseorang yang ingin kutuliskan."
Rudi menyipitkan mata, penasaran. "Seseorang? Siapa?"
Budi menundukkan kepalanya, wajahnya memerah. "Sari," gumamnya pelan.
"Ah, Sari! Yang cantik itu?" Rudi menatapnya dengan mata lebar. "Kamu suka dia?"
"Ya, mungkin..." Budi menghela napas. "Tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku hanya seorang pujangga kecil."
Rudi tertawa. "Pujangga kecil? Kamu harus berani! Ayo, bacakan puisimu untukku."
Budi menggelengkan kepala lagi, bingung. "Tidak, aku masih belum siap. Apa pendapatmu jika Sari tidak suka puisiku?"
"Coba saja! Siapa tahu dia terpesona dan jatuh cinta padamu!" Rudi tersenyum lebar, mencoba memotivasi Budi.
Budi mengangkat bahu, mencoba menepis rasa gugupnya. "Mungkin... tapi aku takut dia hanya akan tertawa."
"Aku yakin Sari bukan orang yang akan menertawakan puisi! Dia baik hati. Cobalah," Rudi mendorongnya lagi.
Dengan hati berdebar, Budi menatap kertas putih di depannya. Tangan kanannya mulai menulis, "Sari, cahaya pagi yang menyinari hariku..." Ia berusaha merangkai kata-kata indah untuk menggambarkan perasaannya.
Tak lama, suara langkah kaki mendekat. Budi menoleh dan melihat Sari sedang berjalan menuju lapangan dengan senyuman ceria, rambutnya tergerai indah oleh angin. Jantung Budi berdegup lebih kencang.
"Budi! Apa kamu sedang menulis puisi lagi?" Sari bertanya, berhenti di sampingnya.
Budi merasakan wajahnya memerah. "Iya... hanya sedikit," jawabnya ragu.
"Oh, aku suka puisi! Boleh tahu tentang apa?" Sari mengajak dengan penuh minat.
Budi merasa terjebak dalam mata Sari yang bersinar. "Eh, ini tentang... tentang keindahan... dan, uh, tentang kamu," katanya, tanpa sadar.
Sari tersenyum lebar. "Wah, aku tidak sabar untuk mendengarnya! Kapan kamu akan membacakannya?"
Budi merasa beban di bahunya seolah semakin berat. "Mungkin... mungkin besok, saat tugas kelas," ujarnya, berusaha terdengar percaya diri.
"Baiklah, aku akan menunggu!" Sari berbalik, melanjutkan langkahnya, meninggalkan Budi yang masih terperangah.
Rudi berbisik, "Itu dia, kesempatanmu! Kamu harus melakukannya, Budi!"
Budi menatap kertas yang penuh dengan tulisan. Rasa percaya diri dan ketakutan bersatu dalam jiwanya. Dia tahu, besok akan menjadi hari yang menentukan. Dengan semangat baru, ia melanjutkan menulis puisi, mengekspresikan semua perasaannya untuk Sari.
Dan di saat itu, di sudut lapangan yang sunyi, benih rindu mulai tumbuh dalam hati Budi, menunggu saatnya untuk mekar.
Hari berikutnya, Budi bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, ia tidak bisa tidur memikirkan puisi yang telah ditulisnya. Kata-kata dalam puisi itu terasa hidup, tetapi bayangan teman-teman sekelasnya yang mungkin tertawa kembali menghantuinya. Ia menyemangati dirinya sendiri di cermin.
"Ini hanya puisi," katanya pelan. "Hanya untuk Sari."
Sesampainya di sekolah, suasana terasa berbeda. Budi melangkah ke kelas dengan perasaan berdebar, melihat teman-temannya berkumpul. Rudi sudah menunggu di bangkunya, melambaikan tangan.
"Budi! Apa kamu siap?" Rudi bertanya, semangat.
"Uh, hampir. Aku... aku hanya perlu beberapa menit lagi," jawab Budi, berusaha tenang. Ia membuka bukunya, melihat kembali puisi yang ditulisnya. Setiap kata menggambarkan perasaannya yang mendalam terhadap Sari, dan semakin ia membacanya, semakin ia merasa terikat dengan kata-kata itu.
Saat bel berbunyi, Budi berdiri di depan kelas, hati berdebar. Teman-teman sekelasnya mulai berkumpul, beberapa tampak bercanda dan berbicara.
"Baiklah, semua! Hari ini kita akan mendengarkan puisi dari Budi!" guru meminta perhatian.
Semua mata tertuju pada Budi. Dia merasa seperti berada di panggung pertunjukan, semua mata mengawasinya. Jantungnya berdegup kencang, dan tangan kanannya menggenggam kertas.
"Eh, aku... aku akan membacakan puisi tentang seseorang yang sangat spesial bagi saya," Budi memulai, suaranya bergetar.
Sambil menatap ke arah Sari yang duduk di belakang, Budi menarik napas dalam-dalam. "Judulnya: 'Cahaya Pagi'," ujarnya.
