/0/21258/coverbig.jpg?v=2ccce94c4e5a588fd86da55f33773faa)
Seorang pria yang terlihat bahagia dengan pernikahannya diam-diam menjalin hubungan dengan sahabat istrinya. Ketika kebenaran terungkap, dampaknya menghancurkan kehidupan semua orang yang terlibat.
Seorang pria yang terlihat bahagia dengan pernikahannya diam-diam menjalin hubungan dengan sahabat istrinya. Ketika kebenaran terungkap, dampaknya menghancurkan kehidupan semua orang yang terlibat.
Aditya dan Melani berjalan bersama menuju pintu rumah mereka yang megah, tangan mereka saling menggenggam dengan erat. Pemandangan sore yang indah dengan sinar matahari yang perlahan menghilang, seolah menyelimuti kehidupan mereka dengan kesan yang sempurna. Namun, jika ada yang melihat lebih dekat, mereka akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak terlihat dalam senyum manis di wajah mereka.
"Pulang lebih cepat hari ini?" tanya Melani, suaranya lembut, namun ada kelelahan yang samar di balik kata-katanya.
"Ya, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu," jawab Aditya sambil tersenyum, tapi sorot matanya sejenak menghindar, seakan ada sesuatu yang mengganjal.
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Aditya segera meletakkan tas kerjanya di meja. Melani mengikuti, matanya menilai wajah suaminya yang tampak sedikit berbeda hari itu. Sesuatu yang tidak bisa ia tangkap dengan pasti.
"Aditya, ada yang berbeda denganmu hari ini. Kamu kelihatan lelah," kata Melani, sambil melepaskan sepatu dan duduk di sofa. Pandangannya terfokus pada suaminya.
Aditya berhenti sejenak dan menghela napas. "Hanya sedikit tekanan di kantor. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang."
Melani mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin. Ia tahu Aditya tidak pernah berkata begitu sebelumnya. Biasanya, ia lebih terbuka tentang pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berbeda. Aditya lebih tertutup, lebih sibuk dengan telepon dan email yang terus masuk. Melani mencoba untuk tidak berpikir terlalu banyak, tapi keraguan itu terus berkembang dalam pikirannya.
"Kita akan makan malam bersama malam ini?" tanya Melani dengan suara ceria, berusaha mengubah topik pembicaraan.
"Tentu. Aku akan segera memesan makan malam. Kita harus merayakan akhir pekan ini." Aditya mengangguk cepat, berusaha terlihat lebih santai. Namun, Melani bisa merasakan ketegangan yang semakin jelas di sekitarnya.
Tidak ada yang lebih penting bagi Melani selain keluarga mereka. Ia merasa bangga dengan pernikahannya, dan meskipun beberapa kali ada perasaan tidak nyaman, ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah fase yang akan berlalu. Tapi ketegangan itu semakin terasa, meski ia berusaha menepisnya.
"Aditya, aku merasa ada yang perlu kita bicarakan." Melani berdiri dan menghampiri suaminya, meletakkan tangan di pundaknya.
Aditya menoleh dengan sedikit terkejut, namun segera menyembunyikan raut wajahnya yang gelisah. "Ada apa, sayang?"
"Aku hanya merasa, entah kenapa, akhir-akhir ini kita... terpisah. Seperti ada tembok di antara kita." Suara Melani pelan, namun ada kekuatan di balik kata-katanya.
Aditya terdiam, matanya fokus pada Melani sejenak. "Kamu terlalu banyak berpikir," jawabnya, suaranya tenang, tapi nada itu terdengar agak dingin. "Semua baik-baik saja. Kita hanya sibuk, itu saja."
Melani mengangguk, namun hatinya terasa berat. "Aku berharap itu benar," gumamnya.
Dalam hati, ia merasa cemas, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya tanpa merusak suasana. Ia ingin Aditya melihat betapa pentingnya perasaan dan kedekatan mereka, namun sepertinya ia mulai merasa tersisih.
Saat Aditya melangkah menuju ruang makan untuk memesan makan malam, Melani hanya bisa menatapnya dari belakang. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia sentuh, namun ia tahu itu ada. Seperti bayang-bayang gelap yang semakin mendekat.
Beberapa hari kemudian, Aditya menerima telepon dari seseorang yang tidak bisa ia abaikan. Ia menjawabnya dengan suara terendah, memastikan Melani tidak mendengar pembicaraan itu.
"Apakah kamu sudah siap?" suara itu terdengar dari ujung telepon.
"Ya, aku akan bertemu denganmu malam ini." Aditya meneguk ludah, lalu menutup telepon dengan cepat, berharap tidak ada yang mencurigai.
Di balik semua ini, Melani masih berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya. Tapi perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya. Apakah ia terlalu banyak berpikir? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
Hari demi hari berlalu, dan tanpa Melani sadari, bayang-bayang pengkhianatan mulai mengintai dari tempat yang paling tidak terduga.
Setelah makan malam yang terasa sepi dan penuh keheningan, Melani duduk di ruang tamu, menatap api yang menyala di perapian. Suasana rumah itu terasa hangat, namun ada jarak yang semakin lebar di antara dirinya dan Aditya. Ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan perasaan cemas yang semakin mengganggunya.
Namun, malam itu, matanya tak bisa lepas dari ponsel Aditya yang tergeletak di atas meja. Ponsel itu bergetar beberapa kali, dan meskipun ia berusaha untuk tidak memperhatikannya, ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia perlu melihatnya.
Dengan hati-hati, Melani mengambil ponsel itu. Layar menunjukkan nama yang tidak dikenalnya, "Rina."
"Rina?" Melani bergumam, kebingungan. Ia tahu bahwa Rina adalah sahabat dekatnya, seorang wanita yang selalu ada untuk mereka berdua. Namun, mengapa Rina menelepon Aditya malam-malam begini?
Melani menatap ponsel itu sejenak. Hatinya berdebar, tetapi ia mencoba menenangkan diri. "Mungkin hanya urusan pekerjaan," pikirnya. Namun, perasaan tidak enak itu kembali muncul.
Saat ia hendak menaruh ponsel kembali, sebuah pesan masuk.
"Aditya, jangan lupa janji kita nanti malam. Aku tunggu di tempat biasa."
Melani merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya terasa kaku. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari pesan itu. Tangan Melani gemetar saat membaca kalimat tersebut, dan satu pertanyaan muncul di pikirannya: "Apa yang sedang terjadi di antara mereka?"
Ia segera meletakkan ponsel itu kembali ke meja dengan hati yang berat, mencoba untuk menenangkan diri. Melani menatap Aditya yang tengah duduk di kursi sebelah, matanya kosong menatap televisi, meskipun jelas pikirannya sedang berada di tempat lain.
"Aditya," suara Melani nyaris tak terdengar. "Siapa Rina bagimu?"
Aditya menoleh dengan kaget, seakan tidak mendengar pertanyaan itu sebelumnya. Namun, ia tersenyum tipis, mencoba untuk menunjukkan sikap santai. "Dia hanya sahabatmu, kan? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Melani mengangguk, meskipun hatinya berkata sebaliknya. "Tapi kenapa pesan-pesan itu terasa aneh? Mengapa kalian terus berkomunikasi begitu intens?"
Aditya tampak terdiam. Ia mengubah posisi duduknya, menatap Melani dengan pandangan yang sedikit gelisah. "Kamu terlalu berpikir banyak, sayang. Rina adalah temanmu, dan tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Melani menatapnya tajam, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan adanya jarak yang sangat jelas di antara mereka. "Aditya, aku merasa ada yang disembunyikan dari aku."
Aditya menghela napas panjang, lalu berdiri. "Melani, aku lelah. Aku tidak ingin ada pembicaraan seperti ini malam ini."
"Tapi kita harus bicara, Aditya!" suara Melani sedikit meninggi. Ia tidak bisa menahan perasaan yang sudah menumpuk dalam dirinya. "Kenapa kamu selalu menghindari pertanyaan tentang Rina? Apa yang terjadi di antara kalian?"
Aditya menatapnya, wajahnya semakin gelap. "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Cobalah untuk percaya padaku, Melani."
"Aku ingin percaya padamu, Aditya. Tapi kamu membuatnya sangat sulit."
Dengan itu, Aditya pergi begitu saja, meninggalkan Melani yang merasa bingung dan patah hati. Ia menatap pintu yang tertutup, seolah tahu bahwa malam ini, dunia mereka tidak akan pernah sama lagi.
Keesokan paginya, suasana rumah masih terasa kaku. Melani dan Aditya saling menghindar, tidak banyak bicara. Namun, dalam hati Melani, semakin tumbuh keraguan yang semakin kuat. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Melani mengingat kembali pesan yang ia temukan di ponsel Aditya. "Aku tunggu di tempat biasa."
Tempat biasa? Apa maksudnya? Apa yang seharusnya terjadi di tempat itu?
Ia tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar. Keputusan yang sulit datang menghampirinya. Jika ia ingin mengetahui kebenaran, Melani harus bertindak. Namun, apakah ia siap menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih menyakitkan dari apa yang ia bayangkan?
Sementara itu, Aditya tetap diam, tampak gelisah. Ia tahu bahwa perasaan Melani mulai berubah, namun ia memilih untuk tidak membuka mulut. Setiap kali ia mendekati topik itu, ia merasa semakin terperangkap dalam kebohongan yang telah ia bangun.
Rina-sahabat yang seharusnya bisa dipercaya-telah menjadi bagian dari bayang-bayang pengkhianatan yang membayangi setiap langkah mereka. Dan Aditya tahu, ia hanya bisa berdoa agar semuanya tidak terbongkar.
Bersambung...
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
"Berikan ASImu pada putraku akan kuberikan dunia dan seisinya!" Ujar El Zibrano Elemanus. "Kau gila? Aku masih sekolah, mana mungkin bisa menyusui anakmu!" marah Lea kesal "Bisa, dengan bantuan ku!" El tanpa segan meremas benda kenyal Lea.
© 2018-now Bakisah
TOP