Ia mulai membaca:
"Sari, cahaya pagi yang menyinari hariku,
Kehadiranmu bagai embun yang menyegarkan jiwa.
Setiap tawa dan senyummu,
Menjadi melodi indah dalam hatiku."
Di tengah pembacaan, ia merasa beberapa teman sekelasnya tertawa pelan, tetapi ia mencoba mengabaikannya dan melanjutkan.
"Di saat dunia terasa kelam,
Kau hadir membawa harapan baru.
Dengan setiap kata yang kau ucapkan,
Hati ini bergetar, mencintaimu dalam diam."
Saat ia menyelesaikan bait terakhir, suasana di kelas sunyi. Budi mengangkat wajahnya, melihat ekspresi teman-temannya. Dan ketika matanya berjumpa dengan Sari, ia melihatnya tersenyum lembut, matanya bersinar penuh kekaguman.
"Wow, itu indah sekali, Budi!" Sari berteriak, dan beberapa teman sekelas ikut bertepuk tangan.
Budi merasa lega dan bahagia. Dia tidak menyangka bahwa puisi itu akan mendapatkan respon positif. Rudi memberikan jempolnya, tersenyum lebar.
"Bagus, Budi! Aku tahu kamu bisa!" Rudi berbisik saat semua teman-teman bertepuk tangan.
Namun, suara tertawa dari satu sudut kelas membuat Budi menoleh. Anton, siswa baru yang tampak sedikit sombong, berdiri dan berkomentar, "Tapi itu tidak lucu, Budi. Kamu tidak mungkin serius dengan puisi sepert itu!"
Seketika, suasana menjadi tegang. Budi merasa jantungnya berdebar kembali. Tapi sebelum ia bisa merespons, Sari berdiri. "Tunggu, Anton! Budi berbicara dari hati. Puisi itu indah dan tidak ada yang salah dengan itu!"
Budi melihat betapa beraninya Sari membela dirinya, dan hatinya meluap dengan rasa syukur.
"Ya, puisi itu memang indah, Anton. Tidak semua orang punya keberanian untuk mengekspresikan perasaan mereka," Rudi menambahkan.
Anton hanya mengangkat bahu, tetapi Budi tidak peduli. Sari menatapnya dengan senyuman, dan semua tekanan di dadanya seolah menghilang.
Setelah pembacaan puisi selesai, teman-teman mulai berkumpul di sekeliling Budi, memberi selamat dan memuji puisinya.
"Budi, kamu benar-benar berbakat! Harus sering-sering baca puisi!" kata salah satu teman.
"Terima kasih, semuanya," Budi menjawab, tersenyum lebar.
Saat suasana mulai tenang, Sari mendekat. "Aku sangat suka puisimu, Budi. Kamu benar-benar seorang pujangga!"
Budi merasa wajahnya memerah. "Terima kasih, Sari. Itu artinya banyak bagiku."
Dan di saat itu, Budi merasa ada sesuatu yang baru tumbuh dalam hatinya-benih rindu yang tidak hanya tumbuh untuk puisi, tetapi juga untuk Sari. Sepertinya, langkah pertama telah diambil. Dia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh harapan.
Bersambung...
Ketika seorang pria harus pindah ke kota lain untuk mengejar karier, ia dan kekasihnya menjalani hubungan jarak jauh. Meski sulit dan penuh tantangan, mereka berjanji untuk tetap setia hingga suatu hari mereka dapat bersatu kembali.
Saat hubungan mereka diuji oleh jarak dan waktu, seorang wanita tetap setia menunggu kekasihnya yang harus bekerja di luar negeri. Setiap tantangan yang mereka hadapi hanya memperkuat cinta mereka, meskipun banyak godaan yang datang menguji kesetiaannya.
Sari, seorang wanita karier sukses, memiliki kehidupan pernikahan yang tampaknya sempurna. Namun, ketika ia mulai jatuh cinta pada koleganya, Fajar, rahasia kelam suaminya terungkap. Ternyata, suaminya juga berselingkuh. Dalam keputusasaan, Sari harus memutuskan apakah ia ingin menyelamatkan pernikahan atau meraih kebahagiaan dengan Fajar.
Lina, seorang wanita yang menikah bahagia selama 10 tahun, merasa suaminya, Ardi, mulai menjauh. Ketika ia bertemu dengan Ivan, teman masa kecilnya, api lama menyala kembali. Lina dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dalam pernikahan yang mulai dingin atau mengikuti hatinya yang kini bergejolak pada Ivan.
Seorang siswa yang berbakat dalam bermain piano bertemu dengan siswi baru yang memiliki suara indah. Mereka berdua bekerja sama untuk kompetisi musik sekolah, dan melalui melodi, perasaan cinta mulai tumbuh di antara mereka.
Seorang playboy kaya dan terkenal yang tidak pernah percaya pada cinta bertemu dengan seorang wanita yang berbeda dari yang lain. Saat mereka terlibat dalam hubungan yang menggairahkan, dia harus memilih antara kehidupan lamanya yang penuh kebebasan atau menerima cinta sejati.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono